Bahasa Perempuan dalam Sastra

Tulisan ini membahas bahasa perempuan dalam karya sastra. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat (2014: 773) arti “laki-laki” adalah orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan adakalanya berkumis sedangkan dalam (KBBI, 2014: 1054) arti perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat mentruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita.

Saat ini, gairah penulis perempuan adalah fakta yang tak bisa ditolak. Di satu sisi, hal ini dapat dimaknai sebagai upaya perjuangan kaum perempuan, yang selama ini pengarang perempuan seolah-olah terpinggirkan. Sisi lain, rupanya pengarang perempuan ingin unjuk gigi bahwa mereka juga merupakan bagian kehidupan yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Masyarakat ternyata antusias terhadap fenomena ini, terlebih ketika tema seksualitas bermunculan dalam karya sastra. Jika kita selama ini sering disuguhkan bahasa pengarang laki-laki yang menggambarkan seksualitas dalam karya sastra, maka dalam tulisan ini kita menelusuri bahasa pengarang perempuan dalam karya sastra. Seksualitas yang selama ini dianggap tabu oleh sebagian masyarakat untuk diperbincangkan, kemudian oleh pengarang perempuan  ditulis dalam wujud karya sastra berupa novel dengan bahasa yang vulgar, erotik, dan narsisisme. Kata vulgar dalam (KBBI, 2014: 1550) adalah kasar (tt perilaku, perbuatan, dsb) dan kata erotik (KBBI, 2014: 381) adalah berkenaan dengan sensasi seks yang menimbulkan rangsangan; bersifat merangsang nafsu berahi; berkenaan dengan nafsu berahi sedangkan kata narsisisme dalam (KBBI, 2014: 952) (1) adalah hal (keadaan) mencintai diri sendiri secara berlebihan; (2) hal (keadaan) mempunyai kecenderungan (keinginan) seksual dgn diri sendiri.

Untuk menelusuri bahasa pengarang perempuan melukisan seksualitas dengan bahasa vulgar, erotik, dan narsisime dalam karya sastra, maka dibahas beberapa pengarang perempuan yakni Ayu Utami, Jenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari, dan Oka Rusmini. Ayu Utami mengejutkan dunia sastra Indonesia ketika novelnya yang berjudul Saman memenangkan sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998. Saman menjadi novel pertama hasil karya perempuan yang memenangkan sayembara bergengsi itu. Novel itu sangat berani dalam menggambarkan seksualitas dibandingkan dengan karya-karya sastra Indonesia sebelumnya. Darmono memuji Saman sebagai novel yang memamerkan teknik komposisi baru yang belum pernah dicoba oleh pengarang lain di belahan dunia manapun. Teknik komposisi itu merupakan perpaduan antara narasi, esai, dan puisi. Ignas memuji dalam hal pemakaian bahasa yang dianggapnya sebagai aspek yang paling unggul dalam Saman. Potensi bahasa Indonesia dikerahkan secara optimal, baik deskriptif maupun metaforis. Pada beberapa tempat yang dianggap sebagai puncak pencapaiannya, kata-kata bercahaya bagaikan kristal. Ayu dianggap sebagai subjek yang mampu membicarakan masalah seksual secara lantang dalam pandangan perempuan dalam sebuah masyarakat yang masih menempatkan perempuan dalam posisi sebagai objek seksual semata. Ayu berusaha mendobrak sistem masyarakat patriarki yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki, termasuk dalam masalah seksual.

Selain Ayu Utami yang menggambarkan seksualitas dalam karyanya yakni Jenar Mahesa Ayu dalam noveln Nayla dan Dewi Lestari dalam novel Supernova, serta Oka Rusmini dalam novel Tarian Bumi. Mereka itu dalam novel-novelnya membidik tentang persoalan kehidupan perempuan, lengkap dengan seputar kehidupan seksnya. Misalnya, novel Nayla menceritakan tokoh Nayla seorang tokoh perempuan nakal. Ia tidak hanya bercinta dengan beberapa laki-laki, tetapi ia juga bercinta dengan sesama jenis. Begitu juga dalam novel Supernova yang isinya menggambarkan tokoh perempuan yang haus bercinta. Hubungan badani antara jenis kelamin dan sesama jenis dalam kedua novel tersebut dikupas secara gamblang tanpa ada yang disembunyikan. Sepertinya Jenar Mahesa Ayu dan Dewi Lestari mau menggugat tradisi yang selama ini beranggapan bahwa kaum laki-lakilah yang berkuasa terhadap kaum perempuan. Kedua novel itu seperti sengaja menggambarkan tokoh perempuan terutama tubuhnya untuk memperdaya laki-laki, dan ternyata tokoh laki-laki dalam novel itu pun tidak berdaya. Dengan kemolekan tubuh perempuan itu para laki-laki bertekuk lutut di hadapan kaum perempuan. Hal itu sebagaimana yang digambarkan dalam kedua novel tersebut melalui para tokohnya.

Begitu juga dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Tarian Bumi mengisahkan perempuan-perempuan Bali yang tertindas akibat adanya perbedaan status sosial. Dengan adanya kasta dan budaya patriarki itu, sudah tentu perempuan di Bali sangat dirugikan. Keadaan itu, diperparah lagi dengan adanya budaya patriarki yang telah membudaya di masyarakat Indonesia, terutama di masyarakat Bali. Dengan demikian, kedua budaya itu telah merendahkan derajat kaum perempuan. Kaum perempuan dianggap hanya sebatas pelengkap hidup saja. Rupanya, pengarang perempuan yang satu ini, berbeda dengan pengarang-pengarang lainnya. Oka Rusmini melalui novel Tarian Bumi membuat wacana yang berani. Ia mempertanyakan kasta dan ketidakadilan kasta itu dipertentangkan dalam novel. Dalam novelnya itu, diceritakan bahwa kasta yang berlaku di masyarakat Bali itu, sudah bukan zamannya lagi sehingga keberadaan kasta itu harus dihilangkan. Hal ini diperkuat dengan kehadirannya tokoh Luh Kenten, yaitu seorang perempuan yang membenci kaum laki-laki. Dia tidak mencintai laki-laki. Oleh karena laki-lakilah penyebab keluarganya menjadi berantakan. Ayahnya tidak mau bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup keluarganya. Pekerjaan sehari-hari ayahnya hanya dihabiskan untuk berjudi dan bermain perempuan sedangkan ibunya harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Bahkan sangat tragis sekali, ayah Luh Kenten mati dalam pelukan seorang perempuan pelacur.

Latar belakang kehidupan dalam keluarganya itulah, yang menjadikan Luh Kenten tidak simpati terhadap laki-laki. Dia lebih menyenangi perempuan daripada laki-laki. Bahkan Luh Kenten telah jatuh cinta kepada Luh Sekar yang dianggapnya seorang perempuan yang selalu bisa membantunya. Luh Kenten juga terpesona dengan kecantikan Luh Sekar. Pengarang menggambarkan tokoh Luh Sekar sebagai perempuan yang secara pisik sangat sempurna. Tidak jarang Luh Kenten suka mengintip Luh Sekar ketika ia mandi dan ketika ia sedang berganti pakaian. Ketika Luh Sekar sedang di kamar mandi, lalu ia perlahan menanggalkan pakaiannya, maka dengan jelas kelihatan kemulusan badan Luh Sekar. Hal ini membuat jantung Luh Kenten berdesir ketika ia mengintip di lubang kunci pintu kamar mandi karena Luh Sekar mempunyai wajahnya yang cantik, bodinya yang montok, dan bibirnya yang ranum. Dengan kecantikannya itu, membuat para laki-laki terpesona apabila memandangnya. Luh Kenten tidak rela apabila Luh Sekar harus jatuh ke pelukan laki-laki karena laki-laki dianggapnya sosok manusia yang tidak mau bertanggungjawab. Dia menganggap bahwa perempuan oleh laki-laki hanya dijadikan “sangkar madu” dan sebagai pemuas napsu belaka.

Itulah sekelulit gambaran singkat bahasa penagarang perempuan dalam melukiskan seksualitas dalam karya sastra yang vulgar, erotik, dan narsisisme.

Ditulis oleh Asep Supriadi

Bagikan ke:

Postingan Terkait