Bandung—Pada abad ke-14 Masehi, sastra Indonesia telah membuktikan diri sebagai sastra kelas dunia. Cerita Panji—karya sastra asal Jawa yang penuh dengan kisah petualangan, cinta, dan kebijaksanaan—berhasil menembus batas-batas geografis dan budaya; merambah wilayah Asia Tenggara, mulai dari Thailand, Myanmar, Vietnam, Laos, Kamboja, sampai Filipina.
Cerita Panji berisi cerita petualangan Raden Inu Kertapati dari Kerajaan Jenggala yang dijodohkan dengan Dewi Galuh Chandra Kirana (Dewi Sekartaji) dari Kerajaan Panjalu yang tak lain adalah sepupunya. Proses untuk menemukan Dewi Sekartaji dilakukan oleh Inu Kertapati melalui petualangan dengan berbagai penyamaran dan penggunaan nama yang berbeda, sebelum akhirnya pasangan kekasih ini berkumpul kembali.
Kisah Raden Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji merupakan cerita lokal yang ada sejak 1276 di Kediri, Jawa Timur. Kisah yang dikenal dengan Cerita Panji itu terkenal dan diadaptasi ke seluruh penjuru Nusantara mulai dari Jawa, Bali, Lombok, sampai Sulawesi Selatan. Menurut filolog asal Belanda, Cornelis Christiaan Berg, Cerita Panji berasal dari bahasa Jawa Kuno lalu diterjemahkan atau disadur ke bahasa Melayu. Kisah Panji berkembang menjadi beberapa turunan cerita rakyat yang sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat, termasuk Ande-Ande Lumut, Panji Laras, Keong Mas, Timun Mas, dan Panji Semirang. Di Jawa Barat, salah satu turunan Cerita Panji adalah Ciung Wanara.
Cerita Panji menjadi populer pada masa keemasan kerajaan Majapahit, yakni pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Saat itu, terjadi semacam revolusi dalam kesusastraan Jawa. Cerita Panji menandai perkembangan sastra Jawa yang mulai bebas dari pengaruh India, yang sebelumnya didominasi oleh epos besar seperti Ramayana dan Mahabharata sejak abad ke-12. Masyarakat mulai merasa jenuh dengan bahan bacaan yang diimpor dari India itu. Selain itu, generasi muda semakin sulit menguasai bahasa Sanskerta yang dianggap sangat rumit. Akibatnya, mereka lebih memilih menggunakan bahan lokal dan menciptakan bentuk sastra mereka sendiri. Salah satu hasil dari adaptasi ini adalah munculnya Cerita Panji.
Persebaran Cerita Panji diduga seiring dengan politik ekspansi Patih Gajah Mada di berbagai kawasan Nusantara, bahkan sampai ke wilayah-wilayah kerajaan di Semenanjung Melayu dan Asia Tenggara. Adanya Cerita Panji dari Majapahit yang bernuansa roman/percintaan, pengembaraan, dan penyamaran, tampaknya menarik perhatian para pujangga sastra dan seniman di wilayah-wilayah yang telah berada dalam pengaruh politik Majapahit.
Persebaran cerita Panji di berbagai wilayah Nusantara dan bahkan sampai ke beberapa negara di Asia Tenggara bahkan menimbulkan berbagai versi cerita Panji. Raja Thailand, Rama I (1782-1809) misalnya, memprakarsai penulisan-penulisan karya sastra yang bersumber dari Cerita Panji yang diadaptasikan dengan budaya Thai. Cerita Panji dalam versi Thailand ini kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk seni pertunjukan, yaitu ‘Dalang’ dan ‘Inao’ yang jelas berasal dari kata Inu Kertapati, salah satu nama alias Raden Panji. Cerita Panji di Thailand malah lebih memasyarakat ketimbang di Indonesia. Kisah ini bahkan menjadi materi pelajaran sastra di bangku sekolah.
Di Malaysia, Cerita Panji menginspirasi penulisan teks ‘Sejarah Melayu’ (1612) dan ‘Hikayat Hang Tuah’ (1641). Dalam ranah sastra Melayu, banyak Cerita Panji yang telah diterjemahkan ke bahasa Melayu, seperti Hikayat Jinatur Jayeng Kusuma, Hikayat Misa Taman Jayeng Kusuma, Hikayat Cekel Wanengpati, Hikayat Jaran Kulina, Hikayat Misa Prabu Jaya, Hikayat Panji Kuda Semirang, dan lain-lain. Keunikan dan popularitas Cerita Panji bahkan menginspirasi munculnya berbagai bentuk seni tradisional seperti tari, wayang, topeng, ukir, serta seni rupa lainnya.
Kejayaannya membuat United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2017 menetapkan Manuskrip Cerita Panji sebagai bagian dari Memory of the World. Sebagai Warisan Ingatan Dunia, Cerita Panji memenuhi kriteria UNESCO untuk “mewakili puncak kejeniusan kreativitas manusia dan memiliki nilai kultural tinggi”. Sementara itu, Adrian Vickers, budayawan Asia Tenggara dari University of Sydney bahkan mendeklarasikan adanya “a Panji civilization in Southeast Asia” atau “Peradaban Panji di Asia Tenggara”, menunjukkan bagaimana kawasan Asia Tenggara diikat oleh budaya Panji.
Untuk memajukan budaya Panji, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) rutin mengadakan Festival Budaya Panji. Pada 2023, Festival Budaya Panji melibatkan sembilan negara peserta di regional ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam.
Jika nenek moyang kita pada abad ke-13 sudah mampu menduniakan sastra milik kita dengan mengandalkan jalur dagang dan masyarakat pesisir dari mulut ke mulut, tentunya kita juga bisa menduniakan sastra Indonesia modern dengan kecanggihan teknologi yang ada. Karya sastra Indonesia modern, menurut A. Teeuw (1978), telah lahir sejak 1920-an. Hal ini ditandai dengan terbitnya novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar oleh Penerbit Balai Pustaka. Sastra Indonesia terus berkembang dari tahun ke tahun, menciptakan berbagai angkatan sastrawan, sebut saja Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ‘45, Angkatan ‘66, hingga Angkatan 2000-an.
Namun, walaupun sudah berkembang selama lebih dari satu abad, harus diakui bahwa posisi sastra Indonesia dalam peta literatur dunia saat ini masih terpinggirkan. Sebagai renungan, sejak Hadiah Nobel Sastra diraih pertama kali oleh sastrawan Prancis Sully Prudhomme pada 1901, penulis Indonesia yang pernah masuk nominasi hadiah sastra prestisius itu hanyalah Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya adalah sastrawan terkemuka yang menerbitkan novel-novel cemerlang setelah bebas dari hukuman penjara dan diasingkan di Pulau Buru tanpa proses pengadilan oleh rezim Orde Baru selama belasan tahun (1965-1979).
Padahal, selain Pramoedya, sebetulnya banyak sekali penulis Indonesia yang menghasilkan karya sastra yang mengandung banyak nilai-nilai moral, sosial, dan filosofis, sambil mempromosikan budaya Indonesia. Sayangnya, karya mereka tidak dapat dinikmati masyarakat global karena kendala bahasa. Berdasarkan perbincangan dengan Dr. Ibnu Wahyudi, sastrawan dan pengajar Sastra Indonesia di Universitas Indonesia (UI), karya sastra Indonesia sangat potensial untuk mendunia, terutama cerita pendek (cerpen) yang memiliki corak-corak lokalitas. Kekhasan kedaerahan kita yang kaya seharusnya mampu menjadi magnet bagi pembaca asing.
Cerpen bernuansa budaya lokal banyak ditemukan, misalnya, dalam kumpulan-kumpulan cerpen Kompas. Sebut saja cerpen berjudul Mar Beranak di Limas Isa (2011) karya Guntur Alam yang mengisahkan seorang wanita yang telah memasuki usia kepala empat tetapi masih saja melahirkan banyak anak yang semuanya perempuan. Sampai ia melahirkan anak ke-14-nya, ia masih tidak puas karena anaknya juga perempuan. Ia menyimpan obsesi untuk melahirkan seorang anak laki-laki karena menurut tradisi dusun tersebut, yakni di Tanah Abang, Sumatera Selatan, anak laki-laki memiliki hak yang lebih tinggi.
Sastra Indonesia juga akan semakin diapresiasi jika diadaptasi dalam layar lebar. Misalnya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan yang diadaptasi menjadi film oleh Edwin. Pada Agustus 2021, film ini berhasil membawa pulang Golden Leopard, hadiah utama dari sesi kompetisi internasional yang diadakan oleh Locarno International Film Festival 2021. Selain itu, menjadi satu-satunya film yang mewakili Indonesia di Festival Film Internasional Tokyo (TIFF) 2021.
Lokalitas yang dihadirkan dalam novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala juga mencapai puncaknya ketika dialihwahanakan menjadi serial original Netflix yang disutradarai Kamila Andini dan Ifa Ifansyah. Gadis Kretek bahkan menduduki peringkat 10 besar serial Netflix terpopuler di enam negara; termasuk Malaysia, Chile, Romania, Meksiko, dan Venezuela.
Perlu dicatat, di Malaysia, popularitas film, sinetron, dan konten hiburan Indonesia semakin meningkat; yang menjadikan industri hiburan Indonesia sebagai bagian penting dari kehidupan sehari-hari masyarakat di negara tersebut. Menurut salah seorang sahabat penulis dari Kuala Lumpur, film seperti KKN di Desa Penari dan Dilan 1990 pernah tayang selama dua hingga tiga minggu dengan penonton yang terus-menerus membeli tiket untuk menontonnya kembali.
Ketertarikan ini tidak hanya terbatas pada film, tetapi juga meluas ke musik Indonesia yang diputar di Malaysia. Beberapa penyanyi Indonesia seperti Cakra Khan, Fabio Asher, Afgan, dan Mahalini juga sangat dikenal di Malaysia. Lagu-lagu seperti Penjaga Hati oleh Nadhif Basalamah, Tak Segampang Itu oleh Anggi Marito, dan Hati-Hati di Jalan oleh Tulus sering terdengar di berbagai tempat, mulai dari radio hingga pusat perbelanjaan.
Bukan tidak mungkin sastra Indonesia kembali mendunia. Masyarakat dunia selalu haus pengetahuan dari masyarakat lain yang tinggal dalam planet yang sama. “Que sais-je?” ‘Apa yang saya ketahui?’, adalah pernyataan Michel de Montaigne, seorang filsuf Prancis. Menurutnya, kita tidak bisa menjadi bijaksana dengan kebijaksanaan orang lain, tetapi kita bisa berpengatahuan dengan pengetahuan orang lain. Itulah peluang sastra Indonesia untuk menjadi sastra dunia karena sastra adalah pengetahuan tentang kehidupan dan kehidupan itu sendiri.
Memanfaatkan kekuatan sastra dan industri hiburan yang terus berkembang dapat menjadi alat diplomasi lunak untuk memperkenalkan bahasa Indonesia ke kancah internasional. Strategi ini yang digunakan Korea dalam menggaungkan Korean Wave. Memanfaatkan peluang bahasa Indonesia yang sudah dinobatkan sebagai bahasa resmi ke-10 dalam sidang umum UNESCO, posisi Indonesia semakin kuat. Generasi muda bisa belajar dari kisah sukses Cerita Panji yang mendunia dan menerapkannya dalam karya-karya modern seperti sastra, film, dan sinetron. Dengan semangat dan dedikasi, generasi muda dapat menjadikan bahasa dan sastra Indonesia dikenal dan mengglobal.
Ditulis oleh: Luthfi Abdul Hakim dan Dyra Daniera (Duta Bahasa Jawa Barat 2024)