Bahasa Sunda Banten, Kasarkah?

oleh Adella Suvy F. Ahkam.

Jago silat dong, ya?”
“Waduh bisa santet-santet gitu dong, ya? Hehehe.”
Oh, Badui, Badui!”

Ketiga ujaran di atas adalah sedikit contoh dari respons atas pernyataan saya yang menyatakan bahwa saya berasal dari Rangkasbitung, Banten. Saya harus menyertakan nama provinsi untuk menjawab pertanyaan, “Dari mana asal Anda?”, sebab banyak yang belum mengetahui letak Kota Rangkasbitung. Bagaimana saya mengetahuinya? Sederhana saja, akan ada dua respons lanjutan yang menunjukkan ketidaktahuan orang tersebut. Pertama, mereka akan mengatakan, “Ooh!”. Kedua, mereka menanyakan langsung di mana letak Rangkasbitung itu sebenarnya. Oleh karena itu, untuk mempersingkat percakapan saya selalu menyertakan kata Banten. Sebenarnya, banyak hal yang menarik dari Provinsi Banten. Terutama bagi mereka yang memiliki ketertarikan dalam bahasa, khususnya bahasa Sunda.

Bahasa Sunda sendiri adalah bahasa yang tersebar umumnya di daerah Jawa Barat hingga Banten sebagai bagian paling barat dari pulau jawa. Sebagai provinsi sapihan dari Jawa Barat, bahasa umum yang digunakan di masyarakat Banten adalah bahasa Sunda (selain Serang Kota yang notabene masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa Serang).

Meskipun banyak sekali varian bahasa Sunda yang digunakan di berbagai daerah, misalnya bahasa Sunda Priangan (varian bahasa Sunda yang digunakan di daerah Bandung, Tasikmalaya, dan Garut), namun menariknya adalah varian bahasa Sunda Banten dianggap sebagai varian yang paling kasar. Misalnya, dalam bahasa Sunda dikenal kecap panganteb (kata penegas). Ya, kecap panganteb ini dianggap sebagai “pelengkap” dalam bahasa Sunda. Kata seperti “mah” dan “atuh” tentu sudah dikenal masyarakat luas, bahkan oleh mereka yang tidak berbahasa Sunda. Bahasa Sunda Banten pun memiliki kata penegas seperti “mah” dan “atuh” yang kurang lebih memiliki makna serupa, yakni “geh” dan “jing”. Kata ini, terutama “jing”, seringkali membuat kaget pendengar atau lawan bicara yang belum memahami maksudnya. Mereka umumnya mengaitkan “jing” dengan kata “anjing” yang bermakna leksikal sebagai hewan berkaki empat yang menggonggong. Padahal, bukan itu maksudnya.

Jika Sunda Priangan akan menggunakan ujaran, “Jangan ke sana, atuh!”, dalam Sunda Banten akan menjadi, “Jangan ke sana, geh!” atau “Jangan ke sana, jing!”. Pada dasarnya kata “geh” dan “jing” tidak memiliki makna khusus. Namun, “geh” menunjukkan ekspresi atau tekanan yang lebih lemah dibanding “jing”.

Saya sendiri memiliki dua latar belakang penguasaan bahasa Sunda, yakni bahasa Sunda Banten dan Sunda Bandung. Dalam beberapa hal saya merasakan perbedaan antarkedua varian ini. Namun, sebenarnya bagi orang Banten sendiri bahasa Sunda mereka tidaklah kasar. Semua penilaian sosial ini semata-mata karena bahasa Sunda Banten tidak memiliki tingkatan dalam penggunaannya, misalnya versi lebih halus atau kata khusus yang ditujukan berdasarkan umur. Sementara itu, varian Sunda Priangan memilliki tingkatan bahasa.

Contoh yang paling jelas adalah kata “aing” dalam varian Sunda Banten yang merujuk pada “saya”. Di varian Sunda Priangan, “aing” adalah kata yang lebih kasar dari “abdi”. Kata “aing” ini digunakan hanya pada konteks informal dan dengan orang yang lebih muda atau seumur. Penggunaan kata “aing” juga bisa mengindikasikan kemarahan atau kedekatan antara si pengujar dan pendengarnya. Contoh lainnya adalah kata “dia” yang dalam varian Sunda Banten memiliki makna “kamu”. Sangat berbeda dengan bahasa Indonesia dan Sunda Priangan, bukan? Dalam bahasa Indonesia, “dia” adalah bentuk dari orang ketiga tunggal, begitu juga dengan Sunda Priangan.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, bahasa Sunda Banten juga ikut terkena dampak dalam hal persepsi terhadap bahasanya. Banyaknya pendatang dari luar Banten dan orang Banten sendiri yang bekerja di luar kota menyebabkan pandangan akan “kasarnya” bahasa Sunda Banten semakin menguat. Tentu saja, pada akhirnya hal ini dapat dianggap sebagai dampak baik bagi sebagian, tetapi sebagian lain justru menganggap hal ini merupakan sebuah dampak buruk bagi eksistensi bahasa Sunda Banten.

Hal ini akan memunculkan dualisme sikap, bergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Namun, sebagai orang yang bergelut di bidang kebahasaan, akan lebih baik jika kita sama-sama berusaha memahami suatu fenomena bahasa sebelum melakukan penilaian akan kasar-halusnya suatu bahasa. Dengan berbekal pemahaman yang cukup, tentu saja kita akan dapat menempatkan dan mendudukan sesuatu pada tempat yang tepat.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.

Bagikan ke:

Postingan Terkait