Jalan Braga Lewat “Syair Sepotong Senja”

 Jalan Braga Lewat “Syair Sepotong Senja”

Merekam sebuah kota ke dalam berbagai karya tentu merupakan sesuatu yang sudah seharusnya. Baik lewat film, foto, tulisan, maupun karya-karya yang mampu bertahan lebih lama. Sebagai bentuk sebuah tanggung jawab dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Mampu menjadi warisan budaya atau tradisi. Dan yang terpenting adalah sejarah tentang perkembangan sebuah kota dan tingkah laku (baik sosial maupun pribadi) dari individu-individu yang mengiringi perubahan tersebut.

Salah satu alat pengabadian tersebut adalah puisi. Saya lalu bertemu rekaman-rekaman tentang kota Bandung di dalam sebuah buku kumpulan puisi berjudul “Di Atas Viaduct (Bandung dalam Puisi Indonesia)” berisi puisi-puisi dari berbagai penulis Indonesia yang merekam jejak Bandung ke dalam baris-baris sajak.

Puisi yang kemudian menarik perhatian saya adalah “Syair Sebelum Senja” karangan Cecep Syamsul Hari, ditulis tahun 1996-1997.

“Di Jalan Braga. Potongan-potongan kertas menyerupai puluhan panji berwarna langit siang hari. Sebentar lagi hujan. Pintu separuh terbuka: Kau lihat gedung lusuh itu dibalut kain merah dan putih, seperti warna bibir dan wajahmu. Agustus sebulan lalu. Menyisakan sihir pada tiang-tiang bendera. Lelah dan tua. Segelas kopi dan kerjap matamu melukis angin dengan kata-kata…”

Pada bait pertama puisi tersebut, jalan Braga menjadi latar tempat yang diiringi gambaran akan suasananya. Jalan Braga adalah bagian tak terpisahkan jika berbicara tentang kota Bandung. Popularitasnya sebagai tempat yang telah disebut-sebut sejak masa kolonial, turut menjadikan jalan Braga sebagai situs penting perjalanan dan perkembangan kota Bandung.

Dari kepopuleran yang terus berlanjut hingga kini, jalan Braga tentu saja menyimpan banyak kenangan bagi mereka yang pernah melewatkan hari-hari di sana. Penegasan suasana yang diikuti kalimat “Pintu separuh terbuka” membuktikan bahwa penulis pelan-pelan mengurai ingatannya tentang kenangan di jalan Braga.

Kalimat selanjutnya pada bait pertama menggambarkan suasana sore di jalan Braga sekitar bulan september. Latar waktu yang sungguh pas waktu feature ini dituliskan. Namun, yang menarik perhatian saya adalah frase “Gedung lusuh”. Jalan Braga memang terkenal dengan bangunan-bangunan bersejarah. Tapi, penggunaan kata “lusuh” seperti menyiratkan tentang sesuatu yang tak terurus. Ibarat baju yang telah dikenakan berhari-hari, tak dicuci, apalagi disetrika. Ada dua hal yang membuat sesuatu menjadi lusuh. Tidak mampu atau tidak diperhatikan. Dan berbicara mengenai pengelolaan gedung-gedung peninggalan sejarah di dalam kota, alasan yang pertama bukanlah alasan yang patut diterima.

Kelusuhan tersebut mengingatkan saya kepada berbagai gedung bersejarah di kota-kota di Indonesia. Termasuk di kota saya menetap, Makassar. Sungguh sesuatu yang membuat miris bahwa banyaknya situs-situs berupa gedung-gedung yang menjadi saksi sejarah tidak diperhatikan dengan baik. Padahal, dari gedung-gedung tersebut banyak kisah-kisah inspiratif yang patut diwariskan kepada generasi selanjutnya. Seperti perjuangan yang digambarkan pada potongan bait ke dua puisi “Syair Sebelum Senja”.

“…gedung itu pernah melahirkan penyair; beberapa tukang parkir. Juga kawanku, dulu pemimpin demonstran. Seorang istri yang setia bermalam-malam menunggunya…”

Barangkali, kurang diperhatikannya gedung-gedung tersebut karena perputaran modal yang sangat sedikit. Melihat penggunaannya kebanyakan oleh kegiatan-kegiatan kesenian yang tentu saja kurang berorientasi pada keuntungan finansial. Dengan alasan yang sama pula, banyak gedung-gedung kuno yang disulap menjadi pusat perbelanjaan agar lebih menguntungkan bagi pemilik modal dan penguasa.

Tapi, jika menilik pertumbuhan kota-kota besar di luar negeri, justru mempertahankan keaslian bangunan-bangunan tersebut. Selain saksi akan kisah-kisah terdahulu, simbol-simbol perjuangan yang akan diwariskan ke generasi selanjutnya, juga sebagai komoditi wisata sejarah. Sesuatu yang seringkali dilupakan pengelola kota di negara ini.

Menemui sebuah tempat di dalam karya-karya seni seperti puisi memiliki keasyikan tersendiri. Seperti membawa kita kembali ke masa silam. Merasakan ungkapan batin penyair, juga gambaran akan lanskap ruang yang mungkin kini telah berubah. Singkatnya, kita dibawa melihat suatu tempat dengan melibatkan apa yang ada di kepala dan di dalam dada.

Saya sendiri belum pernah menginjakkan kaki di kota Kembang. Meskipun ingin sekali ke sana. Bukan, bukan karena mode dan musik yang sering menjadi dua ikon tersendiri yang sering ditularkan kepada generasi muda. Saya ingin menikmati Bandung dari sisi sejarahnya. Mengunjungi situs-situs sejarah yang tersisa, sambil merangkai kisah yang mungkin bisa saya tuliskan kelak.

Memaknai jalan Braga dari puisi “Syair Sebelum Senja” yang ditulis hampir dua dekade silam, saya tidak berani membayangkan apa-apa. Namun hanya berharap, “gedung lusuh” tidak lagi ada, berganti gedung tua dan bersahaja.

Saya ingin menikmati jalan Braga sebelum senja, dengan rasa bahagia. Lalu memujinya seperti perempuan bukan karena dandanannya. Namun keanggunan yang melekat sejak lahir. Saya ingin memujinya seperti kalimat penutup “Syair Sebelum Senja”,

“Rambutmu bercahaya. Begitu indahnya”

 

*Tulisan ini merupakan Pemenang Harapan Pertama dalam Lomba Feature yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat bekerja sama dengan http://www.buruan.co. Ditulis oleh Arkil Arkis.

Tautan: http://www.buruan.co/jalan-braga-lewat-syair-sepotong-senja/

 

Postingan Terkait