Babad Panjalu merupakan karya sastra sejarah yang menceritakan riwayat daerah Panjalu, sekarang sebuah kecamatan di Kabupaten Ciamis. Panjalu semula merupakan kerajaan kecil yang berdiri sendiri, kemudian menjadi kabupaten dan sejak 1819 menjadi kawedanaan (distrik). Babad Panjalu disusun oleh Prajadinata, kepala desa Mawarah, Panjalu. Penyusunannya selesai pada hari Senin tanggal 10 Juli 1905.
Babad Panjalu dinamai juga Babad Situ Lengkong disusun dalam bahasa Sunda dan berbentuk puisi (wawacan). Naskah aslinya ditulis tangan dalam huruf Latin pada kertas bergaris ukuran folio, tebal 108 halaman, tiap halaman berisi 30—38 baris. Naskahnya tersimpan di Bagian Naskah Perpustakaan Nasional Jakarta dengan nomor kode Plt. 24 dari peti nomor 121. Naskah ini pernah diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran, tahun 1976, tanpa terjemahan. Oleh Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara pada tahun 1992 naskah tersebut disertai dengan terjemahan teks dalam bahasa Indonesia serta diberi pengantar.
Babad Panjalu disusun berdasarkan naskah yang dianggap pusaka, warisan dari ayahnya, yaitu bupati Panjalu terakhir yang bernama Raden Cakranagara IV (1789—1819). Cerita dimulai dari Sanghyang Prabu Boros naik tahta di Kerajaan Panjalu menggantikan ayahnya. Dialah yang memprakarsai pembuatan Situ ‘danau’ Lengkong dan situ Panjalu yang luasnya sekitar 140 tumbak (2000 m2) dan di tengahnya terdapat pulau yang dijadikan kompleks keraton baru.
Sanghyang Prabu Boros berputra dua orang, yaitu Raden Arya Kuning dan Raden Arya Kancana. Pada awalnya Raden Arya Kuning yang dipersiapkan untuk menjadi penguasa Panjalu ketika ayahnya sudah merasa sudah tua dan ingin turun tahta. Namun, karena dianggap telah berbuat salah dengan cara berebut warisan dan kalah bertanding, akhirnya tahta Panjalu diserahkan kepada Raden arya Kancana. Sejak itu kedudukan Panjalu menjadi kabupaten dengan patihnya bernama Raden Guru Haji yang semula bernama Kampuh Jaya. Selanjutnya, kedudukan Bupati Panjalu digantikan oleh putra tertua, yaitu Sanghyang Teko yang terkenal dengan julukan Dalem Cilangkung.
Bupati-bupati selanjutnya adalah Raden Dulag Kancana, Raden Arya Kadali (adik bupati sebelumnya), Raden Martabaya (putra bupati sebelumnya), Raden arya Nitibaya (putra bupati sebelumnya), Dalem Sumalah, Raden Arya Sacanata, Raden Wirabaya (putra Dalem Sumalah), Raden Wirapraja, Raden Cakranagar (cucu Raden Arya Sacanata), Raden Cakranagara II, Raden Cakranagara II, dan Raden Cakranagara IV. Pada masa pemerintahan Bupati Cakranagara III daerah Panjalu berada di bawah kekuasaan Sultan Cirebon dan bupati ini menikah dengan putri Cirebon. Setelah Kabupaten Panjalu dihapuskan, daerahnya dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Galuh.