BI SIRINTIL
Cerpen Toni Lesmana
Dentang jam tiga kali.
Jam tiga pagi. Lampu ruang tengah di sebuah rumah masih menyala. Kepala seekor tokek muncul dari balik pigura lukisan besar. Lukisan berlatar warna kelabu, sesosok tubuh telanjang sedang menyimpan kepalanya di atas piring, piring di atas meja panjang, sedemikian panjang hingga ujung dari meja itu hanya runcing yang berakhir pada lingkar terang berwarna putih, meja itu mirip sebuah pedang yang menghunjam lambung kelabu.
Tepat di bawah lukisan, Bi Sirintil masih menjahit. Kepalanya memakai ciput warna ungu. Beberapa helai uban lolos dari perangkap ciput. Sweater biru melindungi tubuhnya. Kain samping batik megamendung menutupi bagian tubuh bawah. Kacamata tebal dengan bingkai warna hitam berkali-kali merosot dan hampir jatuh. Raut keriput yang khusyuk.
Pola jahitan bertebaran, kain menumpuk. Menjelang lebaran, ada beberapa pesanan yang belum selesai. Sehari sebelum lebaran, ia akan berkeliling mengantar hasil jahitan kepada para tetangganya. Selalu begitu, tak berubah, lebaran adalah baju baru. Lebaran memang mesti ada hal-hal baru.
Bi Sirintil mencintai pekerjaannya. Ia beranggapan menjahit adalah kehidupan. Sejak kecil sampai sekarang ia tak berhenti menjahit. Mulai dari mesin jahit singer warisan ibunya, hingga sekarang mesin jahit listrik pemberian dari anaknya.
Seluruh hidupnya ia baktikan untuk menjahit.
Usianya sekarang hampir 70 tahun. Tinggal sendirian, berkeras hidup sendiri, berulangkali dibujuk oleh anaknya untuk tinggal bersama di kota besar dengan segala kemudahan dan fasilitas mewah. Ia selalu menolak.
“Ibu lahir di sini, Ibu ingin membaktikan hidup di sini. Orang-orang di sini menghargai ibu sebagai penjahit. Itu membuat ibu bahagia. Kalau di kota sana, apa yang bisa ibu lakukan. Paling juga akhirnya masuk panti jompo.”
“Tapi tak selamanya Ibu bisa mengurus diri sendiri?” Ujar anaknya, Cep Dayut, saat lebaran kemarin. Tentu saja seorang anak akan khawatir pada ibunya. Apalagi hidup sendiri.
“Siapa bilang Ibu hidup sendiri. Di sini semua orang adalah saudara. Saling memperhatikan. Jangan pernah bilang lagi Ibu hidup sendiri!” Bi Sirintil sedikit menghardik, pergi ke kamar dan membanting pintu.
Wataknya memang keras dan Cep Dayut lebih banyak mengalah sekalipun ingin sekali mengajak ibunya tinggal di rumahnya.
Sekarang sudah menuju lebaran lagi. Tahun ini Cep Dayut giliran berlebaran di kampung mertuanya. Tentunya akan sepi sekali rumah Bi Sirintil, mereka paling akan datang seminggu setelah lebaran, begitu biasanya.
Tapi Bi Sirintil tidak pernah kesepian.
Setiap hari tetangganya selalu ada yang datang untuk menyapa atau bercakap. Saatnya berbuka, senantiasa ada yang berkirim makanan, bahkan saatnya sahur pun mereka selalu datang untuk membangunkan.
Dentang jam satu kali dari dinding yang dipenuhi foto, dinding yang berhadapan dengan dinding yang dipenuhi lukisan kelabu, mengabarkan waktu telah beranjak ke setengah empat.
Kegaduhan di luar. Mendekat. Suara kentongan dan bedug ditingkahi teriakan-teriakan dan nyanyian, mengingatkan waktu sahur.
Bi Sirintil memeriksa beberapa baju yang belum selesai. Baju untuk anak Mang Molotok, penjual sayur keliling yang sudah lama terbaring sakit, baju untuk Mang Walagri, tukang ambil sampah yang usianya tak jauh beda dengan dirinya, baju untuk Jang Watir, anak muda yatim piatu yang rajin azan di masjid yang sekarang suaranya paling nyaring bernyanyi membangunkan orang sahur.
Tak seperti penjahit lainnya, Bi Sirintil memilih dan membeli sendiri kain-kain yang hendak ia jahit menjadi baju. Ia sering memperhatikan mereka yang ia anggap menginginkan namun tak memiliki. Ia memperhatikan mereka untuk kemudian membayangkan ukuran tubuh mereka serta model baju yang cocok untuk mereka. Hingga suatu hari, ia sendiri yang akan berjalan dari rumah ke rumah, mengantarkan hasil jahitannya.
Ia berdiri, berjalan ke arah jendela, mengintip dari gorden. Tak lama berbalik sambil bernyanyi kecil mengikuti nyanyian yang terus menjauh di luar sana. Dipandangnya lukisan kelabu.
Lukisan hasil karya Mang Suruntul, suaminya tercinta, yang meninggal 5 tahun silam. Suaminya seorang pelukis yang pernah pameran di banyak kota. Pelukis kampung yang lebih sering membagikan lukisannya kepada yang sungguh-sungguh mau merawatnya, daripada menjualnya ke sembarang orang. Tersisa tinggal satu, lukisan yang kini sedang dipandang oleh Bi Sirintil. Lukisan yang bahkan tak diberi judul. Lukisan yang ukurannya hampir menutupi dinding itu adalah mas kawin pernikahan.
Pernah ia bertanya tentang arti lukisan tersebut, namun Mang Suruntul hanya menjawabnya dengan senyuman.
“Kita tak pernah benar-benar tahu pada apapun, bahkan pada sesuatu yang kita pikir kita ciptakan.” Selalu kalimat itu yang menyusul setelah senyuman.
Bi Sirintil tersenyum ketika mengingat senyum suaminya.
Dulu, hampir setiap malam mereka begadang bersama. Bi Sirintil menjahit sementara Mang Suruntul melukis. Sering malam-malam mereka lewati tanpa bercakap, asyik dengan dunia masing-masing. Kebersamaan yang hening dan bening. Saling melirik dan melempar senyum.
“Hasil jahitanmu lebih berguna dibanding lukisanku. Jangan berhenti menjahit selama ada yang memintamu untuk menjahit.” Pernah suatu kali Mang Suruntul berbisik, yang kemudian menjadi semacam wasiat yang selalu diingat dan dilaksanakan. Dan, memang selalu ada, selalu ada yang memintanya menjahit. Bukan siapa-siapa, namun dirinya sendiri.
Suara tokek menyadarkan Bi Sirintil. Ia lekas pergi ke meja makan. Menyeduh teh manis. Bersiap makan sahur. Menghangatkan semur telur dan tumis pare. Ada yang unik, dia mengambil dua piring dan mengisi dua gelas. Mengisinya masing-masing dengan sedikit nasi, setengah semur telur, dan dua sendok tumis pare. Usai berdoa, dia berbisik menyebut nama suaminya, dan mempersilahkan untuk makan. Baru dia menyuap nasi. Sesekali melirik ke arah piring yang satunya lagi. Seakan-akan ada seseorang yang ikut menemaninya makan sahur. Pada akhirnya, usai makanan di piringnya habis, dia menyantap kembali isi piring yang satunya lagi.
Terakhir meneguk air bening di dua gelas kecil. Perlahan sambil tersenyum. Senyum yang seakan-akan diberikan untuk seseorang yang menemaninya.
Barangkali bagi Bi Sirintil, Mang Suruntul itu tetap ada di sisinya. Sekalipun sekarang, sesungguhnya, sudah berada di sisi-Nya.
Dentang jam empat kali.
Dering telepon. Selalu. Cep Dayut memang selalu menelepon setiap jam 4. Mengingatkan waktu sahur, menanyakan kesehatan dan hal-hal lainnya. Cep Dayut tak pernah lagi berani membujuk untuk mengajak Bi Sirintil ke rumahnya, namun ia akan meminta anak-anaknya untuk bicara bergantian kepada neneknya. Tentu dengan harapan, suara-suara mereka akan bisa membuat hati ibunya tergerak untuk berkumpul bersama. Namun harapan itu masih saja harapan, sementara puasa sudah menginjak hari ke 25.
Satu hari menjelang lebaran, masih pagi, Bi Sirintil baru saja pulang dari mengantar hasil jahitan ke rumah-rumah tetangganya. Seekor kupu-kupu terbang masuk saat ia membuka pintu, mengepak di dalam rumah, lantas hinggap di jendela. Ia sesekali menatap kupu-kupu itu saat mulai menyapu dan menata ruang depan, mengganti taplak meja dengan yang baru, menyimpan toples-toples kue lebaran di atas meja. Berlanjut merapikan pola, sisa kain-kain di ruang tengah yang masih berserakan. Ketika membuka lemari tempat kain, tanpa sengaja ia menemukan sebuah kain. Kain putih yang teramat putih.
Bi Sirintil mengambilnya, kain yang ternyata masih baru. Cukup untuk membuat sepasang baju. Ia tiba-tiba teringat sepasang baju pengantin. Tiba-tiba saja. Kain putih itu, di matanya, akan pantas untuk dijadikan kain pengantin. Ia mendadak ingin menjahitnya. Tapi untuk siapa. Tak ada kabar akan ada pernikahan di kampung ini.
Namun, keinginan untuk menjahit tak bisa ditahan. Tidak penting untuk siapa, toh nanti pasti akan ada yang memakainya, entah siapa. Dibawanya kain itu ke arah mesin jahit. Sambil menunggu berbuka tak ada salahnya dimulai, begitu pikir Bi Sirintil.
Tangannya seakan mempunyai pikiran sendiri, tak berapa lama pola sepasang baju pengantin sudah jadi. Entah ukuran tubuh siapa yang terekam dalam gerak tangan Bi Sirintil. Ia kini beralih mengambil gunting. Kain putih itu mulai dipotong menjadi beberapa bagian mengikuti pola yang ada.
Bi Sirintil terkejut saat mendapati betapa kain putih itu benar-benar cukup untuk sepasang baju pengantin. Ia mulai menjahit. Seharian. Suara mesin jahit seperti suara waktu. Bi Sirintil tak bangkit dari duduknya. Bahkan ia seperti tak mendengar suara azan lohor, azan ashar. Bangkit hanya untuk menyalakan lampu dan menutup jendela, lantas duduk lagi dengan khusyuk. Bahkan saat azan magrib pun ia masih menjahit. Azan Isya tak ada perubahan.
Saat takbir mengalun bersahut-sahutan dari beberapa masjid, bibir Bi Sirintil bergerak ikut membisikkan takbir. Tak henti-henti, seperti suara mesin jahit yang tak juga berhenti. Sepanjang malam. Sesekali suara tokek muncul. Sesekali nyaring dering telepon.
Menjelang subuh. Sepasang baju pengantin putih yang sederhana sudah selesai. Putih bersih.
Bi Sirintil masih membisikkan takbir, tersenyum puas dengan wajah pias. Ia tampak kelelahan namun bahagia. Senyumnya begitu indah ketika menatap hasil kerjanya. Persoalannya, untuk siapa baju pengantin itu. Diusapnya dengan lembut, hatinya berdesir. Ia menggelengkan kepala, seakan ingin mengusir gerak pikir yang terbit. Ya, ia tergoda untuk mencobanya. Tentu saja Bi Sirintil tahu, ukuran tubuh yang sangat ia hapal adalah ukuran tubuh Mang Suruntul dan tubuh dirinya sendiri. Ia tergoda, apa benar itu cukup untuk dirinya. Ia berdebar, bergetar dan sedikit gentar.
Suara takbir terus mengalun dari arah masjid. Dari bisik bibir Bi Sirintil.
Bi Sirintil sudah mengenakan baju pengantin itu. Berdiri di hadapan lukisan, menatap lekat pada lingkar terang di pusat lukisan, sambil mendekap baju yang satunya lagi.
“Benar-benar pas. Ini pas untukku. Dan ini pasti pas untukmu.” Bisiknya sambil bergetar dan sedikit menggigil. Tubuh rentanya jatuh duduk di atas kursi. Bersandar lemah. Bibirnya masih dibasahi takbir, mengikuti lantunan dari masjid. Bibirnya terus bergerak sementara matanya perlahan menutup.
Dentang jam empat kali.
Dering telepon. Terus berdering. Nyaring. Bi Sirintil masih duduk di kursi, masih memakai baju putih pengantin sambil memeluk baju satunya lagi. Matanya tertutup. Bibirnya tersenyum. Ia tidak bergerak. Benar-benar tak ada gerak, tak ada getar di tubuhnya. Hanya bibirnya terus tersenyum. Benar-benar tersenyum.***
Kedungpanjang, 2016
BIODATA PENULIS:
Toni lesmana, lahir di Sumedang. Menulis dalam bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia.. salah satu cerpennya pernah masuk dalam Cerpen Pilihan kompas tahun 2011. Buku yang telah terbit, Himpunan Cerpen Jam Malam Kota Merah (Amper media, 2012), Kepala-Kepala di Pekarangan (Gambang, 2015) Kumpulan Puisi Tamasya Cikaracak (Basabasi, 2016). Kini menetap di Ciamis, Jawa Barat.