Cerpen Naufal Muhammad*
“Aku sudah bersumpah atas nama Tuhan, aku tidak membunuh Iwan. Bahkan tanpa membawa nama Tuhan pun, aku memang bukan pembunuh anak itu, Yo.” Kata Gun kepadaku meyakinkan, muka dan badannya penuh luka dan lebam saat aku menjenguknya di penjara.
Kemarin, Iwan, anak tetangganya, bermain dengan Seno, anak Gun satu-satunya. Gun sudah terbiasa dengan kehadiran Iwan. Hampir setiap hari Iwan bermain dengan Seno di rumahnya. Hampir setiap hari pula Gun memberikan bakso gratis kepada Iwan. Gun tidak keberatan atas hal itu.
Iwan adalah teman sebangku Seno dari kelas satu SD sampai kelas enam SD sekarang. Namun, hari itu, Seno tiba-tiba memanggil Gun dengan berteriak dari kamarnya. Gun berlari ke kamar anaknya. Ia melihat Seno berdiri dengan tubuh yang gemetar dekat pintu. Semangkuk bakso Seno masih ada di tangannya. Sedangkan Iwan kejang-kejang di lantai. Kuah bakso dan pecahan mangkok tak jauh dari tubuh Iwan. Tubuh Iwan dingin. Matanya melotot ke langit-langit. Gun menghampiri Iwan. Gun menyandarkan badan Iwan ke pangkuannya, Saat itu, Iwan berhenti kejang-kejang. Iwan berhenti bernafas.
Keriuhan terjadi setelah diketahui Iwan meninggal di rumah Gun. Para pelanggan curiga bakso Gun tidak layak makan. Mereka protes dan tidak membayar bakso. Beberapa orang entah siapa berteriak bahwa bakso Gun menggunakan bahan yang tak layak makan untuk manusia.
“Bajingan! Daging tikus dijadikan adonan makanan!”
“Jangan-jangan dia juga menggunakan bahan kimia!”
“Pantas saja harga baksonya lebih murah! Dasar pembunuh!”
“Hajaaar!”
Gun yang mencoba menjelaskan saat itu, tak bisa apa-apa. Ia dikeroyok orang-orang. Darah mengucur dari kepala dan muka Gun. Untung masih ada warga yang bisa menenangkan keadaan, lalu membawa Gun ke kantor polisi. Kini, Gun menjadi tahanan sementara.
“Dari ceritamu itu, Gun, apa betul kamu tidak menggunakan bahan yang macam-macam?” Tanyaku.
“Hmm… tidak.” Kata Gun, tapi ia menjawab dengan ragu-ragu.
Aku menatapnya lebih tajam. Badanku kucondongkan lebih dekat kepada Gun. “Kita sudah berteman lama, Gun. Jawablah yang jujur. Waktu kita hanya sebentar untuk bicara.”
Gun memainkan jari-jari tangannya di meja. Matanya menunduk.
“Gun?”
“Baiklah, Yo,” Gun menarik nafas panjang, ia berkata pelan, “Aku pernah mencampurkan daging sapi dengan ‘daging KW’, tapi itu dulu. Dulu! Sungguh. Setelah itu, aku bermimpi anak istriku mati karena memakan bakso berdaging KW itu. Dari sana aku tidak menggunakannya lagi. Aku terhimpit saat itu. Persaingan semakin berat. Harga bahan semakin tak karuan. Tapi sungguh, itu terjadi dulu. Untuk kematian Iwan, aku tidak yakin karena ‘daging KW’ itu.”
Gun menangis. Aku menarik nafas panjang, tak percaya Gun pernah melakukan itu.
Penjaga mengingatkan waktu kunjunganku habis. Aku coba menenangkan Gun, “Anak dan istrimu dalam keadaan baik. Mereka bisa tinggal di rumahku sampai kasus ini selesai.”
Gun memelukku dan mengucapkan terima kasih.
“Kau percaya padaku, kan? Aku bukan pembunuh anak itu.” Gun meyakinkanku lagi.
Aku kembali mengangguk sambil menepuk bahunya.
Soal Seno, Aku tidak jujur sepenuhnya kepada Gun. Sebetulnya, Seno semenjak kematian Iwan, tidak mau bicara apapun terkait kasus itu. Anak itu terlihat tidak tenang dan tidak bisa jauh dari ibunya. Pernah aku bertanya sesekali apa yang dilakukan Iwan dan Seno sebelum pindah ke kamar untuk melanjutkan makan bakso. Seno tidak menjawab. Ia hanya bisa menangis dan menempelkan mukanya ke badan ibunya.
*
“Jika kamu menceritakan kisah ini kepada orang lain, salah seorang di antara kita akan celaka!” Kata Iwan sebelum memulai ceritanya siang itu. Kata-kata itu selalu menggangguku saat ada yang menanyakan, apa yang aku lakukan sebelum Iwan mati di kamarku. Termasuk Om Yoyo yang sering bertanya begitu.
Aku mengiyakan saat Iwan berkata begitu, lalu Iwan memulai ceritanya.
“Kemarin di rumah kosong gang W, saat aku pulang dari sini, aku mendengar batu kecil yang dilempar ke kaca rumah itu dari dalam. Kamu tahu kan, rumah kosong itu? Genting rumah itu sudah bolong-bolong, dindingnya sudah kotor, dan kacanya sudah pada pecah? Tapi karena penasaran dan masih siang, aku buka gerbang rumah yang tidak dikunci itu, lalu masuk ke dalam lewat jendela yang pecah. Kamu tahu apa yang aku lihat?”
Aku menggelengkan kepala.
“Ternyata di sana ada pintu putih dengan tulisan berwarna merah darah ‘JANGAN BUKA PINTU INI!’. Aku berjalan pelan-pelan ke pintu itu, tapi saat aku memegang gagang pintu, ada suara seperti barang yang jatuh dari dalam kamar itu. Aku lalu lari ke luar. Pulang ke rumah. Aku tidak bisa teriak saat itu.”
“Lalu?”
“Saat tidur aku bermimpi berada di rumah kosong itu, lalu aku menuju pintu putih dan membukanya. Ruangannya gelap. Hanya ada satu lampu di ujung ruangan. Di sana ada seseorang berbadan besar dengan jubah hitam. Tiba-tiba saja dia ada di depanku dan bilang, ‘Kenapa kamu membuka pintu terlarang ini? Jika kamu masuk, kamu tidak akan bisa kembali lagi’. Aku takut. Lalu aku berbalik, dan pintu putih itu sudah tidak ada. Aku berbalik lagi, tidak ada siapa-siapa, kecuali pintu rumahmu. Aku membukanya. Di dalamnya ada kamu yang berdiri sendirian. Lalu, terdengar suara tak tahu dari mana, ‘Kalian jangan ceritakan hal ini kepada orang lain, atau salah satu dari kalian akan celaka!’ Kemudian aku terbangun. Aku berkeringat.”
Iwan lalu melihat ke pintu rumah yang ada di belakangku dengan terbelalak. Di sana ada bapakku yang sedang berdiri membawa dua mangkuk bakso. Tatapan bapakku ganjil. Aku takut diam-diam bapak mendengarkan cerita itu. Bapak lalu menyimpan bakso itu di meja untukku dan Iwan, kemudian kembali lagi ke kursi dagangnya. Bapak terlihat dingin, tak seperti biasanya.
Aku bilang ke Iwan kalau aku mau minum dulu di dapur, kemudian kembali ke ruang depan, lalu mengajak Iwan untuk makan di kamarku.
Iwan ternyata ingin minum juga. Aku menyuruhnya mengambil minum sendiri saja di dapur. Setelah itu, aku dan Iwan menuju kamar, tapi Iwan tiba-tiba jatuh dan kejang-kejang. Aku berteriak memanggil bapak. Bapak datang. Bapak mencoba memangku Iwan, tapi Iwan sudah tidak bangun lagi. Bapak lalu menatapku dan aku tidak bisa menjelaskan tatapan matanya.
Setelah itu orang-orang ribut di luar. Mereka menuduh bapakku menjual bakso yang dicampur daging tikus dan bahan kimia. Mereka juga bilang bapakku pembunuh. Lalu bapak dipukuli orang-orang. Aku tidak tahu harus apa. Aku hanya dipeluk Ibu. Aku hanya bisa menangis. Ibu juga menangis sambil berteriak memanggil bapak.
Aku tidak ingin menceritakan cerita Iwan kepada siapapun lagi. Aku sudah berjanji. Cerita itu telah membunuh Iwan dan memenjarakan Bapakku.
*
Sebelum seorang tukang bakso dikeroyok dan sebelum seorang anak kecil mati di rumah tukang bakso itu, anak kecil itu merasa haus. Ia berjalan menuju dapur tukang bakso. Ia mengambil teko, tetapi teko itu sudah kosong. Ia lalu mencari teko lain, tapi yang ia temukan hanya setengah air dalam botol mineral tak bermerk dekat tempat sampah. Ia lalu meminumnya sampai habis. Botolnya ia buang ke tempat sampah. Ia tidak tahu, setengah botol yang ia minum bukanlah air mineral, tetapi air akumulator.
25 Maret 2017
Naufal Muhammad, lahir di Bandung, 27 April. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI, bergiat di ASAS UPI dan Saung Sastra Lembang.