Dunia di Sudut Pasar
Ratna Juwita
Setiap hari aku selalu berangkat-pulang sekolah bersama kakakku yang bekerja di kantor tak jauh dari kampus sekolahku. Kami menggunakan kendaraan roda dua. Namun, sudah tiga pekan ini aku tidak pulang bersama dengan kakakku karena suatu hal. Berawal dari hal yang menurutku cukup sepele dan terjadi dengan tidak disengaja, yang kupikir, hal tersebut sekarang ini tidak bisa dikatakan sepele lagi.
***
Tiga pekan yang lalu, seperti biasa aku pulang sekolah bersama kakakku. Karena aku mendapat tugas dari guru dan diharuskan membeli bahan untuk praktikum, aku meminta bantuan kakakku untuk menemaniku membeli barang-barang tersebut. Kami memutuskan untuk mencari barang-barang tersebut di pasar dan toko-toko terdekat. Saat itu waktu sudah menunjukkan magrib. Kebanyakan kios dan toko yang kami datangi sudah tutup.
“Ya sudah, besok saja, De. Kamu mesti berangkat lebih pagi untuk membeli kebutuhanmu.”
Aku masih tidak terima jika usaha kami tidak membuahkan hasil. Aku pun tidak ingin jika keesokan paginya kerepotan mencari barang-barang dan akan berujung pada keterlambatan masuk kelas.
“Pasar sudah buka sekitar pukul 2 dini hari. Kamu harus bangun lebih pagi besok, jika tidak ingin telat.” Aku mengiyakan nasehat kakakku.
Akhirnya, kami memutuskan untuk langsung pulang dengan hatiku yang terasa amat dongkol.
Jalanan licin, tak kusadari hujan membasuhi pasar selama kami memasuki pasar yang sebagian besarnya beratapkan kanopi. Kakakku melajukan sepeda motor dengan sangat hati-hati. Banyak orang berkeliaran di jalanan, padahal hari sudah gelap. Saat melewati alun-alun kota, sebuah pemandangan mengusikku.
Entah penglihatanku yang sudah tidak jelas karena cahaya di sekitar yang minim atau memang benar adanya seperti itu. Seorang bapak paruh baya terduduk lesu di pojok sebuah kios buah. Aku tidak bisa memastikan kakinya betul-betul terlipat saat dia terduduk seperti itu. Hanya saja, saat kami perlahan melewati bapak paruh baya tersebut, aku sama sekali tidak melihat kedua kakinya. Hanya tampak anggota badan bagian atas hingga pinggang. Aku sedikit bergidik melihat pemandangan menyedihkan itu. Bukan karena merasa jijik ataupun risi melihatnya melainkan sekali hal yang bermunculan di benakku begitu melihat pemandangan orang tanpa kaki. Terkhusus rasa iba menguak dari benakku.
Tak kusadari, aku langsung meraba-raba pahaku. Bagaimana bisa bapak itu berjalan tanpa kedua kakinya?
Benda cair menetes di pipiku. Ah, ternyata hanya air hujan yang menetes dari helm. Kukira sesuatu yang lain.
Sepanjang perjalanan pulang, otakku tak henti-henti memikirkan dan membayangkan kehidupan bapak paruh baya tersebut.
***
Setelah kejadian tak disengaja tersebut, keesokan harinya aku mencoba memberanikan diri untuk berbuat sesuatu. Selesai sekolah, aku tidak menunggu kakakku di dekat parkiran untuk pulang bersama.
Hari itu, adalah awal hari saat aku mulai melek akan kehidupan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku pulang dengan berjalan kaki melewati jalanan tempo hari tempat bapak paruh baya terduduk lemas. Jalanan pasar cukup becek. Di pojok jalan setapak dekat kios buah, bapak paruh baya tersebut bersimpuh dengan pakaian yang lusuh dengan bercak lumpur pasar di beberapa bagian bajunya. Di tengah keramaian orang berlalu-lalang, berjalan leluasa dengan kedua kaki yang sempurna, bapak itu hanya mampu mendongak dari posisinya yang terduduk tak berdaya. Kulihat kedua tangannya kotor karena terlalu sering menyentuh tanah untuk menahan bobot tubuhnya agar tetap seimbang saat orang-orang melewatinya dengan tergesa-gesa. Mungkin saja, jika dia tak sengaja terinjak oleh beberapa orang yang tak menyadari keberadaannya ataupun yang mengetahui namun tak peduli.
Kurogoh uang selembar bernilai dua ribu rupiah yang sengaja kusisihkan untuk bapak paruh baya tersebut. Kutaruh uang tersebut dalam plastik bekas kemasan snack lusuh yang ia genggam sebagian sisinya.
“Terima kasih, Nak. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu.” Aku langsung pergi begitu bapak tersebut berucap.
Jujur, aku tidak begitu berharap akan balasan kebaikan yang akan Tuhan berikan padaku. Aku hanya ingin besok sore, pemandangan bapak tersebut tidak tampak lagi di hadapanku. Aku ingin bapak itu hidup dengan damai tanpa harus duduk sepanjang hari di pojok kios buah.
***
Namun, keesokan harinya tampaknya dia masih terduduk di tempat yang sama, hingga berhari-hari pun tetap sama. Setiap hari, aku selalu menyengajakan diri untuk pulang melewati kios buah tempat bapak paruh baya tersebut memaknai kehidupan.
***
Pernah, suatu sore ada kejadian yang membuatku semakin iba pada bapak itu.
Saat itu, seorang pedagang siomay dengan gerobak dorongnya keluar dari dalam pasar. Aku hendak menaruh sepeser uang pada bapak paruh baya itu seperti hari-hari sebelumnya. Namun, dengan kasar pedagang siomay tersebut mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.
“Kalau ingin minta-minta, jangan duduk di sini. Menghalangi akses jalan saja. Gerobak saya gak muat lewat sini gara-gara kamu. Bikin sempit saja.” Aku ingin menyela dan membela bapak paruh baya itu. Namun, aku hanya mampu terdiam mencerna apa yang terjadi tepat di hadapanku ini.
Sungguh kejam kehidupan ini. Terlukalah hati bapak paruh baya tersebut.
Aku melihat bapak tersebut mengesot dengan sebelah tangannya yang menjadi tumpuan dan tangan lainnya memegang plastik bekas tempat uang dan kardus yang sudah robek di beberapa bagian sebagai alas duduknya. Kurasa aku ingin menangis saat melihat raut muka menyedihkannya saat berusaha berpindah tempat.
Bagaimana rasanya jika aku yang berada di posisi pengemis tersebut? Mungkin, aku sudah tak sanggup melewati kehidupan ini.
“Ini lagi bocah, malah kasih dia duit. Besok lagi mending gak usah kasih dia duit lagi. Keenakan, nanti jadi kebiasaan minta-minta.”
Perkataanya memang benar. Semua orang pasti sepakat dengan apa yang diungkapkan pedagang siomay tersebut. Aku pun berpikir demikian. Tapi, di luar itu semua aku terlalu iba atas kondisi bapak paruh baya itu.
Sering aku ingin menuntaskan rasa penasaranku tentang kehidupan bapak itu. Otakku selalu bertanya, di mana bapak itu tinggal, bersama siapa ia tinggal, dan kemana semua anggota keluarganya hingga bapak paruh baya itu terlantar di jalanan seorang diri? Ingin sekali aku mengajak bapak itu berbicara. Namun, ada banyak hal yang selalu berhasil membuatku urung untuk melakukannya.
Seandainya punya banyak uang, akan kubiayai hidup bapak paruh baya itu. Aku sungguh ingin menolongnya. Namun, aku hanyalah seorang siswa yang masih bergantung pada orang tuaku untuk perihal materi.
***
Sehari setelah kejadian tersebut, aku tidak melihat bapak paruh baya tersebut lagi.
Seharusnya aku bisa bahagia karena keinginanku terkabul bahwa bapak paruh baya tersebut tidak tampak lagi dari pandanganku. Namun, aku malah bertambah cemas dan ingin mencari tahu tentang keberadaannya. Bisa jadi sekarang dia hidup sejahtera bersama dengan anggota keluarganya, bisa juga sebaliknya. Mungkin saja dia hanya berpindah lapak mencari pundi rupiah karena perkataan pedagang siomay tempo hari.
Sudah empat hari aku kehilangan jejak bapak paruh baya itu. Empat lembar uang pecahan dua ribu rupiah tersimpan rapi di saku celanaku. Aku tidak berani memakai uang tersebut karena kurasa uang tersebut bukan lagi menjadi bagian dari hakku. Semua rezeki sudah ada bagian-bagiannya. Uang tersebut adalah bagian bapak paruh baya itu atau mungkin orang lain yang lebih berhak menerimanya.
Meskipun bapak itu tidak ada di tempat biasa, aku tetap pulang dengan berjalan kaki melewati kios buah tempat biasa bapak itu mencari uang. Seperti empat hari sebelumnya, aku masih belum mendapati bapak tersebut. Uang di saku celanaku sudah bertambah menjadi sepuluh ribu rupiah dan aku tetap tak berniat untuk memakainya walau serupiah pun. Kuputuskan untuk menuju halte dan menunggu bus pulang di sana. Aku masih tak bisa melepaskan pikiranku dari bapak paruh baya itu. Selalu terbayang saat dia mengesot pindah begitu orang-orang melewatinya.
Sepanjang perjalanan pulang, aku tak bisa mengalihkan pandanganku ke luar jendela bus. Aku sengaja tidak duduk meski tersisa beberapa kursi kosong untuk penumpang. Barangkali aku menemukan pengemis itu di sepanjang trotoar jika aku berdiri sambil mencari dengan pandanganku. Namun, tak kutemukan dia. Aku bersyukur dia tak ada di jalanan tetapi aku juga tidak bisa tenang tanpa melihat sosok bapak paruh baya itu. Tak tahu di mana keberadaannya.
Semenjak kejadian itu, aku selalu merenungkan kehidupan orang-orang yang bernasib kurang beruntung. Mengapa bisa orang sampai hidup menggelandang dan hanya bisa mengharap belas kasih orang-orang. Sebenarnya, apa yang mereka perbuat hingga berujung melarat seperti itu? Tidak adakah keluarga atau orang-orang di sekitarnya yang sedikit saja punya hati untuk membantu mereka?
Lantas, apa yang sudah kulakukan? Bukankah aku termasuk dari orang-orang di sekitarnya?
Aku kembali bingung setiap mengingat ucapan tukang siomay tempo hari. Jika terus-menerus diberi uang, mereka akan menetap di sana dan akan bergantung pada kita. Mengharap dikasihani secara terus-menerus karena tanpa disadari sumber kehidupan mereka adalah uluran tangan kita. Namun, jika kondisi ini tetap dibiarkan, mereka akan tetap hidup dalam ranah kemiskinan dan bahkan akan semakin menjamur di masayarakat. Akan tetapi, jika tidak memberikan sepeser pun uang pada mereka, kita sudah berbuat tak acuh kepada mereka. Padahal, manusia sendiri adalah makhluk sosial yang tak lepas dari rasa saling tolong menolong.
Kita juga tidak bisa selalu mengatasnamakan pemerintah saat masalah-masalah kesenjangan sosial ini marak terjadi. Bukan pemerintah yang bisa mengubah negara ini melainkan kitalah sebagai warga negara yang mampu memperbaiki semuanya. Negeri ini tak akan tiba-tiba menjadi negeri impian yang jaya jika tak dibangun dengan menanamkan persatuan dan kesatuan yang berlandaskan kerakyatan. Kita tahu bahwa negara ini demokratis. Kitalah yang sebenarnya mesti menjadi pelaku demokratis ini untuk mewujudkan negara yang makmur untuk seluruh masyarakatnya.
***
Hilang sudah jejak bapak paruh baya tak berkaki itu dari hidupku. Tak pernah kutemukan lagi bapak itu hingga saat ini. Kuharap, Tuhan melindungi setiap langkah yang ia bangun meski hanya dengan bantuan kedua tangannya. Beri kekuatan pada tangannya untuk terus menapaki kehidupan yang pelik ini dan senantiasa mencari makna kehidupan.
Semoga tak ada lagi orang bernasih seperti bapak tersebut yang hidup mengasih rezeki di jalanan.
***
Biodata Penulis
Ratna Juwita. Karya pertamanya pernah dicetak menjadi sebuah novel dengan judul Syakura, pemenang ke-2 kompetisi penulisan esai PEF Unpad 2016, beberapa karyanya pernah dimuat di media masa. Saat ini tengah belajar di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, tepatnya di jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Kontak yang dapat dihubungi, email: rajuhikari@gmail.com.