Babad Cirebon Klayan
Babad Cirebon Klayan merupakan sebuah naskah yang dimiliki oleh Taryadi Cakradipura, penduduk Desa Klayan, ditulis dalam bentuk pupuh, terdiri atas 860nbait dalam 43 pupu, 13 pupuh (19—31) khusus mengisahkan riwayat Sunan Kalijaga sejak kecil hingga masa kemasyhurannya sebagai salah seorang Walisanga.
Cerita diawali dengan kisah Walangsungsang yang pergi meninggalkan istana karena ingin belajar agama Islam kepada Syeh Nurjati dari Mekah yang berdiam di Bukit Amparan Jati. Ia bertemu dengan Biksu Danuwarsi. Kemudian menjadi musrid dan menantunya karena dikawinkan dengan Indang Geulis. Walangsungsang berganti nama menjadi Samadullah. Adiknya yang bernama Rarasantang pergi menyusul. Dalam perjalanan ia bertemu dengan Nyai Ajar Sakti yang menyuruhnya pergi ke Gunung Cilawung. Di sana dia berganti nama menjadi Nyai Eling dan diramalkan akan melahirkan anak yang kelak menjadi wali. Walangsungsang dan istrinya bertemu dengan Rarasantang. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan mencari Syekh Nurjati yang bergelar Syekh Datuk Kahpi dan berdiam di Gunung Jati. Mereka kemudian memeluk agama Islam.
Walasungsang mendirikan dukuh Kebon Pesisir dan Pesantren Panjunan. Oleh Nurjati ia diberi gelar Cakrabumi atau Cakrabuwana, sedangkan masyarakat memberinya gelar Kuwu Sangkan. Pekerjaan utamanya membuat terasi. Bersama adiknya, Walangsungsang menunaikan ibadah haji. Di Mekah Rarasantang kawin dengan raja Mesir dan melahirkan Sarip Hidayatullah dan Sarip Ngaripin. Sekembali dari Mekah Cakrabuwana terus berkelana dan berpesan kepada istrinya yang sedang hamil agar jika kelak melahirkan, anaknya dinamai Pakungwati. Kelak di kemudian hari anaknya itu akan berguru kepada seseorang yang datang dari Mekah dan berdiam di Gunung Jati. Ia bertapa di Sendang dan bergelar Ki Gede Selapadan, hidup bersama anak angkatnya yang bernama Nyi Mas Gandasari.
Setelah dewasa, Sarip Hidayatullah mengembara. Mula-mula ia tiba di Pulau Surandil dan bertemu dengan Syekh Kamarullah. Kemudian, dia dianjurkan bermukim di Gunung Muria dan bergelar Syekh Ampeldenta. Rarasantang menyusul dan menunggunya di Gunung Jati, sedangkan anaknya yang kedua menjadi raja dan bergelar Abdul Sapingi. Sarip Hidayatullah dikisahkan mikraj sampai langit ketujuh dan bertemu dengan Nabi Muhammad. Kemudian, ia diperintahkan pergi ke Jawa dan berguru kepada Syekh Nurjati. Di sana ia bertemu dengan ibunya yang menjadi pertapa dan bergelar Babu Dampul. Syekh Nurjati menganjurkan Sarip Hidayat berganti nama menjadi Pangeran Carbon dan jika kelak telah menjadi sultan bergelar Sultan Jatipurba.
Sarip Hidayat pergi ke Gunung Gajah dan bertemu dengan Syekh Bayanullah bergelar Syekh Maliagung atau Dares. Sarip Hidayat kawin dengan putri Cina bernama Ratna Gandum dan dengan Pakungwati. Diceritakan bahwa pembangunan Kota Cirebon diawali dengan alun-alun dan istana Pakungwati. Kemudian, dikisahkan pula Sunan Kalijaga yang aslinya bernama Nurkamal, anak Adipati Tuban, Suryadiwangsa. Nama Sunan Kalijaga diganti namanya oleh seorang kakek misterius menjadi Sarip Durahman dan menjadi penyamun di hutan Japara melaksanakan titah Sunan Ampel bergelar Lokajaya. Ia kemudian berguru kepada Syekh Majagung dan dikubur hidup-hidup. Lalu, diberi gelar Sunan Kali.
Raden Patah yang tidak diangkat menjadi adipati merasa sakit hati dan kemudian berguru kepada Sunan Ampeldenta. Akhirnya, ia diangkat sebagai Adipati Bintara. Sementara itu, Sunan Kalijaga diperintahkan gurunya untuk berguru kepada Sunan Jati. Ia ditinggalkan di gerbang istana. Sunan Jati pergi ke Pajajaran menemui Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi mengucapkan mantra dan dengan seluruh rakyatnya lenyap menjadi hantu.
Sarip Hidayat pergi ke Lebaksungsang menemui Cakrabuwana dan memintanya pulang ke Carbon. Ia sendiri pergi ke Manganjang menemui Syekh Bentong yang bernama asli Banjarsari, putra Majapahit yang dikenal sebagai Jaka Tarub. Syekh Bentong yang ingin berguru kepada Sunan Jati disuruh pergi ke Carbon. Sementara itu, Sunan Kali setia menunggu di depan gerbang istana sampai terbungkuk-bungkuk. Oleh karena itu di daerah tersebut ada tempat yang bernama Lemahwungkuk.
Abdurahman (Sunan Kali) bertemu dengan Nabi Kilir dan dinasihati agar bertapa di Gunung Dieng. Ia menggambar wayang di atas tanah, kemudian bertemu dengan Konteya Darmakusuma atau Yudistira yang setelah diislamkannya berganti nama menjadi Samiaji. Terjadilah peperangan antara Adipati Terung dari Majapahit dengan Raden Patah. Raden Patah mendapat petunjuk agar dapat mengalahkan musuhnya ia harus berguru kepada Sunan Purba di Carbon, yaitu Sunan Jati. Pasukan Majapahit yang akhirnya kalah tidak mau masuk Islam. Mereka menjadi siluman dan berkumpul di Tunjungbang.
Raden Patah menjadi Raja Bintara dan menikah dengan kemenakan Sunan Jati, Nyi Mas Ratu Pulunggana. Sunan Jati tiba di Carbon dari Mekah membawa batu mukadas dan menerima sebuah buku yang berisi ketentuan pangkat dan sebutan para wali. Sarip Hidayat bergelar Sinuhun Carbon, Syekh Giri bergelar Sultan Giri Gajah, Syekh Kamarullah bergelar Sunan Bonang, Cakrabuwana bergelar Sunan Jelang, Syekh Bentong bergelar Susuhunan Bentong, Syekh Nusakambangan bergelar Sunan Kudus, Pangeran Kendal bergelar Pangeran Karangkendal, Pangeran Panjunan bergelar Sunan Sasmita, Pangeran Kajoran bergelar Sunan Kejamus, sedangkan wali penutup, Sunan Kalijaga, bergelar Susuhunan Adi.
Murid Sunan Jati yang bernama Ki Gedeng Plumbon disuruh bertapa di Gunung Cigugur. Nyi Ratu Mas Gandasari membuka sayembara yang menyatakan bahwa orang yang mampu mengalahkannya akan dijadikan suami. Ternyata Nyi Mas Gandasari dikalakan oleh Pangeran Magelung. Akan tetapi, mereka berjanji baru akan berkumpul di akhir zaman.
Negeri Carbon di bawah pimpinan Sunan Jati semakin makmur sehingga Pajajaran merasa iri dan kemudian memutuskan untuk menyerang Carbon. Sementara itu, Sultan anaknya, Pulungnyawa dengan anak Sunan Jati. Terjadilah pertempuran pasukan Carbon dengan Pajajaran. Carbon nyaris kalah sehingga Cakrabuwana terpaksa turun tangan. Akhir peperangan tidak diketahui karena cerita berakhir sampai di situ.