BUNTALA
Oleh Ismail Kusmayadi*
Pukul 07.00. Cuaca dingin dan berkabut.
“Apa yang kamu perbuat kali ini?”
“Membunuh!”
“Lalu”
“Membunuh…!”
“Setelah itu?”
“Membunuh…!”
“Tak akan pernah kapok?”
“Aku akan membunuh lagi!”
“Segampang itu?”
“Ya”
“Mengapa?”
“Apanya yang mengapa?”
“Membunuh?”
“Tidak harus ditanya mengapa?”
“Kalau begitu, bagaimana?”
“Apanya yang bagaimana?”
“Ya, bagaimana cara kamu membunuh?”
“Perlukah aku jelaskan?”
“Ya, sangat perlu!” Kepala keamanan mulai kesal.
“Mengapa?”
“Supaya aku … tahu apa yang kamu lakukan?”
“Kalau begitu tidak perlu aku ceritakan!”
“Mengapa?”
“Aku khawatir Bapak melakukan seperti yang aku lakukan!”
“Hahahaha… mana mungkin? Aku ini masih waras. Aku ini kepala keamanan, sedangkan kamu buronan yang sedang sial karena tertangkap tangan,” kepala keamanan itu tertawa puas.
Buntala tersenyum sinis.
“Apa yang tak mungkin di dunia ini?” tatapan Buntala masih sinis.
“Maksudmu?” bentak kepala keamanan.
“Tidak apa-apa, aku tidak perlu menjelaskan apa-apa,”
“Kurang ajar!”
Plak!!! Suara tamparan jelas menggema di ruangan itu. Buntala malah menyungging sambil memicingkan mata.
“Apakah ada orang yang tidak punya keinginan membunuh?” gumam Buntala sambil menahan nyeri.
“Maksudmu?”
“Aku kira maksudku jelas?” Buntala masih menahan sakit.
“Ini interogasi bukan diskusi!” bentak kepala keamanan.
Plak!!! Sekali lagi suara itu menggetarkan jam dinding yang sedari tadi menjadi saksi kekesalan kepala keamanan. Cangkir kaleng berisi air kopi sisa kemarin turut menjadi saksi betapa tenangnya Buntala menghadapi kepala keamanan itu, di ruangan itu sendirian.
“Oh, ternyata kekerasan itu masih ada?” Buntala menyungging. Mulutnya menyeringai dan giginya terlihat merah oleh darah.
“Itu karena kau menyebalkan, ingat itu!”
“Akan aku ingat. Dan aku masih ingat saat mahasiswa dulu aku diperlakukan lebih dari ini.”
“Oh… jadi kamu pernah jadi mahasiswa ya… Hehehe, bangga benar kamu! Apa tidak malu kalau sekarang kamu jadi pembunuh?” Kepala keamanan itu tersenyum sinis.
“Kenapa harus malu?”
“Benar-benar tidak tahu malu!”
“Apakah sekarang ada yang masih punya malu?”
“Jangan mentang-mentang pernah jadi mahasiswa, ya! Sekali lagi aku tegaskan, ini interogasi bukan diskusi!”
Kepala keamanan itu makin merah padam. Dia mencoba menahan amarah yang siap meledak bagai bom atom. Giginya mengeluarkan bunyi kereket yang cukup keras. Urat-urat di tangannya mulai menyembul dipenuhi aliran darah yang panas. Baru kali ini dia menghadapi cecunguk yang begitu penyebalkan.
***
Pagi hari, warga kembali digemparkan oleh temuan sesosok mayat yang tergantung di atas pohon. Dilihat secara kasat mata, mayat itu jelas bukan korban bunuh diri. Sebab, di mukanya terlihat banyak bekas penganiayaan. Caranya mayat tergantung pun jelas bukan karena bunuh diri. Mayat itu seperti sengaja di gantung seseorang, seakan sengaja dipertontonkan kepada warga. Awalnya tidak ada warga yang mengenali mayat itu, sebab mukanya lebam dan bengkak sehingga telah mengubah wajahnya. Bajunya penuh dengan darah yang mengucur dari kepala. Celana jeans biru yang dia kenakan ada bekas sayatan di beberapa tempat sehingga terlihat compang-camping. Banyak warga yang ngeri melihatnya. Ketakutan pun mulai menyeruak di daerah itu. Bukan takut arwah mayat itu akan bergentayangan, melainkan takut karena nyawa warga menjadi terancam. Siapapun warga di kampung itu bisa menjadi korban pembunuhan. Sebab, ternyata pembunuh itu masih berkeliaran di wilayah mereka. Belakangan diketahui bahwa mayat itu ternyata Bang Bonang, pengusaha ayam potong yang kaya raya. Beberapa warga mengenali Bang Bonang dari cincin batu akik yang dipakai di empat jari tangannya. Salah satu cincin itu dianggap warga memiliki tuah sehingga Bang Bonang menjadi pengusaha yang kaya raya.
Sebelumnya wilayah kampung itu terkenal sebagai tempat pembuangan mayat korban pembunuhan. Beberapa kali mayat ditemukan di tempat-tempat yang memang jarang dilewati warga. Kampung ini memang terpisah oleh hamparan hutan jati yang kalau malam hari sangat mengerikan. Daerah sepi itulah yang sering dijadikan tempat pembuangan mayat. Korbannya macam-macam. Ada laki-laki muda yang bertato naga, ada kakek-kakek berdasi nyembul dari dalam koper, ada anak baru gede yang ternyata hamil muda, bayi-bayi yang mati karena aborsi sudah tak terhitung banyaknya, sehari sebelumnya ditemukan mayat perempuan yang diduga pelacur yang sering mangkal di pinggiran kota. Hutan jati itu seolah jadi tempat berkumpulnya roh penasaran yang bergentayangan.
Ketika warga tahu bahwa salah satu pelaku pembunuhan yang selama ini dicari aparat keamanan—bernama Buntala—sudah berhasil ditangkap, sebetulnya suasana kampung sudah mulai tenang. Warga mulai leluasa beraktivitas lagi, terutama malam hari. Bayang-bayang pembunuh berdarah dingin yang berkeliaran menjadi teror yang paling menakutkan dibandingkan dengan isu kolor hijau atau kuntilanak. Kabar tertangkapnya aktor di balik pembunuhan selama ini merupakan kabar gembira di kampung itu. Warga tidak perlu lagi melihat mayat yang tergeletak begitu saja, seperti bangkai tikus atau ayam yang kena tetelo.
Akan tetapi, ketenangan warga tidak berlangsung lama. Temuan mayat yang tergantung di pohon, di tengah-tengah permukiman warga itu, menjadi teror baru yang lebih mengerikan. Caranya memang tidak seperti biasanya: dibuang di hutan jati, digeletakkan begitu saja, yang dibunuh pun biasanya bukan warga kampung itu. Kali ini, digantung di pohon, di tengah-tengah permukiman warga. Orang yang dibunuh pun warga kampung itu. Siapa gerangan yang tega melakukan itu? Tuduhan warga terhadap Buntala mulai gamang. Warga menduga-duga ada pembunuh lain yang lebih sadis daripada Buntala.
Warga pun mulai memperkokoh lagi pengamanan kampung. Warga yang bertugas ronda malam pun ditambah jumlahnya. Setiap akses jalan masuk kampung dijaga ketat. Tempat-tempat gelap dipasangi lampu agar tidak ada ruang bagi pembunuh bersembunyi. Pohon-pohon yang terlalu rimbun dipangkas. Kentongan disediakan di setiap halaman rumah warga agar mudah memberitahu warga lain jika terjadi sesuatu. Mulai saat ini, warga tidak mau kecolongan lagi.
***
“Kali ini kamu benar-benar kurang ajar?” Beberapa tamparan dan bogem mentah mendarat di sekujur tubuh Buntala. Kepala keamanan sudah habis kesabaran.
“Sudah ada dalam tahanan, masih saja kamu bisa membunuh? Mengapa sekarang kamu berani membunuh warga kampung sini, hah?” Mata kepala keamanan merah, napasnya tersengal-sengal.
“Jadi, menurut Bapak, aku pelakunya?” Suara Buntala agak parau.
“Ya, siapa lagi kalau bukan kamu, dasar iblis!”
“Bapak sudah ngaco!”
“Apa kamu bilang?”
“Mana mungkin aku melakukannya, sedang aku dikerangkeng di sini!”
“Ah, kamu sendiri kan yang bilang tidak ada yang tidak mungkin. Jadi, mungkin saja kamu menyelinap lalu membunuh. Atau mungkin saja kamu menyuruh gerombolanmu membunuh untuk menunjukkan bahwa kamu bukan pembunuh. Hmmmm … jangan-jangan kamu punya kesaktian bisa menghilang. Petugassss!!!! Telanjangi dia!”
Beberapa petugas sigap dan bersiap membuka pakaian Buntala.
“Apa maksud Bapak?”
“Siapa tahu kamu menyelipkan jimat atau mantera-mantera di badanmu!”
“Analisis Bapak sudah benar-benar ngaco!”
“Diam, jangan bicara lagi!”
Buntala digeledah sekujur tubuh, tapi tidak ditemukan jimat atau mantera-mantera.
“Jangan-jangan kamu memang menguasai ilmu kanuragan ya?”
“Benar-benar ngaco. Kalau aku membunuh ya aku bunuh dengan tanganku sendiri!”
Sejenak kepala keamanan diam. Mencoba berpikir. Dia masih yakin kalau pelaku pembunuhan Bang Bonang adalah Buntala.
“Apapun alasanmu, kamu tetap pelakunya. Titik!”
***
Lagi-lagi suasana pagi menjadi gempar. Warga berhamburan menuju pohon tempat dua hari yang lalu ditemukan mayat menggantung. Kali ini suasana benar-benar mencekam. Gurat kengerian dan ketakutan terpancar jelas pada wajah-wajah yang datang melihat. Mereka bergumam satu sama lain. Terdengar pula jerit tangis yang menambah suasana makin mengharu biru. Beberapa warga berencana untuk pindah karena keselamatannya semakin terancam.
Pagi itu, lagi-lagi sesosok mayat tergantung di pohon. Bukan karena bunuh diri, tetapi sengaja ada yang menggantungnya di situ. Kali ini warga tidak sulit mengenali sosok mayat itu karena tidak ada bekas penganiayaan di wajahnya. Hanya ada noda darah dari lubang yang menganga tepat di jantungnya. Mayat itu adalah mayat petugas keamanan. Jerit tangis pun semakin membahana manakala istri dan anak kepala keamanan datang melihat.
Buntala mendengar jeritan dan tangis itu. Namun, dia terkapar tak berdaya di sudut ruang tahanan yang apek dan berdebu. ***
Kota Kelahiran, April 2014
Cerpenis tinggal di Bandung. Alumnus Jurdiksatrasia UPI. Meraih Juara Harapan Green Pen Award Perum Perhutani 2015
Biodata Pengarang
*Ismail Kusmayadi, S.Pd. lahir di Bandung pada 3 Mei 1976. Setelah lulus SMA, saya meneruskan menggali ilmu di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan lulus pada 2001. Pernah bekerja sebagai editor bahasa di sebuah penerbitan buku di Bandung. Sekarang, saya mengajar di SMA Negeri 1 Banjaran sebagai guru honorer Bahasa dan Sastra Indonesia dan menjadi pembimbing Pers Sekolah untuk penerbitan buletin sekolah.
Beberapa karya saya berupa cerpen, puisi, artikel, esai, resensi buku, kartun, dan drawing telah dimuat di beberapa media, di antaranya di Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Koran Tempo, Majalah Horison, dan Majalah MataBACA. Beberapa puisinya termuat dalam antologi puisi ASAS: Ketika Matahari Sujud pada Pipi Bumi…(1998). Cerpen-cerpennya pernah menjadi juara II dan harapan I pada Lomba Cipta Cerpen Religius ASAS UPI pada 2000, dan juara III pada Lomba Cipta Cerpen ASAS UPI pada 2001. Cerita pendeknya terhimpun dalam buku Menunggu Hujan Reda (2006). Buku lain yang akan diterbitkan di antaranya Menulis dengan Hati, Mata Hati Guru, Menciptakan Suasana Belajar yang Menyenangkan, Kemampuan Interpersonal Guru, Membongkar Kecerdasan Anak, dan Guru Juga Bisa (me-) Nulis.