Babad Godog

Babad Godog menceritakan awal pengislaman tanah Sunda oleh Kean Santang, anak Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Setelah menjelajahi berbagai wilayah, Kean Santang menetap, meninggal, dan dimakamkan di Godog, sebuah daerah di Garut, Jawa Barat. Sampai sekarang “makam”-nya dikeramatkan dan sering diziarahi orang. Penyebaran cerita ini terutama melalui naskah yang berbentuk wawacan yang banyak dibuat salinannya. Wawacan Godog sering pula disebut Wawacan Kean Santang.

Cerita Babad Godog dimulai dengan Kean Santang yang menyatakan keinginannya untuk dapat melihat darahnya sendiri karena merasa tidak pernah terluka dalam peperangan. Para ahli nujum yang sengaja dikumpulkan oleh Prabu Siliwangi tidak dapat memberi jawaban siapa yang bakal mampu mengungguli kegagahannya. Seorang kakek penjelmaan Malaikat Jibril, tiba-tiba datang menghadap dan memberi tahu Prabu Siliwangi bahwa orang yang akan mampu mengungguli anaknya itu adalah Bagenda Ali yang berasal dari Mekah. Setelah mendapat izin sang ayah, Kean Santang segera terbang hendak mencari orang tersebut. Seorang Putri cantik tiba-tiba muncul dan meminta Kean Santang mengambilkan bintang-bintang yang bertebaran di langit. Namun, Kean Santang selalu gagal memetiknya karena bintang-bintang itu berterbangan menjauh hingga ia sampai di atas Mekah. Setelah mendengar hingar bingar di atas langit, Bagenda Ali naik atas perintah Nabi Muhammad dan memberi Kean Santang mantra “Allahumasali ala nu dimakbul Sayidina Muhammad”. Ketika tertangkap, berubahlah rangkaian bintang tersebut menjadi untaian tasbih.

Kean Santang akhirnya mengetahui bahwa pemberi mantra itu adalah orang yang dicarinya. Kemudian, ia menantang bertarung. Namun, lawannya menghilang. Ketika turun ke bumi, ia bertemu dengan seorang tua renta yang sedang memikul tiang mesjid serta membawa tongkat. Sang kakek bersedia mempertemukannya dengan Bagenda Ali, tetapi lebih dahulu meminta tolong agar Kean Santang mengambilkan tongkatnya yang tertinggal dan tertancap di dalam tanah. Betapapun gigihnya Berupaya, Kean Santang tidak mampu mencabut tongkat tersebut. Akhirnya, ia takluk dan menyatakan tekadnya masuk Islam. Kemudian, diangkat sebagai sahabat Nabi.

Atas perintah Nabi Muhammad, Kean Santang kembali ke Pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Kean Santang langsung menemui ayahnya, Prabu siliwangi, yang meminta bukti pengangkatannya sebagai utusan Nabi. Kemudian, Kean Santang menghadap Nabi yang memberinya kitab Alquran dan piagam pengangkatan. Setibanya di Pajajaran, piagam itu segera dituliskan di atas batu. Konon, itulah Batu Tulis yang terdapat di Bogor sekarang.

Prabu Siliwangi menolak masuk Islam. Dengan menembus bumi, ia meninggalkan Pajajaran Sewu, para pembesarnya berubah menjadi harimau dan negerinya pun berubah dalam sekejap menjadi hutan belantara. Kean Santang berhasil mencegat Prabu Siliwangi di Tegal Luar, namun tetap tidak mau memeluk agama Islam.

Berbagai tempat di tanah Sunda ditelusuri Kean Santang. Bahkan, semua tempat yang didatangi  tersebut diislamkannya. Banyak disebut nama-nama wilayah serta penguasanya. Kemudian, ia memberi contoh cara melaksanakan khitanan. Julukan-julukan yang diperolehnya, antara lain, adalah Gagak Lumayung, Garantang Setra, Pangeran Gagak Lumiring, sunan Rakhmat, dan Sunan Bidayah.

Berdasarkan isinya , babad ini dapat disimpulkan memiliki dua fungsi, yaitu pengukuhan daerah Godog (Suci, Garut) sebagai salah satu wilayah penting pada masa awal penyebaran agama Islam di tanah Sunda serta pengukuhan bahwa keturunan Siliwangi jugalah sebenarnya yang berperan besar dalam penyebaran agama Islam. Babad ini mengakhiri kejayaan Prabu Siliwangi (Pajajaran) yang beragama Hindu, tetapi sekaligus mengawali kejayaan keturunannya dalam  menegakkan Islam di tanah Sunda dengan damai dan tanpa keraguan. Bahkan, Babad ini pun pernah disusun dalam bentuk teks drama oleh Ade Kosmaya Anggawisastra dan dipertunjukkan dalam rangka Dies Natalis Universitas Padjadjaran tahun 1993, disutradarai oleh penulisnya sendiri.

Bagikan ke:

Postingan Terkait