Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing

Menuju Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi

Kontak Aduan & Layanan
082130165377
Pengaduan ULT
Artikel Artikel/KTI Sastra

CARPON MINI BAHASA SUNDA

* Yeni Mulyani Supriatin

 Meskipun istilahnya berbeda, fiksi mini dan carpon mini Sunda memiliki bentuk yang sama. Fiksi mini merujuk pada bentuk cerita pendek yang dalam bahasa Sunda disebut dengan carita pondok atau carpon. Karena merujuk pada cerita pendek, fiksi mini tidak digunakan dalam istilah puisi. Selain tidak menggunakan aturan panjang-pendek dalam jumlah kata, puisi juga memiliki estetika sendiri yang berbeda dengan carpon. Dengan demikian fiksi mini atau cerita mini dalam bahasa Sunda termasuk genre prosa.

Prosa dalam sastra Sunda awalnya hanya mengenal dua bentuk, yaitu roman dan dongeng. Tahun 1950-an muncul bentuk baru yang disebut carita pondok ‘cerita pendek’ . jadi, carpon dalam sastra Sunda tergolong baru, kira-kira usianya baru seabad lebih seandainya melihat karya-karya carpon yang sudah diterbitkan. Carpon Sunda yang baru itupun masih terpengaruh oleh cerpen dalam sastra Indonesia.

Ukuran antara yang disebut panjang-pendek dalam carpon sebetulnya sampai dengan sekarang juga belum ada yang pasti, misalnya yang disebut carpon itu sebelum ada carpon mini, aturannya bergantung pada media yang akan mempublikasikannya.

Jika penerbit atau majalah, Mangle misalnya akan menerbitkan carpon, membatasinya antara 4—6 halaman, Galura cukup dua halaman jika lebih dari itu ruangannya tidak cukup. Ada lagi Tribun Jabar, meskipun surat kabar ini belum memuat  carpon, halamannya terbatas. Dengan demikian bentuk carpon atau jumlah halaman carpon bergantung pada media. Berbeda dengan buku karena buku biasanya tidak memiliki aturan seperti itu. Karena bergantung pada bentuk media, kadang-kadang di masyarakat pengarang ada kreativitas yang membuat bentuk carpon yang lebih pendek. Bahkan, pernah terjadi dalam tahun 1970-an ada carpon hanya dua halaman, satu halaman, dan tiga per empat halaman. Selanjutnya, ada pengarang carpon yang bereksplorasi menulis carpon sangat pendek.

Khawatir dikira carpon karena masih bias antara bentuk carpon dan bukan carpon, pada tahun tersebut penerbit menyebutnya dengan istilah prosa lirik. Bentuk-bentuk yang oleh media disebut prosa lirik tersebut mengacu pada bentuk karya yang dikategorikan bukan sajak dan bukan juga carpon karena terlalu pendek. Yang disebut prosa lirik tersebut jika dipublikasikan dalam surat kabar atau majalah bisa memuat tiga karya dalam satu halaman. Saat itu –tahun 1970-an—belum ramai atau belum banyak bentuk karya sejenis itu karena tidak semua pengarang Sunda berekplorasi menulis bentuk prosa lirik. Sejak itu sampai dengan tahun 1980-an bahkan sampai dengan tahun 1990-an banyak pengarang kembali menulis pada model lama atau yang bergantung pada media penerbit yang panjang-pendek karyanya tidak jelas.

Pada tahun 2000-an majalah Mangle pernah menyediakan satu rubrik yang diberi nama carpon camperenik, istilahnya bukan carpon mini. Namun, jika dibandingkan dengan karya carpon mini pada saat ini, carpon camperenik termasuk carpon mini. Carpon camperenik hanya bertahan beberapa bulan setelah itu pengarang kembali pada bentuk atau model carpon sebelumnya.

Selain carpon camperenik, dalam majalah Mangle ada pula carpon yang termasuk carpon ngayayay ‘cerpen bertele-tele’. Bentuk carpon itu sebenarnya tergolong carpon, karena ingin dipublikasikan dalam Mangle dan Mangle mempunyai aturan atau syarat muat sebuah carpon, pengarang dengan sengaja memanjang-manjangkan alur sampai ceritanya ngelantur atau bertele-tele. Padahal, sangat disadari bahwa dalam proses kreatif tentunya tidak semua pengarang mempunyai napas panjang. Ada pengarang yang baru menulis satu halaman saja sudah tersengal-sengal. Nah, pengarang-pengarang yang seperti itu (yang tidak memiliki napas panjang) karyanya sangat banyak sampai tidak tertampung dalam media. Media seperti Mangle pun akan langsung menolak karya yang tidak masuk genre manapun.

Fenomena seperti itu menarik perhatian para pengarang sastra Sunda. Mereka merasa prihatin dengan kuantitas karya-karya sastra Sunda yang tidak tertampung dalam media. Para pengarang sastra Sunda pun mengadakan pertemuan-pertemuan membahas perlunya satu media untuk mewadahi karya-karya tersebut dan juga bagaimana memasyarakatkannya pada pembaca. Dalam tahun 2002 diadakan lomba mengarang carpon mini. Pada saat itu baru dikenal istilah carpon mini. Namun, dalam lomba pun belum ditegaskan secara jelas apa yang disebut carpon mini. Sebelum mengenal komputer ukuran panjang-pendek menggunakan halaman, tetapi setelah menggunakan komputer ukuran suatu karya dapat menggunakan kata. Yang mengikuti lomba pada saat itu sekitar 20 pengarang. Karena tidak menggunakan ukuran, karya hasil lomba bentuknya cukup beragam. Sesudah menjadi buku yang judulnya “Antologi Carpon Mini”, keberagaman jumlah halaman karya semakin tampak. Ada karya yang panjangnya satu halaman, dua halaman, dan ada yang jumlahnya dua kali bahkan tiga kali lipat dari itu. Hal ini menggambarkan bahwa tidak ada aturan baku untuk carpon mini.

Saat itu tidak banyak pengarang Sunda terlibat dalam carpon mini. Alasan mereka tentunya bermacam-macam, tetapi yang pasti banyak pengarang merasa kagok dengan jumlah halaman yang sangat pendek, gagasan atau ide masih panjang harus segera dipendekkan atau diselesaikan. Para pengarang tertentu merasa mengarang seperti itu seperti sebuah karangan yang belum selesai.

Sebetulnya, bentuk carpon mini dalam sastra Indonesia sudah ada. Demikian pula dalam sastra asing yang disebut dengan short-short story atau minifiction. Pada tahun 2011, Nazarudin Azhar membentuk sebuah grup Facebook yang diberi nama “Fiksi Mini Basa Sunda” untuk menampung karya-karya genre baru dan mewadahi pengarang-pengarang Sunda yang sudah ada sebelumnya dan pengarang-pengarang Sunda yang masih belajar.

Awalnya, para pengarang masih mencari-cari bentuk. Karya fiksi mini yang ada masih beragam dalam jumlah halaman. Melalui proses yang terus berlanjut, grup fiksi mini basa Sunda membuat kesepakatan untuk jumlah halaman,  isi, dan bentuk tersebut. Akhirnya, disepakati bahwa fiksi mini bahasa Sunda jumlah kata yang tersusun antara 100—150 kata dan isinya menggambarkan gaya carpon Sunda yang harus mengandung tokoh, seting, dan plot sebagai sebuah struktur karya prosa.

Aturan-aturan yang menyangkut halaman atau jumlah kata yang dari media cetak dan media sosial (dunia maya) yang mensyaratkan harus diikuti pengarang, oleh sebagian pengarang dipandang sebagai beban. Namun, dalam hal ini pengarang tidak dapat berbuat apa-apa. Bagi pengarang sastra Sunda yang menjadi idealismenya adalah kehidupan sastra Sunda terus lestari. Jika ada pengarang sastra Sunda yang mengejar honor melalui jalur ini merupakan salah besar. Mereka pun menyadari bahwa profesi sebagai pengarang honornya kecil bahkan ada juga yang tidak memberi honor.

Dilihat dari segi kuantitas pengarang carpon mini yang menulis di medsos berdasarkan data statistik terakhir, jumlah member di FMBS ada 12. 000 orang. Yang dimaksud member di sini bisa penulis dan bisa juga komentator. Penulis tetap  rata-rata 100 pengarang per bulan. 100 orang itu dapat berganti-ganti pengarang, misalnya bulan ini pengarang a, b, c, d, dan e dan penulis carpon mini bulan berikutnya pengarang a belum tentu menulis, tetapi pengarang b, c, dan d menulis lagi.

Pengarang fiksi mini berasal dari pengarang lama yang sebelum menulis fiksi mini ia sudah jadi pengarang dan pengarang baru, artinya baru menjadi pengarang setelah ada fiksi mini atau pengarang yang sedang belajar mengarang. Jika dibanding-bandingkan antara pengarang lama dan baru, justru sebagian besar yang menulis fiksi mini itu pengarang baru. Penyebabnya bisa bermacam-macam seperti pengarang lama rata-rata karena tidak aktif di medsos. Salah satu keunggulan fiksi mini adalah kependekannya dapat melahirkan pengarang-pengarang baru yang masih belajar dan yang belum memiliki napas panjang dalam mengarang. Beberapa pengarang fiksi mini (kira-kira 10 orang) setelah melalui proses belajar mengarang di medsos sekarang menjadi pengarang carpon.

Bentuk carpon mini menurut pandangan Dadan Sutisna muncul berkaitan dengan jumlah pangarang Sunda yang terus bermunculan, tetapi tidak diimbangi dengan media penerbitannya. Ada 100 pengarang, sedangkan surat kabar atau majalah hanya ada 2. Media itupun memuat karya sastra hanya seminggu sekali, artinya paling maksimal memuat 4 judul. Karya lain harus menunggu giliran kira-kira 6 bulan kemudian. Jadi, media sedikit, sedangkan karya sastra membludak. Media sosial yang dapat menampung kaya sastra tanpa batas dan tidak terikat oleh kertas menjadi pilihan para pengarang carpon mini sebagai media penerbitan. Yang menulis di medsos itu benar-benar pengarang dengan idealisme mengejar kelestarian dan kehidupan sastra Sunda karena di media ini tidak ada honornya.

Para pengarang carpon mini memilih medsos sebagai media penerbitan awal carponnya setelah itu beralih pada kertas di antaranya koran Galamedia yang secara tetap memuat carpon mini hasil karya 8—10 pengarang.

Kasus Galura yang tidak menerbitkan carpon mini menjadi pertanyaan yang menarik. Mengapa media berbahasa Sunda seperti Galura atau Mangle tidak menerbitkan carpon mini, sedangkan media berbahasa Indonesia seperti Galamedia atau sesekali Pikiran Rakyat mempublikasikan carpon mini? Apakah ini artinya pengelola surat kabar atau editor belum menganggap penting pada carpon mini? Atau carpon mini itu hidupnya hanya di medsos? Padahal, banyak pengarang menerbikan carpon mini dalam bentuk buku karena di pasar banyak buku yang isinya memuat carpon mini. Ada juga karya-karya carpon mini yang diterbitkan oleh Kiblat dan Pustaka Jaya. Namun, penerbitan itu pun atas peran pengarang karena belum ada penerbit yang sengaja mencari carpon mini.

Untuk tanggapan pembaca tidak banyak yang dikemukakan karena carpon mini hidupnya di medsos tanggapan pembaca pun termuat di medsos, yaitu berupa komentar-komentar, misalnya komentar admin karena admin juga berposisi sebagai pembaca.

Untuk carpon mini agak susah mendeskripsikan karakteristiknya. Kecuali panjang karangan yang menjadi patokan, sedangkan struktur dan temanya cukup beragam. Bahkan, ada tema atau gagasan yang sebelumnya muncul, dapat muncul kembali. Nah hal ini dapat dicatat sebagai kekurangan carpon mini dan dapat mengurangi nilai carpon mini karena di medsos tidak memiliki editor.

Satu hal yang dapat dicatat sebagai ciri carpon mini adalah yang disebut dengan kejutan. Pembaca dibuat kaget di akhir cerita. Namun, karena terus-terusan terkejut dan dikejutkan jadi tidak terkejut lagi. Gaya membuat kejutan, tetapi mudah terbaca. Karena gayanya seperti itu, akhirnya carpon mini mirip dengan cerita detektif. Yang menjadi tantangan dalam carpon mini adalah harus ada novelti ‘kebaruan’.

Bagaimana nasib fiksi mini atau carpon mini ke depannya? Menurut Dadan, ada satu bangunan atau struktur karya yang lahir terus karya tersebut menjadi milik masyarakat seperti sajak atau dongeng, keduanya tidak ada yang memiliki, berbeda dengan carpon mini, carpon mini tampaknya belum bisa lepas dari grup medsos. Jika semua admin grup berhenti, belum bisa menjamin bagaimana nasib carpon mini ke depannya. Carpon mini masih ada sisi eksklusifnya. Misalnya begini, jika kita menyebut carpon pikiran kita tidak langsung pada Ahmad bakri meskipun ia salah seorang pengarang carpon, tetapi kalau menyebut carpon mini, pikiran kita langsung tertuju kepada satu grup di medsos Fiksi Mini Basa Sunda.

*Peneliti di Balai Bahasa Jabar

×

 

Hallo!

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp/p>

× Apa yang bisa kami bantu?