Kekerabatan Bahasa Aceh dan Bahasa Sunda
Oleh Dindin Samsudin*
Indonesia merupakan bangsa yang paling kaya akan bahasa. Hal ini dapat terjadi karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang letaknya tersebar antara 6 derajat LU—11 derajat LS dan 95 derajat BT—141 derajat BT. Kondisi geografis yang demikian itu memengaruhi keadaan penduduknya menjadi beraneka ragam, baik dari jenis suku bangsa, budaya, agama, maupun bahasa. Bahasa (daerah) yang ada pada satu provinsi mungkin memiliki perbedaan dengan provinsi lainnya. Bahkan, bahasa yang terdapat di satu wilayah dapat saja berbeda dengan wilayah lainnya walaupun masih dalam satu provinsi, seperti yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Walaupun demikian, di antara bahasa (daerah) tertentu terdapat juga beberapa kosakata yang memiliki unsur persamaan, baik dari segi makna maupun bentuk, misalnya antara bahasa Aceh dan bahasa Sunda. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengajak pembaca untuk mengamati “kekerabatan” antara bahasa Aceh dan bahasa Sunda.
Penulis sempat membuka kamus Aceh-Indonesia-Inggris: Kamuih Aceh Indonesia-Inggreh & English Indonesia-Achenese Dictionary yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000. Beberapa kosakata bahasa Aceh dalam kamus tersebut memiliki bentuk yang sama dengan bahasa Sunda. Bahkan, terdapat juga kosakata bahasa Aceh yang memiliki makna sama dengan bahasa Sunda. Selain itu, beberapa kosakata bahasa Aceh dan bahasa Sunda juga memiliki persamaan dalam bunyi fonem. Dalam bahasa Aceh dan bahasa Sunda terdapat fonem /eu/ yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia.
Jika kita perbandingkan secara linguistik, persamaan beberapa kosakata bahasa Aceh dan bahasa Sunda tersebut dikenal dengan istilah bersinonim dan berhomonim. Sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain. Sementara itu, homonim adalah kata yang sama lafal atau ejaannya, tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berlainan. Untuk mendeskripsikan kata yang bersinonim dan berhomonim, data kata yang akan diungkapkan dalam tulisan ini adalah kata dasar atau kata yang belum mendapat pengimbuhan, pengulangan, dan pemajemukan. Berikut ini data kesinoniman dan kehomoniman antara kosakata bahasa Aceh dan bahasa Sunda.
Kesinoniman antara kosakata bahasa Aceh dengan bahasa Sunda terdiri atas kata benda, kata kerja, kata penghubung, dan kata sifat.
- Kata benda adalah kata yang menyatakan benda seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, atau penyebutan nama suatu benda. Kata benda bahasa Aceh yang memiliki kesamaan bentuk dan makna (bersinonim) dengan bahasa Sunda adalah (1) bandera ‘bendera’; (2) baki ‘nampan’; (3) basa ’bahasa’; (4) cet ’cat’; (5) conto ’contoh’; (6) guha ’goa’; (7) jagong ’jagung’; (8) mantega ’mentega’; (9) ma ’ibu’. (10) babu ’pembantu’ (11) pilar ’tiang’; (13) pentilasi ’lubang hawa’; dan (14) papiliun ‘anjungan’.
- Kata kerja adalah kata yang menyatakan perbuatan, tindakan, atau gerakan. Beberapa kata kerja bahasa Aceh yang bersinonim dengan bahasa Sunda yaitu: (1) garo ’garuk’; (2) mabok ‘mabuk’; (3) meunang ’menang’; dan (4) sogok ’suap’.
- Kata penghubung adalah kata yang menghubungkan kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau kalimat dengan kalimat. Kata penghubung bahasa Aceh yang bersinonim dengan bahasa Sunda yaitu (1) atawa ’atau; dan (2) sabab ’sebab’.
- Kata sifat adalah kata yang menyatakan sifat atau keadaan suatu benda. Kata sifat dalam bahasa Aceh juga ada yang bersinonim dengan bahasa Sunda, yaitu (1) sangsara ’sengsara’ dan (2) butak ’botak’.
Selain memiliki persamaan bentuk dan makna (bersinonim), terdapat juga kosakata bahasa Aceh dan bahasa Sunda yang berhomonim atau memiliki persamaan bentuk tetapi berbeda maknanya. Kehomoniman antara kosakata bahasa Aceh dengan bahasa Sunda dapat dilihat dari data kata berikut. (1) Awak dalam bahasa Aceh berarti ‘orang’; dalam bahasa Sunda berarti ‘tubuh’. (2) Beukah dalam bahasa Aceh berarti ‘robek/pecah’; dalam bahasa Sunda berarti ‘mengembang’. (3) Aki dalam bahasa Aceh berarti ‘kaki’; dalam bahasa Sunda berarti ‘kakek’. (4) Kueh dalam bahasa Aceh berarti ‘gali/menggali’; dalam bahasa Sunda berarti ‘kue’ (5) Bako dalam bahasa Aceh berarti ‘sangat ahli’; dalam bahasa Sunda berarti ‘tembakau’. (6) Bibi dalam bahasa Aceh berarti ‘bibir’; dalam bahasa sunda berarti ‘adik perempuan dari orang tua kita’. (7) Cabok dalam bahasa Aceh berarti ‘borok’; dalam bahasa Sunda berarti ‘tampar’. (8) Cabak dalam bahasa Aceh berarti ‘lasak/agesif’; dalam bahasa Sunda berarti ‘raba’. (9) Lila dalam bahasa Aceh berarti ‘ungu (warna)’; dalam bahasa Sunda berati ‘lama’. (10) dan (11) Galak dalam bahasa Aceh berarti ‘suka’; dalam bahasa Sunda berarti ‘buas’.
Dari segi penulisan dan pengucapan sebuah kata, bahasa Aceh memiliki persamaan dengan bahasa Sunda, yaitu persamaan dalam bunyi vokal rangkap /eu/ yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Aceh misalnya terdapat kata kaleuh ‘sudah’, keude ‘warung’, aneuk ‘anak’, ceudah ‘pintar’, dan keueung ‘pedas’. Sementara itu, contoh vokal rangkap /eu/ dalam bahasa Sunda misalnya deuleu ‘lihat’, kadieu ‘kesini’, beungeut ’muka’, ceuli ‘telinga’, dan seungit ‘harum’.
Berdasarkan data tadi, jelas dapat dilihat bahwa beberapa kosa kata bahasa Aceh dan bahasa Sunda bersinonim, berhomonim, dan memiliki persamaan bunyi vokal rangkap /eu/. Penulis belum meneliti gejala tersebut apakah karena unsur kebetulan semata atau memang adanya hubungan kekerabatan yang sangat dekat antara bahasa Aceh dan bahasa Sunda. Namun, satu hal yang perlu diingat bahwa bahasa Aceh dan bahasa Sunda tergolong ke dalam rumpun bahasa austronesia. Bahasa Aceh dan bahasa Sunda termasuk dalam bagian bahasa-bahasa nusantara barat.
Walaupun beberapa kosakata bahasa Aceh dan bahasa Sunda memiliki persamaan, tetapi sistem pemakaiannya belum tentu sama karena setiap bahasa memiliki tatabahasa tersendiri. Satu hal yang penting yang patut kita banggakan adalah persamaan dan perbedaan bahasa daerah dapat memperkaya bahasa nasional. Selain itu, perbedaan bahasa antardaerah tidak akan menjadi sebuah masalah ketika berkomunikasi karena kita memiliki bahasa nasional dan bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.
*Penulis, Staf Teknis di Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, Pernah Tinggal di Banda Aceh.