Hikayat Gorong-gorong
Oleh Eddi Koben*
Namaku Mallia Molnesia. Kalian cukup memanggilku Mallia saja. Itu sudah cukup bagiku. Aku cucu dari seorang pria yang belakangan begitu dekat denganku sebelum ajal menjemputnya. Ia begitu sayang padaku karena akulah satu-satunya cucu yang paling cerewet akan masa lalunya. Ya, aku gemar mengorek masa lalu. Entahlah, masa lalu bagiku adalah sebuah romantika yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Kakekku bukanlah seorang pejuang kemerdekaan di masa mudanya. Terlebih sekarang, sangat jauh dikatakan sebagai seorang pahlawan. Tapi, aku sangat senang mendengar cerita-cerita kakek pada masa mudanya. Satu cerita yang akan kubagi ini entah kepada siapa. Aku tak tahu, barangkali orang-orang tak akan peduli pada ceritaku ini. Barangkali kalian juga akan melongos begitu saja sambil berlalu begitu mendengar ceritaku ini. Tapi, aku merasa benar-benar harus menceritakan lagi kisah kakekku ini.
Satu-satunya orang yang bersedia mendengarkan ceritaku hanyalah Imron. Ia penjual sate langgananku yang biasa mangkal disamping lapang Gasibu. Kalian tentu tak asing dengan lapangan yang berada di seberang Gedung Sate itu. Ya, Imronlah satu-satunya orang yang akan dengan rela mendengar ceritaku. Ia biasa melayani pembeli sambil mendengar ocehan para pelanggannya. Salah satunya adalah aku. Ia selalu mendengarkan ocehan semua pelanggan dan cukup menanggapinya dengan: oh!
Jumat malam aku mendatangi Imron di kios satenya. Asap dari pembakaran sate membumbung tinggi mengeluarkan bau khas yang begitu menggoda. Tangan kurus Imron begitu cekatan membolak-balik sate sambil dikipas-kipas menggunakan kipas bambu yang ujung gagangnya sudah menghitam.
Imron tersenyum ramah menyambut kedatanganku. Ia kembali fokus pada sate yang sedang dibakarnya. Seorang pembeli rupanya sudah tak sabar menunggu satenya matang. Tapi, Imron juga tak kalah sabar membakar satenya hingga benar-benar matang luar dalam.
Yang menarik dari sate buatan Imron adalah jumlah daging dalam tiap tusuknya. Sate-sate di penjual lain umumnya hanya berjumlah tiga potong daging dalam tiap tusuknya. Itu pun di tengahnya diselipkan daging lemak. Tapi, sate Imron dagingnya berjumlah enam tiap tusuknya. Aku tak mengerti, apakah Imron terinspirasi dari jumlah undakan atap puncak Gedung Sate yang juga enam buah atau bukan. Aku tak pernah menanyakan hal itu padanya..
“Ron, aku ingin cerita lagi nih. Tapi aku mau kamu mendengar ceritaku besok pagi saja. Besok pagi kamu tidak jualan kan?” aku membuka obrolan. “Besok aku tunggu kamu di halaman Gedung Sate jam sembilan, ya!” lanjutku.
Imron tidak menanggapi. Ia tetap khusyuk membakar sate. Aku tak peduli. Aku pun paham, Imron adalah sosok yang tidak banyak bicara. Tapi aku yakin, ia akan bersedia memenuhi permintaanku.
“Kamu belum dengar kan, cerita gorong-gorong misterius di sekitar Gedung Sate itu?” aku kembali menceracau. “Ini menarik, Ron, belum banyak orang tahu tentang cerita ini,” lanjutku sambil menenggak segelas teh hangat yang kuambil sendiri di teko antik berbahan seng di ujung meja.
“Oh.”
“Besok kan hari Sabtu, kantor gubernur itu libur. Jadi, boleh dikunjungi oleh warganya untuk sekadar berwisata. Besok kita bisa masuk ke gedung itu dan naik ke menaranya. Kamu belum pernah, kan? Kebetulan besok aku ada acara wisata sejarah bersama teman-teman komunitasku. Kamu boleh ikut, Ron!”
Imron diam. Asap dari pembakaran sate kian membumbung tinggi. Udara Bandung yang dingin di malam hari memaksaku merapatkan resleting jaket yang setengah terbuka. Tanganku memegangi gelas berisi teh panas yang tinggal setengah. Itu cukup membuat telapak tanganku hangat.
Jerit klakson dari kendaraan yang berlalu lalang cukup ramai. Orang-orang datang untuk sekadar menikmati kuliner Bandung yang sudah sangat terkenal ragam dan rasanya. Malam-malam begini banyak pasangan muda-mudi berboncengan pakai sepeda motor mencari kios-kios makanan di pinggir jalan. Penjual seblak tampak paling sibuk melayani pelanggan yang rata-rata muda-mudi. Di sebelahnya, penjual mie ayam tak kalah gesitnya melayani pelanggan. Hanya kios Imron yang cukup sepi. Barangkali muda-mudi itu kurang berselera menyantap sate. Padahal, makanan ini sangat legendaris dan rasanya luar biasa.
Angin berdesir menyibakkan helai-helai rambutku. Aku semakin merapatkan resleting jaketku. Asap sate perlahan mengecil. Semerbak wangi sate begitu menggoda menari-nari di ujung hidungku. Imron mengangkat sate pesananku, lalu membungkusnya dengan cekatan setelah dilumuri bumbu kacang dan kecap secukupnya. Ia sodorkan sebungkus sate itu kepadaku.
“Besok jangan lupa, ya! Jam sembilan!” pintaku sambil menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan pada Imron.
Imron hanya tersenyum. Aku bergegas pergi.
***
Semilir angin pagi dan semburat matahari cukup hangat membelai wajahku. Setelah memarkir sepeda motorku di Pos 9, aku bergegas menuju halaman depan Gedung Sate. Tepat di depan gerbang, seorang pemuda kurus berdiri memandangi orang-orang yang tengah gembira berswafoto dengan latar Gedung Sate. Ya, dia Imron. Aku sudah yakin dia pasti datang memenuhi permintaanku. Pemuda lugu itu tersenyum begitu aku memanggilnya dari dalam pagar. Imron bergegas masuk melalui pintu kecil di samping gerbang.
Aku senang melihat penampilan Imron yang lain dari biasanya. Kaos oblong hitam dipadu celana jeans biru tua dan sepatu kets hitam membuat penampilannya lebih mirip mahasiswa. Siapapun mungkin tak akan mengira bahwa Imron hanyalah tukang sate.
Aku dan Imron berjalan ke arah tiang bendera yang menjulang tepat di depan gedung. Di bawahnya tampak orang-orang tengah duduk-duduk sambil bercengkrama dengan kawan-kawannya.
Beberapa meter ke arah utara dari tiang bendera terdapat sebuah prasasti batu yang cukup besar. Prasasti itu berisi tulisan yang menerangkan bahwa di sekitar halaman Gedung Sate pada bulan Desember 1945 terdapat tujuh orang pejuang kemerdekaan yang gugur dalam mempertahankan gedung itu dari serbuan musuh.
“Ron, ini yang ingin aku ceritakan sama kamu.”
“Batu ini?”
“Bukan, tapi cerita dibalik keterangan pada batu ini. Ada yang berbeda antara keterangan yang ada di batu ini dengan keterangan dari kakekku.”
“Oh.”
“Kata kakekku, jumlah pejuang yang gugur saat itu bukan tujuh orang, tetapi lebih.”
“Oh.”
“Begini ceritanya.” Aku mengusap kening dulu sejenak sambil menghela napas.
“Saat itu, di pertengahan bulan Desember 1945, kakek tengah menemui pacarnya di sekitar Tjilaki Park. Taman itu biasa dimanfaatkan muda-mudi untuk sekadar bertemu dan mengobrol. Pacarnya yang tak lain adalah nenekku, saat itu masih sekolah di sebuah sekolah yang aku sendiri tak tahu nama sekolahnya apa. Kata kakek, lulusan sekolah itu rata-rata menjadi guru. Kakek sendiri saat itu sedang kuliah di ITB.”
“Oh.”
“Saat sedang asyik-asyiknya bermain dan ngobrol di taman, tiba-tiba kakek mendengar suara rentetan tembakan dari arah halaman Gedung Sate ini. Kontan kakek dan teman-temannya berhamburan menyelamatkan diri. Kakek bersama teman-temannya sempat mengintip dari balik gedung yang sekarang Museum Pos, segerombolan tentara yang tinggi besar berbadan gelap menyerang Gedung sate. Kakek menduga mereka adalah tentara Gurka. Mereka menembaki orang-orang di sini secara membabi-buta. Saking brutalnya, kakek melihat ada tentara Gurka juga yang tertembak.”
Aku berhenti sejenak untuk menenggak air di botol mineral yang kuselipkan di tas punggungku. Imron menatap tulisan di prasasti batu itu. Tangannya meraba tulisan-tulisan pada prasasti. Botol air mineral kembali kuselipkan di tas punggungku setelah beberapa tenggak kuhabiskan isinya.
“Jadi, kakek dapat melihat dengan jelas mayat-mayat yang bergelimpangan di area ini. Jumlahnya lebih dari tujuh. Karena takut kena sasaran tembak. Salah seorang temannya menarik kakek dan mengajaknya bersembunyi di sebuah gorong-gorong di sekitar Tjilaki Park.”
“Gorong-gorong!?”
“Ya, gorong-gorong. Barangkali cerita kakek tentang gorong-gorong tempat ia bersembunyi bisa menjawab isu yang saat ini tengah berkembang di masyarakat.”
“Oh.”
“Kata kakek, gorong-gorong itu ukurannya cukup luas. Gajah pun sepertinya bisa masuk. Bersama temannya, kakek menyusuri gorong-gorong itu, berusaha mencari jalan keluar. Untuk kembali ke tempat asal, kakek dan temannya tidak berani. Mereka khawatir tentara Gurka dapat menemukan mereka dan menembaknya.”
Aku berhenti sejenak untuk membetulkan letak tas punggungku.
“Keadaan di dalam gorong-gorong sangat menjijikkan. Bau pesing campur kotoran sangat menyengat. Di beberapa bagian terdapat kuburan. Kakek menduga itu adalah kuburan kuda-kuda pacu yang tewas. Kakek terus menelusuri gorong-gorong hingga ia menemukan satu pintu keluar. Sayup-sayup terdengar suara adzan. Kakek bergegas keluar dari gorong-gorong itu. Ia cukup kaget karena begitu keluar, ia sudah berada di kawasan Gedung Pakuan. Hari sudah malam. Rupanya suara adzan itu adalah adzan isya.”
“Oh.”
“Dalam keadaan tubuh yang sangat kotor dan bau yang menyengat, kakek pulang ke rumahnya. Saat itu rumah kakek berada di kawasan Braga. Begitu tiba di rumah, kakek langsung mengguyur badannya dengan berember-ember air.”
“Jadi…”
“Ya, dugaanmu sama seperti dugaanku. Di sekitar kawasan Gedung Sate ini ada gorong-gorong yang menghubungkan kawasan ini dengan kawasan Gedung Pakuan. Ini yang menjadikan aku penasaran. Aku tak tahu letak pasti gorong-gorong tempat kakek bersembunyi. Barangkali sekarang sudah tak ada karena tertimbun tanah atau bangunan. Aku sangat percaya dengan cerita kakek. Tapi, jika kuceritakan pada orang-orang, aku ragu mereka bisa mempercayai cerita dari kakekku ini. Aku tak mengerti, kenapa orang-orang yang sedang berkuasa tidak mau membuka rahasia ini. Apakah mereka benar-benar tidak tahu atau pura-pura tak tahu. Kalau alasannya politis, apa yang patut dikhawatirkan? Generasi kita butuh sebuah kebenaran. Dan, aku masih menginginkannya. Jika rahasia gorong-gorong itu bisa terungkap, aku yakin ini akan menjadi penemuan hebat, betapa kaum kolonial ternyata tidak hanya sekadar meninggalkan cerita pahit bagi penduduk pribumi. Tapi, mereka juga telah berhasil mewariskan peninggalan yang nilainya sangat berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan.”
Imron menarik nafas. Sorot matanya kosong menatap bangunan Gedung Sate yang menjulang.
“Kenapa Teteh tidak menceritakan hal ini sama kawan-kawan Teteh?”
“Entahlah. Aku juga ragu pada mereka. Aku sadar, nama kakekku tidak tertulis dalam catatan sejarah bangsa ini. Mereka mungkin hanya akan menganggap cerita kakekku ini hanya bualan belaka. Mereka hanya percaya pada catatan di buku-buku sejarah yang tersimpan di perpustakaan dan museum.”
“Oh.”
“Tuh mereka, Ron, teman-temanku. Mereka mau masuk ke dalam gedung. Yuk, ikut!”
Tanpa ragu Imron mengikuti langkahku untuk bergabung dengan kawan-kawan. Aku menelusuri setiap lorong dalam bangunan yang penuh sejarah ini. Barangkali nanti aku akan menemukan sebuah petunjuk untuk membuktikan sebuah rahasia, aku hanya bisa berharap.
Aku dan Imron melangkah mengikuti rombongan meniti tiap anak tangga menuju puncak gedung, berharap bertemu puncak kebenaran, menguak rahasia sejarah yang tersimpan dalam balutan waktu.***
Cimahi, 28 Februari 2016
*Eddi Koben, anggota Komunitas Tjimahi Heritage. Bekerja sebagai penjual nasi di Cimahi.