Oleh Dini Khoerunnisa*
Menulis adalah satu hal yang sangat erat kaitannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan pelajar. Setiap hari para pelajar pasti menulis materi pelajaran, atau apapun itu. Akan tetapi, tak dapat dimungkiri bahwa sekarang ini budaya menulis perlahan-lahan mulai dilupakan oleh bangsa Indonesia. Banyak orang yang beranggapan bahwa dirinya tidak bisa menulis, padahal semua orang pasti bisa menulis, walaupun hanya sebaris kalimat. Menulis tak wajib menggunakan gaya bahasa yang wow agar kelihatan keren seperti sastrawan, cukup tulis apa yang kita pikirkan dan kita rasakan. Menulis tak hanya menggoreskan tinta diatas kertas, melainkan menuangkan isi pikiran dan perasaan kita dalam bentuk tulisan.
Menulis itu tidak sulit, cukup luangkan waktu setidaknya 10—15 menit per hari untuk menulis serta sediakan pena dan kertas. Bahkan pada zaman sekarang, dengan bantuan gadget kita bisa menulis di manapun dan kapanpun. Untuk terus mengembangkan potensi menulis pada diri kita, cobalah biasakan menulis satu hari satu artikel (one day one article), atau menulis di buku harian (diary). Dengan dua kebiasaan tersebut, kemampuan menulis kita akan terus terasah.
Menulis memiliki beragam manfaat untuk emosional seseorang. Salah satu manfaatnya adalah terapi jiwa. Menulis adalah aktivitas yang sangat bermanfaat bagi kesehatan batin atau jiwa. Ini bukan basa-basi, melainkan telah berhasil dibuktikan secara ilmiah dan juga fakta. Berkaitan dengan hal ini, kita dapat belajar dari pengalaman BJ Habibie dalam menghadapi kondisi kejiwaan setelah ditinggal wafat oleh istri tercintanya, Ainun Habibie.
Sepeninggal ibu Ainun, kondisi jiwa Pak Habibie sangat mengkhawatirkan, tim dokter yang merawatnya memberi tiga pilihan bagi proses penyembuhannya. Dirawat di rumah sakit jiwa, dirawat di rumah dengan pendampingan tim dokter, atau berusaha menyembuhkan diri sendiri. Keluarga Habibie memilih opsi yang ketiga, yaitu dengan berusaha menyembuhkan diri sendiri melalui menulis. Ketika terjadi suatu hal yang aneh pada diri Habibie, seperti tiba-tiba tertawa atau tiba-tiba menangis, anaknya langsung memberikan pena dan kertas dan memintanya menuliskan apa yang ia rasakan. Sampai akhirnya semua yang ditulisnya saat sedang “sakit” itu dibukukan. Buku yang mengisahkan kisah cintanya dengan Ainun itu pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jepang, dan Arab.
Hasilnya, seperti yang dikemukakan oleh Habibie, bahwa setelah menuntaskan penulisan buku tersebut, beliau merasa baru saja keluar dari lingkaran hitam yang selama ini mengurungnya dalam kesedihan mendalam usai ditinggal pergi sang istri tercinta.
Bagaimana, luar biasa bukan? Maka dari itu ayo kita mulai menulis, jangan takut tulisan kita jelek ataupun tak layak baca sebab segala sesuatu itu pasti perlu proses. Yang terpenting dari itu semua adalah kita telah berusaha membiasakan diri menulis sesuai dengan kemampuan. Patut direnungkan juga bahwa dengan menulis nama kita akan tetap lestari dan terus dikenang sepanjang waktu walau jasad kita tak lagi di dunia. Untuk itu, ayo berkontribusi untuk bangsa melalui tulisan.
*Penulis adalah Siswi kelas XII IPA 1 SMAN 1 Banjaran