Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing

Menuju Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi

Kontak Aduan & Layanan
082130165377
Pengaduan ULT
Artikel Artikel/KTI Bahasa

Bedah Fonetik Kalimat Kontroversial Ahok

oleh Yusup Irawan*

Pidato Gubernur Jakarta, Basuki Cahaya Purnama atau lebih dikenal dengan nama Pak Ahok, di Kepulauan Seribu berbuntut panjang. Penggalan sambutan Ahok dalam durasi 3 menit itu menimbulkan polemik yang sangat “panas” yang potensial memecah belah bangsa. Polemik itu memunculkan dua figur utama, yaitu Ahok sendiri dan Buni Yani. Kini, baik Ahok maupun Buni Yani telah menjadi teradu di POLRI. Ahok diadukan atas tuduhan penistaan agama, sedangkan Buni Yani diadukan atas tuduhan memprovokasi masyarakat dengan cara (1) menyebarluaskan penggalan video sambutan berbau SARA dan (2) membuat transkrip pidato Ahok yang keliru.

Transkrip kontroversial pidato Ahok yang dibuat oleh Buni Yani sebagai berikut. “Bapak-Ibu [pemilih muslim] … dibohongi surat Al Maidah 51 … [dan] masuk neraka [juga Bapak-Ibu] dibodohi”. Transkrip ini tak menyisipkan kata pake di antara kata dibohongi dan kata surat. Namun, belakangan dalam sebuah acara talkshow di sebuah stasiun TV, Buni Yani mengakui bahwa kata pake ada dalam kalimat itu.

Bermaksud untuk membantu mendudukkan masalah yang sedang berkembang sekarang ini, saya akan mengupas kalimat Ahok yang dipolemikkan itu dengan kacamata fonetik, yaitu sebuah ilmu linguistik tentang bunyi bahasa. Fonetik adalah ilmu yang sudah cukup lama saya geluti. Di sini saya akan fokus pada aspek fonetik akustik tuturannya.

Walaupun tampaknya telah ada kesepakatan bahwa kata pake ada dalam kalimat Ahok yang kontroversial itu, saya tetap mengidentifikasi ada tidaknya kata tersebut. Telaah saya bertujuan untuk (1) mengidentifikasi apakah terdapat kata “pake” dalam tuturan yang dipolemikkan itu? (2) Bagaimana wujud akustik kata “pake” itu?

Saya mulai dengan penggalan sambutan Ahok sebagai berikut. “Jadi, jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil Bapak/Ibu__(jeda pendek)__enggak bisa pilih saya __(jeda final)__ya, karena dibohongin “pake” surat Almaidah 51 macem-macem itu __(hadirin tertawa/jeda final)__itu hak Bapak/Ibu.” Transkrip tadi, saya yang membuatnya sendiri. Saya memberi tanda kutip pada kata “pake” untuk menghindari tendensi apakah kata pake itu ada atau tidak ada.

Pidato Ahok yang saya penggal dibaca dengan sebuah software yang khusus digunakan untuk analisis tuturan. Tuturan Ahok dibaca sebagai sinyal bunyi yang disebut dengan waveform (lihat gambar 1). Saya membagi penggalan tuturan Ahok yang saya buat ke dalam 6 segmen. Segmen (1) terdiri atas 27 suku kata, dengan rerata intensitas 69 desibel, dalam durasi 3,078 detik. Segmen (2) terdiri atas 8 suku kata, rerata intensitas 68 desibel, dalam durasi 0,946 detik, Segmen (3) jeda final, yaitu jeda yang menandai frasa intonasi. Segmen (4) 25 suku kata, 68 desibel, 3,054 detik. Segmen (5) jeda (hadirin tertawa). Segmen (6) 7 suku kata, 70 desibel, 0,925 detik.
data-1
Dengan data akustik yang saya ukur, kita dapat melihat bahwa segmen (4) memiliki retata intensitas bunyi yang lebih rendah daripada segmen (1), (2), dan (6). Secara visual kita dapat melihat bahwa gelombang intensitas segmen (4) lebih kecil daripada ketiga segmen tadi. Maka, secara perseptual intensitas yang lebih rendah menunjukkan kelantangan bunyi yang lebih rendah. Fakta ini mengindikasikan kepada kita bahwa tampaknya Ahok tidak tegas atau tidak yakin dalam penyampaian kalimatnya. Ada unsur keraguan dalam pernyataannya.

Pada gambar 2 kita dapat melihat energi bunyi kata pake yang posisinya di antara kata dibohongin dan kata surat. Kemudian, tampak pula intensitas bunyi yang semakin menurun dari kata dibohongin hingga suku kata [su] pada kata surat. Kita dapat melihat gejala segmentasi intensitas di antara kata dibohongin dan kata pake. Kontur intensitas menurun-naik menunjukkan gejala itu. Namun, kita tak dapat melihat segmentasi intensitas di antara kata pake dan kata surat. Menurut saya, gejala penurunan rerata intensitas pada tuturan dan tak adanya segmentasi intensitas di antara dua domain berpengaruh pada kualitas dengaran. Secara perseptual, tak adanya segmentasi intensitas di antara dua kata menyebabkan pendengar kesulitan melakukan penjejakan suara.

data-2

Pada gambar 3, saya membuat visualisasi bunyi yang lebih dekat dalam durasi 0,437 milidetik (1 detik=1000milidetik). Di sini sekali lagi saya katakan bahwa tak ada segmentasi energi bunyi yang jelas di antara kata pake dan kata surat. Secara fonetis, terjadi tumpang-tindih bunyi atau ko-artikulasi di antara kata pake dan kata surat. Akan tetapi, secara visual saya dapat menunjukkan adanya pemisah di antara kata pake dan kata surat. Bunyi desis [s] pada kata surat dapat menandai batas kedua kata tersebut. Bunyi [s] ditandai oleh frekuensi-frekuensinya yang tinggi, yaitu di atas 5000Hz.

Selanjutnya, kita dapat melihat wujud energi bunyi kata pake ternyata tidak sempurna. Perwujudan bentuk bunyinya mendekati wujud gelombang bunyi aperiodik, yaitu gelombang bunyi dengan frekuensi tak teratur. Semestinya, wujud energi bunyi kata pake mendekati wujud bunyi gelombang periodik, yaitu gelombang bunyi dengan frekuensi teratur. Silakan bandingkan bunyi [a] pada kata pake dengan bunyi [a] pada kata surat. Nah, wujud bunyi kata pake yang tak ideal mengindikasikan bahwa kata pake dalam tuturan Ahok itu tidak diartikulasikan dengan baik. Faktor pengartikulasian kata yang tak sempurna ditambah lagi dengan adanya tumpang-tindih energi bunyi akan sangat berpengaruh pada kualitas dengaran.

Ketidaksempurnaan artikulasi dan tumpang tindihnya bunyi kata pake memunculkan pertanyaan. Mengapa hal itu terjadi? Kira-kira penjelasannya sebagai berikut. Kata pake dalam konteks kalimat, “… dibohongin pake Almaidah 51 ….” berfungsi sebagai preposisi. Secara makna kata ini dapat disubstitusi menggunakan kata dengan sebagai penanda keterangan alat dalam kalimat. Umumnya preposisi tidak memiliki makna intrinsik, melainkan memiliki makna gramatikal. Kata dengan dan kata pake dalam konteks kalimat “… dibohongin pake Almaidah 51 ….” membawa makna keterangan alat, yaitu alat untuk membohongi.

Secara universal di banyak bahasa, kata-kata yang bermakna gramatikal tidak diberi tekanan atau tidak diartikulasikan dengan penuh kecuali dalam konteks fokus-kontras seperti dalam kalimat: Saya tidak dari Jakarta, tetapi ke Jakarta. Jika orang yang mengatakan kalimat itu benar-benar ke Jakarta, ia akan memberi tekanan pada kata ke. Sebagai catatan tambahan, berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, bahasa Indonesia tidak mengenal konsep prosodi fokus-kontras.

Kembali ke masalah kata pake yang saya bicarakan, menurut saya, masuk akal dan alami jika Ahok tidak mengartikulasikan kata pake secara sempurna dalam kalimatnya itu karena kata pake dalam konteks kalimat “… dibohongin “pake” surat Almaidah 51….” lebih berfungsi sebagai preposisi seperti halnya kata dengan.

data-3

Saya punya tuturan pembanding untuk memperjelas bahwa kata pake yang diucapkan oleh Ahok tidak sempurna. Tuturan pembanding itu diucapkan oleh diri saya sendiri dengan ritme tuturan biasa. Sekarang perhatikan gambar 4. Pada gambar 4 kita dapat dengan mudah melihat segmentasi energi bunyi yang menandai batas satu kata dengan kata lainnya dan menandai batas satu suku kata dengan suku kata lainnya. Selain itu, kita pun dapat melihat perwujudan energi bunyinya yang lebih sempurna. Bandingkan secara visual bunyi [a] pada kata pake dengan bunyi [a] pada kata surat. Tidak terlihat perbedaan yang signifikan. Artinya keduanya diartikulasikan dengan kualitas yang relatif sama.

data-4

Kini, kita dapat mengaitkan dua gejala fonetik tuturan Ahok, yaitu gejala pengartikulasian kata pake yang tak sempurna plus gejala tumpan-tindih bunyi kata pake dan kata surat dengan Buni Yani sebagai pembuat transkrip keliru pidato Ahok.

Saya mempunyai dua hipotesis mengapa Buni Yani tak mentranskrip kata pake dalam tuturan Ahok itu. Pertama, Buni Yani sama sekali tak mendengar kata pake. Kedua, Buni Yani mendengar ada bunyi kata lain (kata pake), tetapi tak dapat menyimpulkan itu kata apa. Hipotesis pertama dapat kita abaikan. Dalam keterangannya di stasiun TV itu, Buni Yani mengatakan bahwa ia mendengar berulang-ulang pidato Ahok itu sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa kecil kemungkinan ia tak mendengar bunyi kata lain di antara kata dibohongin dan kata surat.

Menurut saya hipotesis kedualah yang berterima, yaitu Buni Yani mendengar ada bunyi kata lain (kata pake), tetapi ia gagal mengidentifikasi kata apa itu. Hipotesis ini lebih dapat kita terima mengingat Buni Yani mengatakan bahwa ia menyimak video itu melalui telepon genggam tanpa disertai alat bantu, seperti earphone. Ia pun menyimak video itu setelah pulang kerja malam hari. Dapat diduga ia menyimak video itu dalam keadaan lelah sehingga mempengaruhi kualitas pendengarannya.

Simpulan

Simpulan yang dapat saya tarik dari analisis fonetik saya adalah kata pake ternyata ada dalam kalimat Ahok yang kontroversial itu. Posisinya sebelum kata surat. Akan tetapi, pengartikulasian kata pake tersebut dilakukan tidak dengan sempurna sehingga energi bunyi kata pake tak terwujud dengan sempurna pula. Selain itu, ada gejala lain yang teridentifikasi, yaitu kata pake dan kata surat  tidak tersegmentasi secara ideal.

Ketidaksempurnaan artikulasi kata pake berikut tak adanya segmentasi energi bunyi menyebabkan Buni Yani tak dapat mendengar dengan jelas kata pake sekalipun ia menyimak video itu berulang kali. Saya menduga ia mengabaikan keberadaan bunyi itu. Ia baru sadar bahwa kata itu adalah kata pake setelah ada pihak lain mengingatkannya.

Kemudian, saya menduga tuturan kalimat Ahok yang kontroversial itu mengandung unsur keraguan/ketidaktegasan. Hal itu dibuktikan dengan rerata intensitas yang lebih kecil daripada kalimat sesudah dan sebelumnya. Tampaknya Ahok menyadari kalimat yang ia tuturkan menyerempet hal berbau SARA sehingga ia merendahkan kelantangan kalimat itu.

Saran

Adanya ketidaksempurnaan artikulasi yang dilakukan Ahok dan kegagalan pentranskripsian yang dilakukan oleh Buni Yani yang menimbulkan kehebohan negeri ini, izinkan saya memberikan dua saran agar hal ini tak terjadi lagi. Pertama, figur publik sebaiknya berbicara dengan artikulasi yang jelas sehingga pesannya mudah ditangkap oleh masyarakat. Apalagi isi pesan itu mengandung isu yang sangat sensitif. Mereka pun akan terhindar dari upaya pemelintiran pesan. Kedua, video atau audio yang potensial berisi hal yang sangat penting bagi negara atau hal yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat sebaiknya ditranskrip oleh pihak yang dianggap berkompeten. Semoga analisis saya ini dapat mendudukkan masalah secara lebih proporsional.

Sumber video yang dianalisis: https://www.youtube.comwatchv=8hAZzCV7l3U

*Penulis adalah pengkaji bahasa di Balai Bahasa Jawa Barat

×

 

Hallo!

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp/p>

× Apa yang bisa kami bantu?