KEBAYA UNTUK NENEK
Oleh Eddi Koben*
Malam itu, selepas Isya, Jakarta mulai lengang. Di sebuah halte bus, beberapa orang masih termangu menunggu kedatangan bus yang akan mengangkut mereka ke tempat tujuan masing-masing. Satu dua bus berdatangan menaikkan penumpang. Sesaat kemudian berangkat lagi. Suasana sepi lagi.
Seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun, Jamil namanya, tampak duduk menekur sambil memegang sebuah kotak serupa baki berisi amplop-amplop cantik bergambar kartun. Hello Kitty, Doraemon, Frozen, Upin Ipin, dan sejumlah tokoh kartun lainnya menghiasi amplop-amplop yang tengah dijajakannya pada para calon penumpang bus. Perawakannya kurus tinggi. Wajahnya cukup tampan. Kulitnya agak legam karena sering terbakar matahari. Kaus oblong warna hijau dan celana jeans hitam melekat di tubuhnya.
Jamil mulai menghitung dan merapikan amplop-amplop cantiknya. Tarikan nafasnya cukup berat tatkala menyadari dagangannya masih tersisa banyak. Ia rupanya belum berani pulang sebelum dagangannya habis. Sejak pagi, ia menjajakan amplop-amplop itu di halte bus dekat pintu tol Kebon Jeruk. Ia berharap orang-orang suka membeli amplop-amplopnya untuk angpau di hari lebaran. Ia yakin, anak-anak akan suka jika mendapat angpau bergambar dari sanak saudaranya. Ia berharap orang-orang sudi membeli amplop-amplopnya untuk dibagikan kepada anak-anak.
Hari itu hari terakhir puasa di bulan Ramadan tahun ini. Sejak pagi, hanya beberapa amplop yang laku terjual. Memang, Jakarta sudah ditinggalkan penghuninya sejak beberapa hari lalu. Puncaknya kemarin, dua hari jelang hari raya. Jamil masih bisa tersenyum karena amplop-amplopnya habis terjual sebelum malam tiba. Tapi kini, keadaannya berbalik.
Beberapa lembar uang hasil jualan ia selipkan di saku bajunya. Ia tahu, uang itu tak akan cukup untuk membeli sehelai baju kebaya untuk neneknya. Uang yang terkumpul selama ini selalu habis dipakai keperluan sehari-hari. Ingin sekali ia membelikan neneknya baju kebaya agar bisa tampil menarik di hari raya. Ya, hanya neneknyalah satu-satunya orang yang selama ini setia membesarkannya. Sementara, ibu bapaknya telah lama tiada.
Bayangan wajah neneknya selalu berkelebat di pelupuk mata. Kulitnya yang semakin keriput semakin menampakkan kelelahannya dimakan usia. Bajunya yang sudah lusuh selalu menghantui pikiran Jamil. Kebaya satu-satunya yang selalu dipakai tiap lebaran kini sudah tampak usang. Bahkan, di beberapa bagian tampak benang-benang sisa jahitan tangan nenek. Bolong-bolongnya memang sudah tertutup, tapi tetap saja jadi kurang elok kelihatannya. Sekilas bayangan baju kebaya yang sering ia lihat di toko kecil dekat mal besar itu berkibar-kibar di pikiran Jamil. Ia bayangkan pula senyum bahagia neneknya seandainya ia pulang sambil membawakan baju kebaya baru untuk neneknya.
Akan tetapi, sepertinya hal itu tak mungkin terwujud. “Aku terpaksa harus menunda keinginan membelikan kebaya baru buat nenek. Amplop-amplop ini masih betah di wadahnya. Ah, orang-orang sudah pada pulang. Mana mungkin aku bisa menjual habis amplop-amplop ini”. Pikiran negatif Jamil sesekali muncul. Tapi, buru-buru ia tepiskan pikiran buruk itu. Kata neneknya, berpikir negatif hanya akan mendatangkan hal-hal yang buruk. Maka, berpikir positiflah. Begitu kata neneknya.
Teringat akan pesan neneknya, Jamil tersenyum sendirian. Pelan-pelan semangatnya dibangun lagi. “Ya, malam ini aku harus tetap menjual amplop-amplop ini. Aku harus terus berusaha sekuat tenaga. Aku ingin menyenangkan nenek”. Begitu pikir Jamil mencoba menghidupkan lagi api semangatnya.
Suasana halte bus makin sepi. Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan halte, menaiki bus menuju kampung halaman. Jamil semakin gelisah. Amplop-amplop masih menumpuk. Ia coba tawarkan pada seorang ibu yang baru saja tiba. Ibu itu hanya menggeleng. Jamil kembali duduk di bangku halte. Tatapannya kembali tertuju ke arah jalan. Memperhatikan laju kendaraan yang hanya satu dua.
Sekilas perhatiannya teralihkan oleh kedatangan seorang ibu muda yang tampak kerepotan membawa dua tas yang besar-besar. Dengan napas terengah, ibu muda itu meletakkan tas-tasnya di lantai halte. Ia berdiri sambil melemaskan otot-otot tangannya yang tegang. Napasnya masih turun naik.
Melihat si ibu kelelahan, Jamil dengan segera menggeser posisi duduknya.
“Bu, duduk di sini, Bu. Silakan!” tawarnya.
“Terima kasih, Dik!” jawab si ibu seraya tersenyum dan mendekati Jamil.
Ibu muda itu duduk di samping Jamil. Tangannya sibuk mengipas-ngipas lehernya. Udara Jakarta masih terasa panas meski di malam hari. Terlebih bagi orang yang membawa barang-barang berat seperti ibu muda itu.
“Sendirian saja, Bu?” Jamil mulai buka obrolan.
“Iya, Dik. Anak-anak sudah duluan sama bapaknya.”
“Ibu tidak takut sendirian?”
“Ah, ngapain takut. Kan ada Allah yang jagain.”
Jamil tersenyum. “Enteng sekali ibu ini menjawab”, pikirnya. “Ya, mengapa kita harus takut? Toh Allah juga tak akan membiarkan hambanya dalam kesulitan. Semua orang pasti akan dihadapkan pada kesulitan dengan tingkatan yang berbeda-beda. Dan, semua kesulitan tentu akan ada jalan keluarnya jika ia mau terus berusaha”. Begitu pikir Jamil tatkala mengingat perkataan neneknya.
“Ibu mau ke mana?”
“Ke Bandung.”
“Oh, Bandung itu Tasik ya, Bu?”
“Hehe… Bandung ya Bandung. Tasik lain lagi, masih jauh lagi dari Bandung. Jaraknya hampir sama dengan Jakarta-Bandung.”
Jamil tersipu. Memang pengetahuan geografinya tidak mumpuni. Maklum, ia hanya tamatan SD. Jarang pula ia bepergian ke tempat-tempat jauh selain Jakarta dan sekitarnya. Sejauh yang ia ingat, tempat terjauh yang pernah dikunjunginya adalah Bogor. Itu pun sudah lama saat orang tuanya masih hidup.
“Kamu jual apa, Dik? Kok belum pulang jam segini?”
“Amplop lebaran, Bu. Masih banyak nih, sayang kalau tidak kejual.”
“Boleh lihat?”
“Boleh, boleh, Bu. Silakan! Harganya tiga ribu se-pack kalau ibu beli dua pack harganya lima ribu.”
“Oh, lucu-lucu juga gambarnya. Saya ambil dua ya, yang Hello Kitty sama Frozen.”
Jamil tersenyum. Selembar uang lima ribuan ia terima dari ibu muda itu. Matanya berbinar. Saldo di saku bajunya bertambah. Dalam hati tak henti-hentinya Jamil mengucap syukur. Ya, berapa pun yang ia dapat, ia harus tetap mensyukurinya. Begitu pesan neneknya yang selalu ia ingat.
“Bu, Bu, itu Bus Bandung, Bu…!” teriak Jamil tiba-tiba.
“Oh, iya.” Si Ibu terkaget-kaget. Lalu berdiri hendak meraih tas bawaannya.
“Biar saya bawakan, Bu. Ibu naik saja duluan!”
Jamil sigap meraih tas si ibu yang besar-besar itu. Agak kerepotan juga ia membawanya. Badan kurusnya tak terlalu kokoh untuk membawa barang yang cukup berat. Sambil tertatih-tatih, Jamil berusaha mendekati bus sambil membuntuti si ibu muda. Si ibu tenang saja melangkah menaiki tangga bus. Deretan kursi ia lewati mencari yang kosong. Deretan kedua dari belakang tampak kosong. Ibu muda itu segera duduk. Jamil menyodorkan kedua tas yang ditentengnya.
“Terima kasih ya, Dik!”
“Sama-sama, Bu! Hati-hati di jalan ya, Bu. Semoga selamat!”
“Iya. Eh, tunggu, Dik. Ini lumayan buat jajan.”
“Ah, nggak usah, Bu, nggak usah!”
“Sudah, terima saja. Terus kamu pulang ya, ini sudah malam.”
Ibu itu terus memaksa. Jamil tak bisa menolak. Selembar uang warna merah bergambar Sukarno akhirnya ia terima. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih pada ibu muda itu. Dengan terpincang-pincang ia berjalan meninggalkan si ibu. Ya, kaki jamil memang pincang akibat kecelakaan lalu lintas yang ia alami beberapa tahun lalu. Ibu muda itu menatap Jamil dengan perasaan haru. Ia tak menyangka, ternyata Jamil tunadaksa.
Jamil terus berlalu turun dari bus kemudian meraih kotak amplopnya. Sesuai pesan si ibu muda itu, ia harus pulang. Malam ini Jakarta begitu lengang. Halte semakin lengang. Orang-orang telah berangkat untuk menyambut hari kemenangan. Malam ini malam lebaran, Jakarta begitu murah hati. Hati Jamil bersorak riang. Langkahnya terasa ringan menuju toko kebaya.
Cimahi, 06 Juli 2016
*Pengelola warung nasi, penjual buku bekas, dan penulis artikel. Pernah juga menulis buku kumpulan puisi Aku Harus Mencintaimu (2007) dan buku kumpulan cerpen Menunggu Malaikat (2015). Kini tengah merancang penulisan buku kumpulan cerpen bersama penulis tiga kota.