Elsa M. S.
“Tarik napas, keluarkan. Ayo tarik lagi, keluarkan,” gumam Awan Putih sambil menggerakkan lengannya. Kesabarannya mulai habis dan dia pikir ini tak ada gunanya. Lantas, dia bangkit, lalu melangkah keluar.
Saat itu pula, matanya bertabrakan dengan mata besar Matahari yang dengan pelan masuk ke dalam ruangan, celingak-celinguk mendapati hanya Awan Putih yang datang. “Mana yang lain?” ucap Matahari heran. Yang dia dapat hanyalah gelengan. Awan Putih hendak menggeram, namun sadar, dia kini tak seorang diri. Dengan penuh helaan napas, matanya menatap Matahari. Wajah tampan itu lelah, sudah pasti. Banyak yang harus diurus oleh pria yang dituakan oleh teman lainnya, dan meluangkan waktu untuk bertemu teman-teman tidaklah mudah. Awan Putih paham, sangat paham.
Mereka pun menunggu selama berjam-jam, hanya untuk mengetahui bahwa mereka berdua saja yang datang. Kesal dengan kesunyian tak berujung ini, Awan Putih membuka suara, “Mari mulai saja, Matahari. Mereka tak akan pernah datang.”
Bibir coklat itu menipis, meragukan keyakinan yang berusaha dia tanamkan dari tadi. Dia mulai menyerah. “Oke, kita mu…“
“Tunggu!” Suara itu berteriak. Mata hitam Awan Putih dan mata Matahari yang keemasan bertemu, lalu terlonjak saat mendengar daun pintu yang beradu dengan dinding. Bumi terengah-engah, peluh membasahi dahinya. Dengan segera, dia membungkuk sambil membuang muka. Perempuan berambut sebahu di hadapannya hampir murka kalau-kalau pemuda berbahu kokoh tidak menahan perempuan itu.
Bumi menjelaskan alasan keterlambatannya akibat gangguan Manusia sambil mengangkat wajah memelas. Awan Putih dan Matahari menghela napas bersamaan, lalu mereka bertiga duduk. Tak lama kemudian, Angin dan Laut serempak datang, membuat mereka terjebak di pintu dan saling bertengkar.
“Aku duluan!” teriak Laut sambil memaksakan tubuhnya masuk.
“Aku juga harus masuk!” sergah Angin. Awan Putih menggeram, cukup sudah dengan kekonyolan tak berujung yang dia lihat selama ini. Dengan satu tarikan, lengannya sudah membuat pria berambut abu-abu dan wanita berbaju biru masuk dalam ruangan. Ucapan ketus keluar dari mulutnya. “Puas!?”
Angin dan Laut hanya terdiam, meneguk ludah, menyadari keterlambatan mereka sangat tak bisa dimaafkan oleh si perempuan.
Mata emas itu memandang sekeliling, mengetahui bahwa yang ditunggu sudah lengkap. “Semua sudah ada. Keberatan kalau kita mu… “
“Ya, aku keberatan!” Perempuan yang tadi menunggu bersamanya meninggikan suara. Semua tersentak, ke mana perginya Awan Putih yang lembut dan penuh ketenangan itu?
Awan Putih duduk, pipinya yang merah beradu dengan napas yang memburu. Kesabarannya sudah habis tatkala menunggu mereka yang terlambat melebihi ambang toleransinya. Dia ingin mengeluarkan emosinya, namun satu suara mencegahnya–Mereka punya alasan. Mereka punya urusan.
Semua orang di sana menatap perempuan berkacamata itu dengan takut. Namun Awan Putih hanya terdiam, lantas mendengus kesal, “Aku tarik kata-kataku kembali,” ucapnya setelah mendapat kesunyian dalam kepalanya. Angin menggigit bibir, ingin menyuarakan permintaan maaf, namun semua itu tersangkut di tenggorokannya.
Matahari berdehem singkat, mengembalikan atensi semua orang padanya. Tatapannya mendalam pada semua orang, lalu dia tersenyum kecil.
“Aku yakin semua orang punya alasan untuk terlambat, namun bukan berarti kalian mengabaikan pertemuan kita dan terlambat selama ini,” ujarnya tenang, namun membuat ombak dan badai datang ke relung hati tiap orang yang mendengarkan. “Aku harap, lain kali, mungkin ada baiknya kalian membereskan apapun urusan kalian agar tidak mengganggu janji. Paham?”
Semua orang mengangguk, tak ingin memperpanjang masalah keterlambatan ketiga orang itu. Pria berambut kekuningan itu tersenyum kecut, lalu memulai diskusi mengenai masalah yang menimpa mereka akhir-akhir ini : pemanasan global dan sederet kerusakan akibat Manusia.
“Ingat, tujuan kita diskusi ini untuk menentukan apakah ada solusi, atau kita membawa ini ke Peradilan Agung,” papar pria tinggi berjaket kuning itu. Semua orang menghela napas, sangat mafhum dengan tabiat Manusia yang sering membuat masalah. Tak jarang, mereka kewalahan dan menyerahkan masalahnya kepada Peradilan Agung, membuat Manusia mendapat ganjaran dari sang Hakim Agung.
Bumi memecah kesunyian, “Manusia cukup keterlaluan sekarang. Mereka mengeruk tubuhku dan menggali semua yang kupunya, sampai habis tak bersisa, dan mereka memperebutkannya hanya karena satu hal, ‘uang’ yang menurut mereka berharga. Betapa bodohnya mereka.”
“Ya, Manusia terlalu bodoh. Mereka seenaknya saja membuang sisa kegiatan mereka, membuatku tak bisa mengalirkan kasih sayangku kepada ‘anak-anak’ di penjuru dunia. Sumbatan drainase, pencemaran plastik, limbah yang mematikan. Kapan mereka bisa berpikir cerdas? Saat mereka hanya mementingkan diri sendiri, padahal mereka membutuhkan kita,” timpal Laut dengan ketus dan wajah cantik yang tertekuk.
Sang pemimpin meringis kecil, lalu menatap Awan Putih dan Angin, berharap mereka mau membuka suara. Angin tepekur, mendalami tiap sudut di bagian otaknya yang mungkin ada—sedikit—solusi bagi permasalahan ini. Awan Putih? Perempuan itu menaikkan kacamatanya, masih bergumul dengan emosi yang memenuhi relung hatinya.
Sang pemimpin menghela napas, lelah mendera tubuhnya. Sudah berdenging telinganya akibat suara yang timbul di sana. Emosi demi emosi dari orang lain keluar. Dengan satu gebrakan meja, semua hening.
“Kumohon, kita selesaikan ini dengan baik, ya?” lirih Matahari. Dia tak tahu seberapa lama tubuhnya menahan penat. Semua orang terdiam, lalu mengangguk.
Awan Putih menatap Matahari dengan senyum kecut. Lalu, dengan izin lelaki berambut kuning itu, ia membuka suara, “Mungkin, ada baiknya kita mencoba menyelesaikan ini sendiri.”
Erangan frustrasi keluar dari mulut Angin. “Kita diskusi untuk mencari solusi, karena kita ingin menyelesaikan ini sendiri, Awan!” bentaknya kemudian. Mata kekuningan menatapnya tajam, lalu dia bertanya pada Awan mengenai masalah ini dan solusinya.
Dengan khawatir, Awan Putih membisikkan idenya pada Bumi dan Laut. Secercah cahaya muncul di wajah mereka. “Aku sangat setuju dengan idemu, Awan,” tutur Bumi. Laut hanya menganggukkan kepalanya. Dia tersenyum tipis, lalu membisikkan ide itu pada Angin. Seringaian muncul di bibirnya. “Boleh juga.”
Dahi Matahari berkerut tak senang. “Apa hanya aku yang tak boleh tahu apa rencanamu, Awan Putih?” geramnya kesal. Awan Putih terkekeh kecil, lalu mengutarakan idenya yang disetujui tiga orang tadi. Matahari cemas. Akankah ide itu berhasil?
***
Para Manusia tertawa, asyik minum dan makan di ruangan yang mereka sebut ‘kamar’. Pria buncit menyanyikan sebuah lagu, setelah dia dan rekan–rekannya berhasil mendapatkan tanah sekaligus saham di sebuah perusahaan ternama. Itu sebuah kemenangan karena berhasil membawa keuntungan dan segepok uang bagi diri mereka. Dengungan di telinga mereka, tak membuat mereka sadar, bahwa bumi yang sedang dipijak, tengah bergoncang hebat.
“Gempa bumi! Lari!” seru pengunjung lain yang menggedor pintu mereka. Rasa aneh dan penasaran menelusup ke dada, namun tak dihiraukan olehnya.
Toh, semua baik-baik saja ‘kan?
Semakin keras ia bernyanyi, semakin keras pula gedoran pintu. Sesaat, gedoran itu menghilang. Pria buncit itu menyadarinya, lalu sebuah plafon diikuti runtuhan bangunan menimpa diri dan rekan-rekannya.
Bumi tersenyum, melihat kejadian yang menimpa manusia ini ternyata sesuai dengan ekspektasinya. Jeritan di mana-mana, rumah yang dibangun dengan kerja keras pun hancur. Manusia berlarian ke mana saja, dengan tanah yang hancur lebur menjadi lubang. Setitik rasa bersalah singgah di hatinya, manakala seorang suami mencari keluarganya. Tapi, gumamnya dalam hati, ini demi kebaikan mereka. Mereka sudah keterlaluan.
Mungkin, Hakim Agung juga setuju ‘kan?
***
Dahi anak perempuan itu berkerut, membuat ayahnya tertawa lepas. Semakin dalam kerutan sang anak, semakin keras tawa sang ayah. Ibu dari anak itu sedang membawa jus perlahan ke arah mereka, membuat ekspresi yang sama dengan anak semata wayangnya. “Ada yang lucu?” tanyanya dengan ekspresi datar. Pria berjanggut tipis di hadapan perempuan beranak satu itu terkekeh kecil, lalu mencubit pipi si anak.
“Sakit, Ayah!” teriak sang anak, membuat ayahnya makin tertawa lepas. Perempuan berambut lurus itu ikut duduk, lalu menyuguhkan minuman menyegarkan untuk menghilangkan dahaga mereka.
“Ayah?” Suara anak perempuan itu mencicit pelan. Ayahnya menaikkan alis, menunggu suara anak perempuan itu terdengar kembali. Sedangkan ibunya hanya menatapnya penasaran.
Dengan ragu, dia memindahkan dirinya di pangkuan sang ayah, kemudian membuka suara, “Terus, bagaimana kelanjutannya? Apa Manusia menyadari ‘deheman’ itu? Mereka berhenti menyakiti semua orang?”
Pasangan suami-istri itu saling pandang, lantas, sebuah senyum terpasang di wajah mereka. “Ayah tidak tahu, Sayang. Mungkin, suatu hari, kau bisa mengerti. Mari kita melihatnya bersama-sama. Mungkin butuh waktu lama, namun itu sepadan.”
Mereka saling tersenyum, lalu tertawa bahagia. Tampaknya, kita tahu bagaimana kisahnya berakhir, ya ‘kan?
Biodata Penulis
Elsa M. S. lahir di Garut, 20 Juni 2002. Hobinya adalah menulis, membaca, dan menggambar. Masih tercatat sebagai siswa kelas XI MIPA 2 di SMAN 1 GARUT. Tinggal di Jln. Bayongbong Timur No. 14. Kontak yang dapat dihubungi adalah ponsel nomor 085324505298, pos-el: Elsawit@outlook.com, dan line: mianhaelsa.