Alya Apriliyanti
Krieettt…. Krieettt….
Wanita itu terkejut oleh suara pintu yang ia buka sendiri. Rumah tua bergaya mewah pada zamannya. Dinding putih kusam. Atap penuh sarang laba-laba. Lantai krem kotor. Hiasan kayu yang sudah terlihat rapuh termakan oleh rayap dan waktu. Namun, kenangan itu masih teringat jelas di kepala seakan waktu tak bisa melahapnya. Dengan hati berdegup kencang, ia berjalan masuk ke dalam rumah tua itu. Suasana mencekam menyelimuti tubuh dan pikirannya, membuat kakinya bergetar. Mau tidak mau, ia harus masuk ke dalam demi penyelidikan rahasia yang ditugaskan kepadanya. Rasa penasaran yang selama ini ia pendam lebih besar dibandingkan dengan rasa takut yang ia rasakan. Ketakutan tentang kebenaran yang akan terungkap.
Hati menuntun dirinya menuju ruangan di hadapannya. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tidak ada yang melihat. Lalu, ia berjalan pelan. Tiba-tiba ada tangan menyentuh pundaknya.
“Waaaaaa, ayam! ayam!”
“Di mana ayamnya, Adora? Memangnya di sini ada ayam?” tanya Radi sembari mencari-cari ayam di sekelilingnya.
“Ih, jangan main sentuh-sentuh aja, bikin kaget tahu.” jawab Adora ketus. Radi, rekan satu timnya mampu membuat Adora kaget setengah mati. Kelihatannya, Radi cuek-cuek saja. Ia malah tertarik ke salah satu dinding kusam yang bergantung bingkai foto berwarna emas tua.
“Anak cewe yang satu ini kok mirip banget sama kamu, Ra…”
“Siapa lagi? Itu memang aku, Di.” Adora menjawab tanpa memandang ke arah Radi. Ia tidak menyangka foto itu masih ada di rumah ini. Tangan Radi terhenti. Ia melihat ke arah Adora dengan tatapan kaget. Keadaan menjadi hening.
“Jadi… kamu…”
“Ya, aku saksi nyata dan korban dari kejadian pahit itu.”
**
6 tahun yang lalu…
Adora tidak langsung beranjak dari kamarnya setelah bangun tidur. Matanya sering sembab belakangan ini. Tidak ada lagi seruan ibunya yang selalu menyuruhnya turun dari kasur untuk segera memakan sarapan kesukaannya. Tidak ada lagi celotehan ringan yang dilontarkan ayahnya yang mampu membuat Adora tertawa hingga tersedak saat sedang melahap nasi terakhirnya. Kebahagiaan Adora, sepenuhnya telah hilang setelah orang tuanya resmi bercerai. Ayah pergi meninggalkan ibu karena menganggap bahwa ibu tidak lagi menguntungkan rumah sakit miliknya. Ibu merasa sangat terpukul. Bahkan, ketika tahu ayah sudah mempunyai simpanan sebelum mereka cerai. Setiap hari, ibu sering mengurung diri di kamarnya.
“Ibuu… kita makan dulu, yuk. Nasinya sudah matang, nih. Aku masak tempe mendoan kesukaan Ibu,” Adora masuk ke kamar ibunya. Tapi, ibunya masih saja terdiam. Menatap kosong ke arah jendela dan menghiraukan Adora.
“Ibu? Ayo kita makan! Ibu pasti lapar dari kemarin belum makan.”
“Kamu siapa?” tanya ibu tetap menatap kosong ke arah jendela.
“Ini Adora kesayangan Ibu, anak Ibu satu-satunya yang selalu ada untuk Ibu.” Adora merasa cemas dan takut. Sekarang, ibunya bahkan tidak mengenali anaknya sendiri.
“Kamu ini siapa?” tanya ibu masih tetap menatap kosong ke arah jendela.
“Adora, Buu… bintang kecil milik Ibuu… anak kebanggaan Ibu…” jawab Adora gemetar. Ia hampir tak kuasa membendung air matanya. Tiba-tiba, ibu melempar bantal di sampingnya ke foto ayah di dekat jendela.
“Dasar kamu pengkhianat!“ Ibu berteriak mencaci maki ayah dan berkali-kali melempar barang di sekitarnya. Melihat itu, Adora tidak bisa lagi membendung air matanya. Ia merangkul ibunya sekuat tenaga.
“Ibuu… sudah… I..Ibu harus kuat, ada Adora di siniii… Ibu gak boleh kayak gini….” Tangisan Adora semakin keras. Ia terus merangkul ibunya walaupun ibu tidak mempedulikannya. Ayah memang salah. Tapi, Adora tidak ingin ibunya menjadi seperti ini gara-gara ayah.
Hari demi hari pun berlalu. Kondisi ibu tidak memperlihatkan tanda-tanda yang baik. Ia masih saja berhalusinasi dan menganggap ayah masih ada di rumah, tepat di dalam foto keluarga. Tiada henti-hentinya ibu marah di depan foto ayah. Ibu juga selalu menghancurkan tiap foto, jika terdapat wajah ayah di situ. Ketika wajah ayah dalam foto sudah tidak ada, ibu akan terus mencari foto lain. Lalu, ia akan menghancurkan lagi wajah ayah di dalam foto. Adora sangat khawatir melihat kondisi ibu yang semakin memburuk. Tapi, ia hanya bisa menangis dan menutup telinga di pojokan kamar.
“Ibu sedang apa?”
Terasa sia-sia jika Adora terus bertanya seperti itu. Ibu masih saja menatap kosong ke arah jendela. Tapi, Adora ingin menghibur ibunya. Dengan harapan, ibu menjawab pertanyaan anaknya.
“Siang nanti, cuacanya pasti bakal cerah. Ibu mau jalan-jalan, gak? Sekalian kita ke dokter dulu…”
“Tidak, rumah sakit bahaya untuk kita. Tidak aman…”
“Tapi, kondisi Ibu semakin memburuk. Gimana aku gak khawatir?”
“Dia masih ada di sini.”
“Ayah sudah tidak ada lagi di sini, Buuu! Ayah sudah pergi meninggalkan kita. Ibu sudah menghancurkan semua foto Ayah. Sadarlah Ibu!” Adora berteriak kepada ibunya.
“Dia masih ada di sini. Dia masih ada di jendela itu. Dia tersenyum padaku. Aku benci senyuman itu. Jadi, aku masih ingin menghilangkan dia dari sana.”
Adora melihat ke arah jendela. Tidak ada siapa-siapa di sana. Ibu berhalusinasi lagi. Ia kembali mencaci maki jendela di hadapannya seperti orang gila.
Adora tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia keluar dari kamar ibunya dan lari menuju keluar rumah. Tidak dihiraukannya panggilan ibunya yang melarang ia keluar rumah. Ia merasa ibu sudah tidak mempedulikannya lagi. Walaupun, setiap hari ia selalu berada di sisi ibu dan terus berusaha menghibur ibu. Ia merasa tidak dihargai. Ia merasa tidak dianggap ada sama sekali. Sedih, pedih, sakit, takut, dan khawatir membawa Adora meninggalkan rumah sementara. Ia berjalan tanpa tahu arah tujuan.
Sahabatnya, teman-temannya, bahkan sepupunya sendiri telah menjauh darinya begitu tahu kondisi keluarganya. Akhirnya ia sampai di taman air, tempat yang selalu dikunjungi dengan kedua orang tuanya dulu. Adora duduk di salah satu kursi taman. Matanya tertuju pada keluarga yang sedang makan bersama di sana. Iri. Hanya itu yang ia rasakan begitu melihatnya.
“Mohon maaf, boleh saya bertanya?” Seorang lelaki berwajah ramah seusianya datang menhampiri.
“Ada apa?” tanya Adora sembari memaksakan diri untuk tersenyum.
“Rumah No. 15 Blok C1 Jln. Anggrek di mana ya? Bolehkah Anda membantu saya?” lelaki itu berbicara formal pada Adora. Padahal mereka terlihat seusia.
“Ah… iya saya tahu. Kebetulan agak dekat dengan rumah saya. Ayo, saya akan mengantar Anda.” Ya bagaimanapun, Adora jadinya membalas dengan formal juga karena mereka belum saling kenal. Lelaki itu tersenyum. Begitu pun juga Adora. Mereka berjalan meninggalkan taman itu.
“Oh iya, ada pepatah tak kenal maka tak sayang. Saya belum memperkenalkan diri kepada Anda. Nama saya Jafar Abdullah. Saya baru saja pindah ke rumah di kompleks ini untuk bekerja sebagai sopir di rumah majikan yang baru.” Lelaki itu mengulurkan tangannya.
“Nama aku Adora Catra. Pantesan kok agak asing ya mukanya. Ternyata, orang baru di sini.” Adora mengulurkan tangannya. Ia membalas jabatan tangan Jafar.
Itulah awal pertemuan mereka. Adora sudah mempunyai teman baru lagi. Alih-alih menangis terus di rumah. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk curhat dan bermain dengan Jafar. Sehabis Jafar melakukan tugasnya sebagai sopir, mereka selalu bertemu di suatu titik. Yaitu, di tempat awal mula mereka bertemu.
Semua nasihat dan perkataan Jafar membuat Adora perlahan menemukan harapan yang telah lama hilang. Jafar adalah teman yang paling mengerti posisi Adora saat ini. Kebahagiaan yang hancur bisa ia bangun sendiri karena kehadiran Jafar.
“Bagaimana keadaan ibumu sekarang?” tanya Jafar.
“Yah… ibuku masih saja begitu. Sudah beberapa kali aku membujuk dia untuk berobat. Tetap saja, ia merasa rumah sakit bukan tempat yang aman.” Ucap Adora.
“Kamu bicaranya formal banget. Kita sudah jadi teman dekat, lho. Santai dikit aja, aku jadi agak gak nyambung kalo ngomong sama kamu,” sambungnya. Ia sudah tidak kuat memendam unek-unek yang ada di hatinya.
“Saya mohon maaf, Ra. Jikalau telah membuat Anda menjadi tidak nyaman. Tidak ada maksud yang kurang baik pada Anda. Melainkan, saya berbicara formal seperti ini karena saya ingin menjadi guru bahasa Indonesia yang baik dengan memakai bahasa Indonesia yang benar juga.” Mendengar ucapan Jafar, Adora tertawa terbahak-bahak. Belum pernah ia tertawa selepas ini.
“Harapan itu sudah tidak mungkin untuk saya raih karena biaya sekolah yang tidak cukup. Namun, saya tetap suka bahasa Indonesia dan menikmati berbicara bahasa Indonesia formal seperti ini. Terkadang, ada luka di hati saat berbicara, lama-lama saya jadi terbiasa dan nyaman berbicara formal seperti ini.” Saat mendengar ucapan Jafar, Adora terdiam.
“Jika saya menjenguk ibumu, apakah diperbolehkan?” Adora tambah bengong. Ia tidak percaya ada orang yang ingin menjenguk ibunya. Selama ini, belum pernah ada satupun orang yang datang ke rumahnya.
“Jika tidak boleh, saya tidak mengapa.”
“Eh.. boleh kok, boleh banget. Tapi kamu gak apa-apa? Ibuku kan….“
“Dengan kondisi ibumu yang seperti itu? Tidak mengapa, Anda tidak perlu malu. Semua manusia sama. Sama-sama butuh dihibur seperti kita ini. Apalagi ibumu. Dia punya tanggungan yang besar daripada kita. Wajar saja jika ibumu seperti itu.”
“Jafar..”
Adora masih tidak menyangka dengan sikap Jafar yang sangat baik. Ia tidak salah berteman dengan Jafar. Walaupun Jafar hanya seorang sopir. Tanpa disadari, Adora jatuh hati pada Jafar. Degup jantungnya terdengar lebih jelas daripada biasanya.
Sore harinya, jadilah Jafar mengunjungi rumah Adora dan menjenguk ibunya. Sikap dari ibunya tidak ada yang berubah. Ibunya masih menatap kosong dengan matanya yang sayu. Garis wajahnya masih saja lurus. Namun, wajahnya terlihat lebih pucat daripada biasanya. Jafar yang sangat ramah pun tidak mampu mengubah raut wajah ibunya. Adora tetap bersyukur dengan keberanian Jafar. Apalagi, jika nanti Jafar sering berkunjung ke rumahnya. Mungkin ibunya perlahan-lahan bisa berubah seperti dirinya sendiri.
Sampai pada suatu hari, Adora dan Jafar memasak makanan untuk Ibu Adora. Tidak seperti biasa, ibunya mulai ingin memakan masakan Adora. Jadi, ia memasak makanan favorit ibunya dan dibantu oleh Jafar.
“Saya yang mengupas bawang, ya. Saya selalu bisa menahan tangis saat mengupasnya.” Tawar Jafar. Adora pun tersenyum.
“Aku serahkan padamu, Pak Guru.” Canda Adora.
“Tunggu, Ra. Pisaunya di mana?”
“Di meja makan. Pisaunya ada di dalam wadah makan”
“Tidak ada pisau di sini, Ra. Anda cuma punya satu?”
“Eh… masih ada pisau cadangan kok. Bentar ya, akan aku ambilkan.”
Adora merasa bahwa ia sudah menyimpan pisau di tempat wadah makan tadi pagi. Tapi, ia tidak terlalu yakin juga karena seringkali teledor. Akhirnya, makanan favorit ibu selesai dibuat. Jafar menawarkan diri lagi untuk mengantarkan makanan itu ke kamar ibunya. Pada awalnya, Adora menolak. Tetapi, Jafar terus memaksa untuk membantu Adora. Sikap Jafar yang seperti ini membuat Adora semakin jatuh hati kepadanya. Ia semakin yakin bahwa Jafar adalah hadiah terindah yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu menghidupkan kembali keluarganya.
Lalu, Jafar mengantarkan makanan pertama sebagai menu pembuka ke kamar ibunya Adora. Sepeninggalan Jafar dari dapur, Adora tidak bisa berhenti tersenyum. Ia sesekali kegirangan tidak tentu dan bersenandung ria. Namun, senyuman Adora tidak bertahan lama. Ada sesuatu yang membuat hatinya tidak enak. Apa penyebabnya, ia bahkan tidak tahu. Aneh sekali, Jafar belum kembali ke dapur setelah mengantarkan makanan untuk ibunya. Adora menepis kemungkinan terburuk dari pikirannya. Ia berpikir mungkin saja Jafar dan ibunya sedang bercerita sampai tidak mengenal waktu.
Saat Adora mengantarkan makanan kesukaan ibunya yang kedua, langkah kakinya terasa berat. Kejanggalan hatinya muncul lagi. Tangga demi tangga ia naiki. Degup jantungnya pun semakin kencang. Ia bisa mendengar degup jantungnya sendiri. Mau ditepis berapa kali pun, pikiran negatif terus muncul dan menjalar ke seluruh ruang dalam kepalanya.
Prangggg!!!!!!!
Piring yang ia bawa pecah berceceran di lantai menyatu dengan makanan yang tidak kalah berantakan. Adora terpaku tidak percaya dengan pemandangan yang telah ia lihat. Tangannya gemetar hebat. Seluruh tubuhnya bagai ditusuk dari berbagai arah. Ia mendadak lesu. Adora melihat Jafar tergeletak dengan cairan berwarna merah pekat di samping kasur. Cairan merah pekat itu telah menyatu dengan karpet berwarna krem kesayangan ibunya. Terlihat ibunya memegang pisau yang sudah berlumuran cairan berwarna merah pekat itu. Ya, pisau itu berlumuran darah.
Suara piring pecah membuat Ibu menoleh ke arah Adora. Ibu masih melihat ke arahnya dengan tatapan yang sama. Dia seakan-akan tidak peduli dengan reaksi anaknya sekarang.
“Ibu melihat ayahmu di mata anak itu. Ibu berhasil menghilangkannya sekarang. Kita telah berhasil, Nak.” Ibu berkata seraya tersenyum.
Adora bergerak mundur. Tubuhnya semakin bergetar hebat. Ia berlari keluar rumah. Seluruh pikiran dalam kepalanya tidak jelas. Ia masih tidak percaya ibunya membunuh orang yang sangat ia cintai.
**
“Ra, Adoraa, jangan bengong terus, doong!”
Adora sedang memandang foto keluarga tanpa wajah ayahnya.
“Aku menemukan ini di kamar atas,” Radi menyodorkan sesuatu kepada Adora. Piring kotor yang sudah tidak asing lagi. Tulisan berwarna merah pekat menghiasi piring itu. Warna merah pekat yang kembali membuatnya gemetar. Adora terjatuh lesu dan menangis tersedu-sedu setelah ia melihat tulisan…
Ibu selalu ada untukmu, Nak.
***
Biodata Penulis
Alya Apriliyanti lahir di Garut, 7 April 2002. Aktivitas kesehariannya diisi dengan belajar, mendengarkan musik, membaca buku, mengoleksi kata-kata bijak/motivasi, menonton film dan drama korea, dan menulis karangan pendek/puisi. Kini masih bersekolah di SMAN 1 Garut, kelas XI MIPA 4. Tinggal di Kp. Biru RT. 03 RW. 01, Ds. Situsari, Kec. Karangpawitan, Kab. Garut. Alya dapat dihubungi di 081224757229. Adapun pos-elnya adalah alyaaprili407@gmail.com. Instagram: @alyaaapril.