Bila pulang?
Lurus jalan menuju Suliki
Di ujungnya persimpangan
Ini jalan orang dulu
Puisi “Jalan Tan Malaka, Payakumbuh” karya Ahda Imran telah memanggilmu. Dia membutuhkan sesuatu, menanyakan kapan kamu akan pulang?
Kamu sepertinya perlu melalui jalan ini sekali seumur hidup, di tempat berdirinya sejarah menghadap perbukitan di daerah Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat, supaya kamu bisa merenungkan sesuatu di situ. Tapi sebelum kamu berjalan lebih jauh, kamu harus mendengarkan sebuah cerita yang lahir dari sisi Indonesia yang tersembunyi di balik bukit-bukit.
Berjalan ke arah barat laut dari pasar kota Payakumbuh, ucap puisi itu “Liuk jalan dan pendakian, ini jalan orang dulu.” Di situ kamu dapat melihat siapa sebenarnya kamu dalam hembusan angin. Kamu akan menemukan sebuah jalan. Jalan yang paling panjang di kota Payakumbuh. Mereka memberinya nama “Jalan Tan Malaka”. Tan Malaka adalah tokoh pejuang sosialis yang dilahirkan pada tahun 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, merantau demi sebuah kebenaran atas ketidakadilan sosial. Kamu juga mungkin tidak tahu bahwa Tan Malaka berperan luar biasa besar atas berdirinya Republik Indonesia, di tanah tempat kamu berdiri hari ini.
Jalan Tan Malaka “Jalan lurus panjang. Gerbang menuju kerajaan gunung. Orang dulu pergi keluar, membawa jantung seekor burung. Pergi ke musim yang lain, ke negeri di mana dunia bisa disebutkan dengan berbagai nama.” Setelah menamatkan pendidikannya di Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda, Tan Malaka menyerahkan sepenuh hatinya mengabdi untuk bangsa ini. Bukan sekadar terpampang sebagai nama jalan yang dilalui oleh banyak orang. Jalan Tan Malaka, itu juga jalan hidup yang dipilihnya dan dia tidak pernah berputar arah, atau sekadar berpaling.
Selalu ada persimpangan di setiap jalan, bahkan di jalan yang paling lurus pun. Hal itu pasti pernah terjadi di dalam hidupmu sendiri, bahkan bukan hanya sekali, tetapi kamu selalu saja mengambil jalan yang rasanya paling aman. Maksud saya, setelah kamu mengemban pendidikan yang tinggi, ternyata bekerja bukan di perusahaan bangsamu sendiri.
Kamu harus punya pertanyaan yang mampu menggelisahkan seorang Harry Poeze, bagaimana bisa di tempat yang indah dan subur melahirkan seorang pemberontak. Di antara lembah-lembah, sawah, kebun, hewan ternak, dan semuanya akan menyatu menjawab ketidaktahuan atas dirimu sendiri. Ibarat kamu dengan gaji berjuta-juta perbulan, nongkrong di cafe mahal, naik kendaraan mewah, hidup yang sudah aman dan tentram semestinya juga memiliki pertanyaan yang sama, dan harus memberontak. Bukan kamu yang menjalankan perusahaan asing itu, kamu cuma dijalankan seperti IC yang dimasukkan sebuah program.
Di bawah kamu masih banyak yang merasakan ketidakadilan. Korupsi merajalela, hukum tidak diadili di atas rasa nurani, masih banyak yang terluka. Ke mana kamu setelah toga itu menempel di badan, setelah gelar-gelar menempel di balik namamu seperti lintah penghisap darah. Darah kemanusiaanmu.
Kamu perlu berada di sini satu kali saja. Melihat indahnya pemandangan Kabupaten Lima Puluh Kota dari jalan Tan Malaka. Barisan perbukitan, cuaca yang sejuk, gigitan angin-angin dari lembah yang akan merobek perasaanmu. Perasaanmu yang tidak pernah tahu bahwa Tan Malaka menghabiskan usianya di dalam pembuangan, pengusiran, masuk keluar penjara, barangkali ada seribu bekas cambuk di punggungnya, juga yang sangat dalam melecut hatinya. Tapi dia tetap manusia yang tangguh, karena Tan Malaka selalu berfikir untuk hidup kamu hari ini dan untuk kehidupan bangsamu seterusnya. Tetapi kamu tidak pernah mau tahu, sebesar apa cinta orang dulu itu kepadamu.
Baiklah apabila kamu tidak mau mengerti. Tapi Jalan—Lurus menuju Suliki. Di ujungnya persimpangan—Koto tangah dan koto tinggi. Keduanya menuju ke dalam lembah pegunungan, rimba raya, deretan pohon pinus, ladang-ladang kopi dan tembakau—itu selalu terbuka untukmu. Ada sesorang yang akan selalu menunggu kamu di situ, kamu akan disediakan kopi langsung dari ladangnya, dan tembakau yang dilinting sendiri khusus untukmu. Barangkali setelah kopi dan tembakau itu bersatu di tubuhmu, akan tercipta revolusi, setidaknya untuk kamu sendiri, karena selalu ada persimpangan di setiap jalan, dan di situ selalu ada orang yang membutuhkan pertolongan.
“Surau dan lepau tepi jalan. Balai adat, rumah lama dengan parabola, satu dua kedai penjual handphone. Dari depan udara dingin menyongsong. Bau lengang dari jenjang rumah dan sayup suara menyeru” Suara sayup tangisan bangsamu, dan suara Tan Malaka yang entah kenapa harus terbunuh. Laluilah jalan ini, kawan. Sekali seumur hidupmu saja.[]
Pekanbaru, 2015
*Tulisan ini merupakan Pemenang Pertama dalam Lomba Feature yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat bekerja sama dengan http://www.buruan.co. Ditulis oleh Alpha Hambally.
Tautan: http://www.buruan.co/di-persimpangan-jalan-orang-dulu/