Oleh Yusup Irawan*
Kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok terus bergulir semakin panas. Kalimat Ahok yang kontroversial itu telah memancing kemarahan banyak orang khususnya umat Islam Indonesia. Seberapa besar ekspresi kemarahan itu dapat kita ukur dari jumlah orang yang ikut serta dalam aksi demostrasi damai tanggal 4 November lalu di depan Istana Negara. Presiden didesak untuk mendorong POLRI agar segera memproses laporan masyarakat mengenai dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok secara adil dan transparan. POLRI pun berjanji untuk menyelesaikan proses penyelidikan dalam tempo dua minggu. Hasil proses itu telah disampaikan sehari setelah gelar perkara “terbuka, tetapi terbatas” dan Ahok ditetapkan sebagai tersangka.
Seperti halnya tulisan saya terdahulu yang dapat dibaca di sini, tulisan ini disampaikan untuk ikut membantu mendudukkan masalah yang pelik ini. Artikel terdahulu yang berjudul “Bedah Fonetik Kalimat Kontroversial Ahok” sebenarnya lebih berfokus pada kasus Buni Yani sebagai terlapor atas tuduhan melakukan provokasi kepada masyarakat dengan cara menyebarluaskan penggalan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu dan membuat transkrip yang keliru. Sebelumnya, saya tak menyangka kasus yang membelit Ahok lebih heboh daripada kasus yang membelit Buni Yani.
Dalam tulisan ini saya akan fokus membedah kalimat Ahok yang kontroversial itu dengan pisau analisis kajian intonasi. Intonasi kalimat Ahok ditelaah dengan pendekatan ilmu fonetik. Secara ilmiah kajian intonasi dan fonetik memiliki legitimasi untuk menilai struktur pesan yang diucapkan penutur. Secara teoretis intonasi kalimat menyampaikan informasi linguistik sekaligus juga menyampaikan informasi ekstralinguistik, yaitu sikap atau emosi si penutur. Sementara ini, saya tidak akan berteori panjang lebar mengenai intonasi karena tulisannya akan sangat panjang.
Seperti analis bahasa lainnya, saya fokus pada kalimat yang dipolemikkan, yakni “… karena dibohongin pake surat Almaidah lima satu macem-macem itu” dan “… karena saya takut masuk neraka, dibohongin gitu, ya.” Kedua kalimat itu diapit oleh kalimat sebelum dan sesudahnya sebagai wadah konteks kalimat kontroversial Ahok. Jika ditranskrip hasilnya sebagai berikut.
“Jadi, jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil Bapa(k) Ibu__(jeda pendek)__enggak bisa pilih saya (segmen 1)__ya, kar(ena) dibohongin pake surat Almaidah lima satu macem-macem itu (segmen 2)__(hadirin tertawa)__itu hak Bapa(k) Ibu (segmen 3)__ ya (segmen 4)__ jadi kalo Bapa(k) Ibu perasaan (segmen 5)__(eng)gak bisa pilih, nih(segmen 6)__kar(e)na saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya (segmen 7A)_ (eng)gak apa(a)pa (segmen 7B)__kar(e)na ini kan panggilan pribadi Bapak Ibu (segmen 8).”
Ada delapan frasa intonasi atau segmen yang saya transkrip. Setiap segmen mewakili sebuah frasa intonasi. Frasa intonasi atau kelompok jeda ialah kata-kata yang terkelompokkan oleh jeda final. Secara teoretis sebuah frasa intonasi tidak selalu mewadahi sebuah kalimat. Sebuah frasa intonasi dapat mewadahi lebih dari satu kalimat atau hanya mewadahi sebagian konstituen kalimat saja.
Gambar 1
Dengan piranti penganalisis tuturan saya dapat memvisualkan kontur intonasi kalimat Ahok yang sudah saya transkrip dalam gambar 1. Tuturan Ahok divisualkan dengan jendela spektrogram filter lebar (broadband) 260Hz/5milidetik, rentang dinamik 25 desibel, dan rentang analisis nada75—500Hz. Garis kuning menggambarkan besaran intensitas bunyi, sedangkan garis biru menggambarkan intonasi si Penutur. Kontur intonasi dan intensitas tersebut terpetakan dalam jendela spektrogram. Di atas jendela spektrogram terdapat pula jendela waveform. Baik spektrogram maupun waveform digunakan untuk menganalisis tuturan.
Di gambar 1 kita dapat melihat tampak sekali jendela spekrogram terlalu sempit untuk menampung kata-kata yang tertranskrip. Akan tetapi, saya dapat menunjukkan posisi kalimat yang dipolemikkan itu di antara kalimat-kalimat lainnya, yaitu di segmen 2 dan segmen 7A. Perhatikan kontur intonasi di frasa yang saya lingkari. Lalu, bandingkan dengan segmen-segmen lainnya. Bagaimana dinamika intonasinya? Nadanya naik atau turun? Bagaimana tinggi rendah nadanya? Garis merah yang melintang dapat menjadi patokan kita untuk melakukan interpretasi.
Gambar 2
Untuk memperoleh visualisasi yang lebih tampak terpaksa saya hanya menampilkan sebagian segmen saja agar kita dapat mulai melakukan telaah secara lebih mendalam. Gambar 2 di atas menampilkan tiga segmen yang memuat kalimat “Jadi, jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil Bapa(k) Ibu__(jeda pendek)__enggak bisa pilih saya __(segmen 1)__ya, kar(ena) dibohongin pake surat Almaidah lima satu macem-macem itu __(segmen 2)__(hadirin tertawa)__itu hak Bapa(k) Ibu__(segmen 3).” Pada gambar 2 kita sudah dapat menganalisis kontur intonasi kalimat Ahok, yaitu dengan cara melakukan perbandingan antarfrasa intonasi atau antarsegmen.
Sekarang, silakan bandingkan dinamika intonasi atau naik-turun nada di antara segmen 1, 2, dan 3. Segmen manakah yang lebih berdinamika intonasinya? Saya rasa kita dapat melihat bahwa intonasi segmen 1 dan 3 lebih berdinamika daripada segmen 2. Segmen 2 pun dikarakterisasi oleh tren alir nada yang terus menurun. Kemudian, terkait dengan intensitas bunyi (garis kuning), kita pun dapat melihat tren kontur intensitas (intensity envelope) yang terus menurun pada segmen 2 hingga akhir segmen itu. Selanjutnya, jika dicocokkan dengan persepsi pendengaran, kita dapat merasakan intonasi segmen 2 terdengar lebih monoton daripada segmen 1 dan 3. Segmen 3 yang berisi kalimat, “Itu hak Bapa(k) Ibu” terdengar lebih lantang daripada segmen 1 dan 2. Jika Anda ragu frasa mana yang lebih lantang, silakan dengarkan kembali video Ahok itu.
Gambar 3
Untuk memperjelas analisis visual dan analisis dengaran, saya melakukan pengukuran komponen akustik tuturan nada setiap suku kata dalam satuan Hertz (Hz). Kemudian saya konversi ke dalam satuan psikoakustik semiton (st). Perbedaan satu semiton sudah dapat dipersepsi sebagai perbedaan nada bunyi seperti kita dapat membedakan nada bunyi satu tuts piano dengan nada bunyi tuts piano di sampingnya. Agar mudah dalam pembacaan hasil pengukuran, saya tampilkan hasil pengukuran dalam bentuk grafik di gambar 3. Perhatikan, di region mana saja nada-nada segmen 2 terdistribusi dan di region mana saja nada-nada segmen 1 dan 3 terdistribusi. Di grafik itu tampak jelas nada-nada suku kata tuturan segmen 2 relatif lebih rendah daripada nada-nada segmen 1 dan 3. Tampak pula nada-nada tuturan segmen 2 tidak sedinamis segmen 1 dan 3. Barangkali ada pembaca mempertanyakan di akhir segmen 2 terdapat nada yang menjulang. Saya menafsirkannya sebagai nada pengakhiran (boundary tone). Tingginya nada itu akibat bunyi letupan tu pada kata itu yang menyebabkan pita suara bergetar ekstrem lebih cepat. Bunyi dengan nada tinggi itu pun tak terdengar dengan jelas.
Tidak hanya nada, pengukuran terhadap rata-rata intensitas menunjukkan pola yang sama dengan nada tuturan, yaitu 73, 38dB (seg 1), 70, 69dB (seg 2), dan 73, 47dB (seg 3). Intensitas rata-rata untuk segmen 2 lebih rendah daripada segmen 1 dan 3. Sebagai catatan, dalam tulisan terdahulu, saya melakukan pengukuran dengan teknik pengeblokan yang hasilnya adalah segmen 2 memiliki rerata intensitas paling rendah daripada dua segmen lainnya.
Metode yang sama saya aplikasikan untuk menganalisis kalimat Ahok lainnya yang dipermasalahkan, yaitu “… kar(e)na saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya.” Kalimat itu berada dalam konteks kalimat lainnya, yaitu “Jadi kalo Bapa(k) Ibu perasaan (segmen 5)__(eng)gak bisa pilih, nih (segmen 6)__kar(e)na saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya (segmen 7A)_ (eng)gak apa(a)pa (segmen 7B)__kar(e)na ini kan panggilan pribadi Bapak Ibu (segmen 8).” Segmen 7 saya bagi menjadi dua subsegmen: segmen 7A dan segmen 7B oleh karena maknanya yang saling bertolak belakang. Sekarang, mari perhatikan gambar 4 berikut.
Gambar 4
Dengan melakukan perbandingan intrafrasa dan antarfrasa intonasi kita dapat melihat, seperti halnya segmen 2, dinamika intonasi segmen 7A tidak begitu dinamis atau tidak sedinamis segmen-segmen lainnya. Kemudian, tren intonasinya pun terus menurun. Tidak hanya itu, kita pun dapat melihat kata masuk neraka dan kata dibodohin diintonasikan dengan nada-nada yang lebih rendah, bahkan diintonasikan dengan nada paling rendah daripada domain tuturan yang tervisualisasi lainnya. Dari sisi kelantangan kita dapat mendengarkan kata enggak apa-apa lebih ditonjolkan daripada kata masuk neraka dan dibodohin.
Tampaknya data-data akustiknya tidak perlu saya uraikan di sini karena akan membuat pembaca merasa pusing membacanya. Visualisasi sudah cukup menjelaskan kepada kita. Sebagai catatan, barangkali akan muncul perdebatan kecil mengenai soal kelantangan di antara kata neraka dan (eng)gak apa-apa. Sebagian akan mempersepsi kata neraka setara kelantangannya dengan kata (eng)gak apa-apa. Di sini saya tetap berpendapat bahwa kata (eng)gak apa-apa lebih dinamis intonasinya dan lebih ditekankan oleh penutur daripada kata neraka. Secara teoretis ciri primer intonasi adalah nada, bukan intensitas. Kelantangan ekstra pada kata neraka merupakan efek dari nada pengakhiran (boundary tone) sebagai pertanda mengakhiri sebuah subfrasa dan mengawali sebuah subfrasa baru. Di situ kalimat “Karena saya takut masuk neraka” diakhiri dengan boundary tone naik-turun di ujung kata neraka.
Di bagian awal artikel ini, saya sudah menyampaikan bahwa intonasi tuturan berfungsi menyampaikan informasi linguistik sekaligus juga sikap atau emosi si penutur. Informasi linguistik yang disampaikan dapat berupa (1) informasi modus kalimat (deklaratif dan interogatif) dan (2) informasi pesan yang ditekankan/difokuskan. Kalimat pernyataan atau pertanyaan disampaikan dengan variasi intonasi yang berbeda. Pesan mana yang ditekankan oleh penutur dan yang tidak ditekankan oleh penutur dapat diidentifikasi dari intonasinya. Kemudian, melalui intonasinya kita dapat menelaah apakah pesan yang disampaikan itu mengandung sikap tegas/ragu, percaya diri/kurang percaya diri, marah/sedih, dsb.
Intonasi kalimat tidaklah acak, melainkan diprogram di otak si penutur. Mengapa orang berteriak ketika ada maling menyusup ke rumahnya? Mengapa anak menangis ketika menginginkan sebuah mainan? Mengapa orang marah dengan suara lantang dan nada tinggi? Mengapa kalimat tanya diintonasikan dengan nada-nada tinggi atau alir nada naik? Jawabannya adalah karena penutur ingin diperhatikan sekaligus ingin direspon. Secara sederhana kita dapat merumuskan di bagian kalimat/kata mana penutur ingin diperhatikan lebih, dipentingkan, difokuskan, atau dititikberatkan di situ akan diberi ciri yang menonjol, diberi tekanan atau dilantangkan.
Amran Halim, seorang pakar intonasi di Indonesia, dalam bukunya Intonasi dalam Hubungannya dengan Sintaksis Bahasa Indonesia memberikan contoh berupa dialog sederhana untuk menggambarkan mana informasi yang difokuskan dan yang tidak.
A: Mau minum apa?
B: Mau minum kopi.
Untuk menjawab pertanyaan si A, si B akan memberi tekanan pada kata kopi, bukan pada kata mau ataupun minum. Mengapa? Karena dengan memberi tekanan pada kata kopi jawaban si B menjadi relevan dengan pertanyaan si A. Artinya si B mementingkan pesan pada kata kopi.
Simpulan
Tadi, data sudah kita pegang. Lalu, apa makna semua itu? Bagaimana struktur pesan intonasi kalimat Ahok itu?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya ingatkan bahwa kita sudah mengidentifikasi, yakni kalimat yang dipermasalahkan itu dikarakterisasi oleh (1) dinamika intonasi yang tak dinamis, (2) tren kontur intonasi yang menurun, (3) nada-nada yang lebih rendah, dan (4) kelantangan/intensitas yang lebih rendah (khususnya segmen 2). Mari kita pegang fakta ini sebagai keniscayaan. Sekarang ada dua hipotesis yang maknanya saling bertolak belakang yang dapat kita rumuskan:
(A) Kalimat Ahok yang dipolemikkan itu adalah pesan yang difokuskan/dipentingkan/ditekankan/dititikberatkan oleh penuturnya. Kemudian, kalimat Ahok itu disampaikan dengan tegas dan percaya diri.
(B) Kalimat Ahok yang dipolemikkan itu adalah pesan yang tidak difokuskan/dipentingkan/ditekankan/dititikberatkan. Kemudian, kalimat Ahok itu disampaikan dengan tidak tegas dan tidak percaya diri.
Mengacu pada fakta-fakta yang sudah saya beberkan, saya harus memilih hipotesis B bahwa kalimat yang dipolemikkan itu adalah pesan yang tidak difokuskan, tidak dipentingkan, tidak ditekankan, dan tidak dititikberatkan oleh penuturnya. Kemudian, kalimat Ahok itu diartikulasikan dengan tidak tegas dan percaya diri sebagai ciri emotif si penutur ketika mengucapkan kalimat itu. Di sini tampaknya kita mulai dapat memahami mengapa Ahok merasa tak ada yang salah dengan ucapannya karena kalimat yang dipolemikkan itu secara intonasi tidak ditekankan olehnya.
Lalu, pesan mana yang difokuskan/dipentingkan/ditekankan/dititikberatkan oleh Ahok? Bagian pesan yang ingin ditekankan oleh Ahok adalah pesan pada kalimat “Itu hak Bapak Ibu” dan “enggak apa-apa” yang diintonasikan dengan lebih dinamis, dengan nada-nada yang lebih tinggi, dan dengan kelantangan yang lebih menonjol. Silakan dengarkan kembali, kalau perlu berulang-ulang, pidato Ahok itu untuk meyakinkan pembaca dan lihat kembali gambar-gambar di atas.***
*Penulis adalah pengkaji bahasa di Balai Bahasa Jawa Barat.
Sumber video yang dianalisis: https://www.youtube.comwatchv=N2Bn5JKTGkI