Filosofi Arsitektur Braga dan Bahasa

 Filosofi Arsitektur Braga dan Bahasa

Bandung—Masyarakat Jawa Barat mana yang tidak mengenal Braga–tempat romantis nan indah di Kota
Bandung yang kian ramai dikunjungi wisatawan setiap harinya? Jika di Sri Lanka ada Benteng
Galle dan di Suriname ada Istana Kepresidenan yang menjadi kawasan arsitektur kolonial
Belanda yang kokoh berdiri sampai saat ini, Bandung pun memiliki Braga dengan arsitektur
kolonial tropis yang menjadi destinasi masyarakat untuk menghabiskan waktu bersama orang
terdekat dengan menikmati keindahan bangunan ikonis ala artdeco, menikmati sajian kedai kopi
eksentrik, atau sekadar bercengkerama di bangku pinggir jalan (Kustaedja, 2007).
Braga–diambil dari bahasa Sunda yakni ngabraga yang berarti ‘bergaya’–menjadi tempat wisata
yang memesona dan membius wisatawan dunia. Etalase Kota Bandung masa kini ini telah berdiri
sejak 1876 (Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang, 2019). Dahulu, tempat ini dimanfaatkan
sebagai pusat kesenian, komersial, dan hiburan orang Belanda. Braga berkembang menjadi
kawasan metropolitan yang elite untuk gaya hidup Eropa yang konsumtif dan mewah. Tak heran
bila Braga disegani bangsa-bangsa Eropa dan menjadi populer pada zamannya.
Menariknya, bangunan yang telah berdiri sejak abad ke-19 ini masih berdiri dengan menawan
meskipun telah diperbarui untuk keperluan komersial. Rahasia ketahanan bangunan-bangunan
Braga bukan terletak pada kecanggihan teknologi, melainkan dengan mengandalkan kekuatan
material dan memberikan perhatian khusus pada detail rancangan struktur bangunannya.
Bangunan kuno bertingkat di sana dibangun dengan fondasi tebal yang mencapai 30 cm agar
mampu menopang bangunan sehingga dapat bertahan dan dikembangkan pada masa yang akan
datang.
Fondasi, pilar, dan atap menjadi hal yang sangat esensial dalam mendirikan sebuah bangunan
agar dapat berdiri kokoh dan bertahan lama. Dalam konteks struktur sebuah bangunan, fondasi
merupakan struktur bangunan yang terletak paling bawah dan berguna untuk menopang beban
seluruh struktur bangunan. Sementara itu, pilar menjadi bagian dari sebuah bangunan yang
mampu menyeimbangkan dan memperkokoh bangunan serta menjadi penyangga atap agar
senantiasa kuat dan tidak mudah roboh. Layaknya bangunan yang perlu diberi fondasi kuat agar
mampu bertahan dan berdiri kokoh, fondasi kebahasaan Indonesia terletak pada ikrar Sumpah
Pemuda yang digaungkan pada 1928 dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi konstitusi
negara. Lalu, bagaimana dengan pilar bangunan kebahasaan Indonesia?
Kehadiran 718 bahasa daerah menjadi pilar yang menopang eksistensi bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia hadir sebagai alat untuk menyatukan keberagaman etnik dengan perbedaan latar
belakang sosial, budaya, dan bahasa sehingga menjadikan bahasa Indonesia tidak dapat berdiri
sendiri. Dengan kedudukannya yang hidup berdampingan dan saling melengkapi, bahasa
Indonesia dapat diperkaya dengan menyerap kosakata bahasa daerah. Contohnya ialah, kosakata
rorombeheun, ngabuburit, bobotoh, ajengan, dan salatri yang telah diserap ke dalam KBBI
sebagai bentuk dokumentasi serta pemaknaan mendasar kosakata tersebut.
Sayangnya, pilar kebahasaan ini kerap diperlakukan sebagai salah satu kebudayaan yang
fungsinya dapat digantikan oleh fungsi bahasa lain sehingga menyebabkan bahasa daerah belum
diberdayakan secara optimal. Ironi lain tercipta ketika data menunjukkan bahwa terdapat 11
bahasa daerah yang telah punah dan 28 bahasa daerah yang terancam punah (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2022). Data ini tentu mengikis kekuatan pilar kebahasaan yang
seharusnya senantiasa kita rawat. Jika pilar rapuh, tentu bangunan tersebut akan mudah runtuh.
Oleh karena itu, demi memperkokoh bangunan kebahasaan, bahasa daerah perlu dibina dan
dikembangkan secara berkelanjutan.
Revitalisasi bahasa daerah menjadi solusi yang secara langsung mengupayakan pembinaan dan
pengembangan bahasa daerah dengan kedudukannya sebagai pendukung bahasa Indonesia.
Sebagai bagian dari generasi muda Indonesia sekaligus ikon pemuda peduli bahasa, duta bahasa
memiliki tanggung jawab untuk senantiasa menjaga dan memperkuat jati diri bangsa melalui
bahasa dan sastra. Terlebih, duta bahasa turut membantu meningkatkan kesadaran akan
pentingnya kesetiaan berbahasa daerah yang menjadi pilar penopang pemartabatan bahasa
Indonesia.
Dengan tujuan menciptakan langkah konkret dalam mendukung upaya revitalisasi bahasa daerah
yang dilakukan oleh pemerintah, Duta Bahasa Jawa Barat menginisiasi sebuah program bernama
Sandana dengan menekankan prinsip fleksibilitas, inovatif, dan kreatif. Melalui kreasi
penggunaan teknologi yang menjadi hal yang paling melekat pada generasi muda, Sandana
ditujukan untuk para penutur muda terutama kelompok pelajar sekolah tingkat menengah.
Kehadiran Sandana diharapkan mampu menjadi media pendukung dalam upaya revitalisasi
bahasa daerah di Jawa Barat dan meningkatkan jumlah penutur aktif bahasa daerah dari kalangan
generasi muda. Pelindungan dan pelestarian bahasa bertujuan untuk menjamin hak masyarakat
daerah untuk melestarikan, merevitalisasi, mempromosikan bahasanya, dan mengarusutamakan
keragaman bahasa dan multibahasa ke dalam semua pembangunan berkelanjutan yang sejalan.
Dengan melihat akan pentingnya peran dalam mendukung kebudayaan nasional dan
pemartabatan bahasa Indonesia, pembinaan dan pengembangan bahasa daerah seyogianya
dilakukan untuk memantapkan kedudukan bahasa Indonesia serta meningkatkan fungsi bahasa
Indonesia sebagai bahasa pergaulan internasional. Pembinaan dan pengembangan bahasa daerah
dapat dilakukan dengan berfokus pada pemberdayaan bahasa daerah agar mampu menciptakan
hubungan harmonis dengan bahasa Indonesia. Sebagai bentuk semangat keindonesiaan, upaya ini
juga perlu dilakukan tanpa menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
bahasa negara. Bahasa daerah dan bahasa Indonesia dapat saling mengisi sehingga semangat
menjaga bangunan kebahasaan akan senantiasa kukuh (Asrif, 2010).
Sebagai negara yang menduduki peringkat kedua dengan bahasa daerah terbanyak di dunia, tak
ayal bila Indonesia tersohor akan kekayaan budaya dan keberagaman bahasanya mengingat
terdapat 718 bahasa daerah di Indonesia yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Bersamaan
dengan itu, tercipta sebuah tugas dan tanggung jawab besar bagi segenap bangsa Indonesia
dalam menjaga dan mengarusutamakan bahasa daerah di segala penjuru wilayah. Dengan
dukungan generasi muda yang tergabung dalam wadah duta bahasa, upaya revitalisasi bahasa
daerah akan senantiasa menunjukkan keberhasilan.
Berkaca dari filosofi arsitektur Braga sebelumnya, kita dapat berefleksi bahwa dalam
pemartabatan bahasa Indonesia terdapat pula upaya penguatan kekayaan bahasa daerah. Sejalan
dengan upaya revitalisasi tersebut, sejatinya kehidupan akan terus memberikan kita pelajaran
yang berarti melalui hal-hal kecil di sekitar kita. Ikon Kota Bandung tersebut dapat menjadi salah
satu cermin kebahasaan yang bahkan eksistensinya memberikan makna utama dalam
kebahasaan. Bahasa Indonesia hadir sebagai karunia berbagai macam suku bangsa yang berhasil
mempersatukan perbedaan bahasa daerah, sedangkan bahasa daerah dikuatkan untuk menopang
kekuatan identitas bangsa Indonesia pada waktu yang bersamaan. Keberagaman bahasa daerah
dapat kita maknai dengan menggunakannya secara berdampingan bersama bahasa Indonesia.
Bangunan yang telah lama dibangun akan tumbang jika tanpa pilar yang kuat, begitu pula
dengan martabat bahasa Indonesia yang tak dapat dielakkan dapat mengalami kemerosotan
akibat dari lemahnya pelindungan serta pembinaan dan pengembangan bahasa daerah.

Layaknya sebuah bangunan, agar menjadi sebuah hunian layak huni, ia perlu berfondasi
tangguh, berpilar kokoh, dan beratap kuat. Begitu pula dengan bangunan kebahasaan
Indonesia, ia perlu dijaga dan dipelihara agar dapat berdaulat dengan bahasa daerah sebagai
pilar penopang dan harmoni dalam kebinekaan.

 

Sumber: Ghania Wardani Luthfiyyah & Shabil Syach Pachlefi (Duta Bahasa Provinsi Jawa Barat)

 

Bagikan ke:

Postingan Terkait