Bahasa Ibu sebagai Identitas Kearifan Lokal
Memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional pada tanggal 21 Februari, masih banyak bahasa ibu di beberapa daerah terancam punah. Padahal, bahasa ibu merupakan identitas kearifan lokal. Berdasarkan data dari UNESCO Atlas of languages in danger pada tahun 2015, sebanyak 30 bahasa ibu di Indonesia dalam kondisi kritis terancam punah.
Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Padahal keberadaan bahasa ibu diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Kekhawatiran ini bertambah ketika semakin ekspansifnya bahasa asing.
Kekhawatiran tersebut sangat wajar, karena hal ini bertolak belakang dengan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa ibu sebagai bagian dari kearifan lokal. Tidak hanya melalui perundang-undangan yang dikeluarkan oleh masing-masing daerah untuk melindungi bahasa ibu, tapi juga menyelaraskannya dengan kurikulum pembelajaran bahasa di sekolah-sekolah, seperti yang dilakukan oleh UNESCO dalam Naskah Sikap UNESCO mengenai Pendidikan pada tahun 2003.
Begitu mengkhawatirkannya, hingga pada suatu kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan pun sempat melontarkan, “Jadi, gunakan kosakata daerah. Biarkan orang mengerutkan dahinya. Saran saya, pakai bahasa daerah lewat blog-blog kalian. Melalui para blogger dan media massa, saya yakin, kosakata Bahasa Indonesia bisa bertambah hingga 200.000 kosakata dalam waktu empat tahun.”
Namun, sayang upaya-upaya tersebut tidak diimbangi dengan pelaksanaannya di lapangan. Sekolah-sekolah hanya sekedar mengajarkan bahasa ibu sebagai mata pelajaran tanpa menjadikannya sebagai bagian dari keraifan lokal yang harus dijaga dan dilindungi. Sehingga, masih banyak siswa sebatas mempelajari bahasa ibu di sekolah tanpa menggunakannya secara aktif dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya justru memposisikan bahasa ibu ke dalam kondisi terancam punah, karena penutur muda yang menggunakan bahasa ibu secara aktif sangat kurang. Tidak hanya itu, kondisi ini pun bertambah parah dengan kurangnya dukungan media massa dalam melindungi bahasa ibu.
Jika hal ini dibiarkan terus, maka tidak hanya bahasa ibu yang terancam punah, tapi lambat laun bahasa Indonesia juga akan terancam, karena bagaimanapun bahasa ibu merupakan kerangka utama dalam pengembangan bahasa Indonesia. Ketika penutur muda bahasa ibu semakin berkurang, maka pengembangan bahasa Indonesia akan tersendat dan bahkan terhenti. Akibatnya, penutur bahasa Indonesiapun dalam sehari-hari akan berkurang.
Upaya Nyata
Upaya mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa ibu sebagai bagian dari kearifan lokal tidak hanya melalui perundang-undangan, tapi juga melalui upaya nyata secara langsung. Apa saja yang dapat dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh individu penutur bahasa ibu?
Pendokumentasian bahasa ibu. Pendokumentasian secara manual maupun secara komputerisasi sangat diperlukan. Pendokumentasian sangat diperlukan demi keberlangsungannya agar tidak terancam punah. Dengan didokumentasikan secara baik, maka bahasa ibu masih dapat dikembangkan dan diajarkan kembali kepada para penutur muda. Hal ini dapat dilakukan baik oleh pemerintah, individu penutur dalam hal ini masyarakat, maupun media massa.
Selain mendokumentasikan bahasa ibu, upaya lainnya adalah melalui mengembangkan, menjaga, dan memasyarakatkan tradisi lisan. Bagaimanapun, bahasa ibu merupakan bagian terpenting dalam kearifan lokal. Dengan mengembangkan, menjaga, dan memasyarakatkan tradisi lisan, maka secara tidak langsung melindungi bahasa ibu.
Mengapa bahasa ibu yang terancam lebih banyak tersebar di wilayah Indonesia Timur? Berdasarkan data dari UNESCO Atlas of languages in danger dari 30 bahasa yang terancam punah di Indonesia, 28 bahasa diantaranya merupakan bahasa di wilayah Indonesia Timur.
Hal ini terjadi karena tidak dilakukannya pendokumentasi terhadap bahasa-bahasa tersebut, baik secara manual maupun secara komputerisasi. Tidak hanya itu, lunturnya tradisi lisan di daerah tersebut juga mempengaruhi perkembangan bahasa ibu. Semestinya, selain dilakukan pendokumentasian terhadap bahasa-bahasa ibu di wilayah Indonesia timur, juga harus dilakukan pelestarian terhadap tradisi lisan yang ada. Hal ini sangat penting demi keberlangsungan bahasa ibu. Dengan begitu, bahasa ibu akan lebih memasyarakat dan digunakan sebagai alat komunikasi serta pemberdayaan kebudayaan.
Ingatlah, bahwa bahasa adalah identitas, tanpa identitas kita tidak akan dikenal oleh masyarakat lain. Seperti yang tertuang dalam Naskah Sikap UNESCO mengenai Pendidikan pada tahun 2003 bahwa Bahasa bukan hanya sebuah alat komunikasi dan pengetahuan tetapi juga memiliki sifat fundamental sebagai identitas dan pemberdayaan budaya. Selamat hari Bahasa Ibu Internasional.
Ditulis oleh Anri Rahman
Biodata Penulis
*Bergiat pada Komunitas Sastra Masuk Desa dan Komunitas Djonggoler, sehari-hari bekerja sebagai pendidik di Sekolah Madania, Telaga Kahuripan, Parung, Kab. Bogor. Email: anri_rachman@yahoo.com telepon: 085624496954. No. Rek. BCA 0953096444 a.n. Anri Rachman.