ANAK KOLONG
Oleh Asep Rahmat Hidayat*
Apakah Anda pernah mendengar kata anak kolong? Pada tahun-tahun 1980—1990-an, bahkan sebelumnya, kata ini kerap muncul di surat kabar atau dalam pembicaraan, sehingga KBBI merasa perlu mencatatnya sebagai berikut: anak kolong 1 kas anak serdadu (yg lahir dan dibesarkan di tangsi pd zaman Hindia Belanda); 2 ki anak tentara. Label kas tersebut berarti kata itu dianggap kasar, kemudian label ki berarti kata yang bermakna kiasan.
Bagaimana penggunaan kata itu saat ini? Karena penasaran, saya mengunjungi situs penyedia korpus bahasa Indonesia yang berbasis di Jerman. Ternyata kata itu masih digunakan seperti contoh berikut.
Dari contoh-contoh tersebut terlihat bahwa kata anak kolong masih digunakan dan dimaknai sesuai dengan yang dicatat KBBI, hanya dalam contoh dikenakan juga untuk anak polisi. Jadi, anak kolong itu merujuk pada ‘anak tentara atau polisi’ dan bernada negatif atau digunakan sebagai ejekan.
Lalu apa hubungan kolong dan tentara? Menurut Reggie Baay (Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, 2010: 89) semua berawal dari pergundikan di tangsi. Pada tahun 1830 dibentuk satuan tentara kolonial Hindia Belanda yang pada tahun 1933 mulai dikenal dengan nama KNIL. Para serdadu direkrut dari beragam bangsa, Pribumi, Eropa, bahkan Afrika. Arkian, berduyun-duyunlah serdadu-serdadu tersebut datang dan memenuhi tangsi-tangsi di Hindia Belanda. Yang pertama kali mereka peroleh adalah pelatihan serdadu, pengetahuan dasar penggunaan senjata, dan penyuluhan mengenai penyakit-penyakit kelamin, nah lho!
Karena budaya perjodohan dan pernikahan muda, banyak serdadu Pribumi yang sudah menikah ketika menjalani dinas ketentaraan. Mereka diizinkan hidup bersama di dalam tangsi. Ini menimbulkan kecemburuan di kalangan serdadu Eropa. Akhirnya, mereka pun diizinkan berhubungan tanpa nikah di dalam tangsi.
Para serdadu tinggal di asrama yang disebut chambree. Asrama itu berupa ruangan besar dengan deretan ranjang besi berkasur jerami. Untuk serdadu-serdadu yang telah berkeluarga dan “berkeluarga” ditempatkan di ruang terpisah dengan ranjang bertingkat. Ruang itu lebih besar dari yang didapat para bujang karena anak-anak juga tidur di lantainya, di atas tikar. Ruang di bawah tempat tidur itu lazim disebut kolong. Setiap ranjang bertingkat dan ruang di sampingnya diberi pemisah berupa kain terpal yang dipasang sebagai tirai. Untuk serdadu yang anaknya banyak kolong tadi digunakan juga sebagai tempat tidur. Sejak itu, muncullah istilah anak kolong.
Kebijakan pemisahan itu didasarkan pada peraturan Menteri Penjajahan Keuchenius pada tahun 1888. Sebelumnya, dapat dibayangkan, serdadu lajang dan serdadu yang beristri hidup bersama tanpa pemisah dalam satu bangsal. Kompleksitas kehidupan di tangsi itu juga melahirkan sebutan khas, Jan untuk serdadu Eropa, Kromo untuk serdadu Pribumi, Sarina untuk sebutan istri serdadu, dan Munci untuk gundik serdadu Eropa. Apakah munci itu yang kemudian dikenal dengan munci atau muncikari? Entahlah.
Jika melihat titimangsa aturan pemisahan tadi, sudah rentalah usia istilah anak kolong itu. Lalu, bagaimana dengan kata tangsi? Entahlah, saya belum memperoleh informasi mengenai kata itu. Memang dalam bahasa Jawa Kuno ada kata tasi atau tangsi yang berarti ‘meminta-minta atau peminta-minta’ agaknya jauh dari yang dimaksud, lagi pula konsep itu erat dengan sejarah kolonial. Mungkinkah kata tangsi itu dari bahasa Belanda, tentzeil ‘kain terpal untuk tenda’ yang konsepnya sangat erat dengan ketentaraan? Sekali lagi, entahlah!
*Penulis adalah peneliti di Balai Bahasa Jawa Barat