KERAMAT

Oleh Ismail Kusmayadi

Seseorang  masih duduk di sana. Menabur kembang setaman dan mengucapkan doa-doa atau entahlah, sebab suara yang terdengar tidak begitu jelas. Lebih tepatnya semacam gumaman. Tapi, memang terlihat orang itu begitu khusyuk. Sesekali kerut di ujung matanya menebal karena orang itu memejamkan matanya kuat-kuat. Lama-kelamaan tubuhnya agak bergoyang ke kiri dan ke kanan. Orang itu bersujud hampir dua menit lamanya. Kemudian, bangkit meninggalkan makam keramat yang panjangnya 12 meter.

Jika Tuan ingin juga memohon berkah seperti orang itu, mudah saja. Ikutilah petunjuk yang dipasang di pintu masuk makam keramat ini. Supaya Tuan tidak bolak-balik keluar area makam, lebih baik Tuan beli dulu bunga rampai dan air putih di sini. Sebab, di dalam area makam tidak boleh ada yang berjualan. Banyak juga yang belum tahu. Mereka harus balik lagi ke luar area makam karena dalam persyaratan yang tertera di pintu masuk makam, setiap pengunjung diharuskan membawa bunga rampai dan sebotol air putih. Tapi kalau Tuan tidak percaya, silakan Tuan masuk dulu ke dalam area makam.

Entah sejak kapan makam yang panjangnya 12 meter itu dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Banyak yang bertanya-tanya mengenai panjang makam yang tak wajar itu. Kalau diukur dari batu nisan ke batu nisan memang panjangnya 12 meter. Masyarakat percaya bahwa yang dimakamkan di situ pastilah orang yang sangat istimewa. Meskipun pada awal ditemukannya makam itu masih dalam bentuk yang biasa saja: dua buah batu agak besar menjadi penanda dan batu-batu kali disusun berjajar mengelilingi sisi makam itu. Tak ada catatan apapun dalam batu nisan yang sepertinya batu diambil dari kali yang ada di bagian timur makam itu.

Saking banyaknya orang yang berkunjung dan bertanya-tanya penasaran mengenai siapa orang yang dimakamkan di makam yang panjangnya 12 meter itu, seorang tokoh masyarakat di sana berinisiatif memberi identitas makam. Menurutnya, berdasarkan catatan sejarah yang dia buat sendiri, makam itu adalah makam Mbah Brojong. Masih menurutnya lagi, Mbah Brojong adalah tetua di kampung itu yang hidup pada masa Kerajaan Pajajaran. Mbah Brojong dikenal sakti mandraguna, seorang yang taat beragama, dan memiliki pengaruh yang sangat besar di daerah itu. Mbah Brojong juga dipercaya sebagai pemilik wilayah desa ini. Bahkan bukit yang di sebelah timur dan hutan kecil yang sehamparan dengan area persawahan dianggap juga milik Mbah Brojong. Namun, wilayah itu itu kini dikelola pihak desa, menjadi aset desa. Sebab sampai saat ini, tidak ditemukan mengenai catatan ahli waris Mbah Brojong.

Tanpa dikomando berita mengenai makam keramat Mbah Brojong itu cepat menyebar. Bahkan pengaruhnya masih kuat sampai sekarang. Banyak orang yang datang untuk berziarah ke makam Mbah Brojong. Namun, bukan berziarah sebagaimana yang disyariatkan dalam Islam, melainkan dijadikan tempat untuk meminta berbagai keinginan. Banyak orang yang berziarah berjam-jam hanya untuk minta jodoh, ingin kaya, atau minta agar tenteram dalam rumah tangga. Ada juga pengusaha yang datang meminta agar usahanya makin sukses. Lain lagi dengan para caleg dari partai politik. Mereka beramai-ramai memohon agar dapat terpilih.

Nama Mbah Brojong pun semakin melekat pada makam yang panjangnya 12 meter itu setelah aparat desa setempat memasang plang nama area makam yang dikeramatkan itu. Tanpa banyak bertanya atau mengecek kebenaran sejarahnya, aparat desa memasang plang nama makam dengan sangat meyakinkan: MAKAM KERAMAT MBAH BROJONG.

***

Kepala Desa Kaliurip bukan tanpa alasan memasang plang itu. Meskipun sempat ditentang oleh tokoh agama, tetapi cara itulah jalan terbaik agar warga Desa Kaliurip dan masyarakat luar desa untuk menjaga jarak dengan tempat itu. Kata “keramat” memberikan ruh tersendiri pada tempat itu sehingga orang tidak berani macam-macam. Tempat keramat dianggap memiliki tuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada siapa saja yang datang. Tempat keramat juga seringkali dianggap tempat suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia, hal-hal gaib dan metafisis.

“Sebetulnya sejak kapan sih makam ini ada?” Tanya asisten kuncen sambil menggosok lantai yang kotor karena cipratan tanah bekas hujan. Asisten kuncen ini baru sebulan diperbantukan di area permakaman karena tugas kuncen semakin hari semakin berat. Terlebih lagi Ki Santana sebagai kuncen sudah mulai uzur. Seuzur itu pun Ki Santana tidak bisa menjelaskan kapan makam keramat itu ada.

“Sssstttt, jangan banyak tanya!” jawab Ki Santana singkat.

“Tapi, Ki…”

“Ssstttttt, diam kalau tidak mau kualat!”

“Iya, iya, ….maaf, Ki!”

Dengan perasaan dongkol asisten kuncen ini menggosok lantai dengan penuh tenaga. Beberapa peziarah yang belum puas duduk seharian di situ masih mematung. Mereka tidak terpengaruh dengan keadaan di sekitar.

“Ki, kalau saya tidak boleh tanya tentang makam ini, boleh saya tanya yang lain?” sepertinya asisten kuncen ini ingin mengetahui benar tempat keramat ini.

“Hmmmm ….,” isyarat itu menandakan ‘boleh’.

Maka meluncurlah beberapa pertanyaan yang membuat Ki Santana malah malas menjawabnya.

“Jadi, mana dulu yang harus kujawab?”

“Oh, ya, euuu…, maaf Ki kalau terlalu banyak hehehehe…. Itu Ki, tentang pohon bambu yang merimbun di sekeliling makam, apakah sudah ada sebelum makam Mbah Brojong atau ditanam bersamaan dengan dimakamkannya Mbah Brojong, atau justru tumbuh setelah ada makam Mbah Brojong?” tatapannya penuh harap.

“Pertanyaan yang ndak penting?” Ki Santana hendak beranjak meninggalkan asistennya yang masih berusia 20-an.

“Ki, bagi saya sangat penting?”

“Mengapa?”

“Karena saya melihat rimbunan pohon bambu ini agak berbeda. Sepertinya sudah sangat tua. Bahkan jajaran pohon bambu ini memanjang sampai ke bukit di sebelah timur. Saya justru lebih sering mengamati eksotisnya batang-batang bambu ini tinimbang makamnya.” Lantai yang tadi di gosoknya sudah terlihat bersih.

“Lalu?”

“Itulah yang ingin saya tanyakan, apakah betul jajaran bambu ini sudah ada sebelum makam ini?”

Ki Santana diam beberapa saat. Dia berusaha tidak gusar dengan pertanyaan asistennya itu. Diambilnya sejumput tembakau untuk dia letakkan pada daun kawung kering yang biasa dipakai untuk merokok. Ki Santana melintingnya dengan rapi. Tangannya begitu terampil memilin daun kawung itu sehingga menjadi sebatang rokok lintingan. Ki Santana mengambil korek api dan menyalakan rokok lintingan itu. Asisten kuncen masih menunggu Ki Santana berbicara. Dia masih memegang sikat lantai, tetapi tidak menggosok lantai lagi. Orang-orang yang masih ada di tempat itu tidak lagi menjadi perhatian mereka berdua.

Kepulan asap keluar dari mulut Ki Santana yang sudah keriput. Asisten kuncen tetap menunggu Ki Santana berbicara. Sudah tiga kali isapan dan tiga kali mulut keriput Ki Santana mengepulkan asap bergumpal-gumpal. Namun, Ki Santana belum juga bicara.Asisten kuncen tetap menunggu.

***

Pagi ini tidak seperti biasanya. Sinar matahari cepat merambat di sela-sela pohon bambu yang berderet-deret. Suara derit yang muncul karena gesekan batang bambu terdengar lebih sering dan nyaring. Angin pagi ini begitu kencang. Daun-daun bambu yang sudah menguning deras berjatuhan. Tentu ini masalah bagi asisten kuncen karena harus kerja ekstra untuk membersikan daun-daun dan ranting bambu tersebut.

Apa yang diduga asisten kuncen ternyata benar. Setelah angin mulai reda, dia harus menerima kenyataan keadaan makam keramat yang penuh dengan daun bambu. Dia harus segera membersihkan tempat itu sebelum Ki Santana datang, sebelum para peziarah datang. Dengan sigap, asisten kuncen mulai menyapu daun-daun itu.

Ada hal yang masih mengganjal dalam benak asisten kuncen—yang sampai saat ini belum bisa disebutkan namanya. Pertanyaan yang diajukan kepada Ki Santana belum terjawab. Kemarin sore, Ki Santana tidak memberikan jawaban meskipun sudah habis dua linting rokok. Ki Santana malah menyuruh asisten kuncen untuk tidak bertanya lagi tentang apapun yang berkaitan dengan makam keramat dan hal-hal yang ada di lingkungan makam keramat. Yang perlu diketahui oleh asisten kuncen, juga masyarakat umum, adalah di situ ada makam Mbah Brojong yang panjangnya 12 meter, titik. Itu saja.

Sikap yang ditunjukkan Ki Santana justru semakin membuat si asisten kuncen semakin penasaran. Tampaknya seperti ada hal yang memang disengaja untuk disembunyikan. Jika selama ini warga Desa Kaliurip dan warga pendatang dari berbagai daerah hanya tertuju pada keramatnya makam Mbah Brojong, maka tidak dengan asisten kuncen. Dia justru lebih menikmati sepoi angin di bawah pohon bambu yang rindang. Derit batang bambu yang berirama, serta teduhnya area makam sampai ke bukit yang ada di sebelah timur.

Jika warga merasakan suasana yang nyaman, tenteram, dan damai di makam Mbah Brojong, menurut si asisten kuncen, sebetulnya bukan karena keramatnya makam itu, tetapi karena pohon bambu yang berderet-deret ini.

Ada satu tempat lagi yang sangat nyaman yang tidak banyak diketahui warga. Di balik rimbunan bambu sekitar 300 meter ke arah bukit sebetulnya di sana aliran sungai dengan lebar sekitar 6 meter. Sungai itu dipenuhi bebatuan yang besar. Airnya sangat jernih dan dingin. Sepertinya sungai itu mengalir dari bukit atau gunung yang memang ada di sana. Asisten kuncen seringkali menghabiskan waktu di atas batu-batu besar di sungai itu. Gemericik air begitu menenteramkan jiwa. Meskipun sudah banyak tahu tentang sebab kenyamanan di makam Mbah Brojong, asisten kuncen tetap saja masih menyimpan tanya yang belum juga terjawab. Apakah rimbun bambu dan keindahan bukit itu sudah ada sebelum makam Mbah Brojong? Ki Santana belum juga bersedia memberi jawaban.

***

Ki Santana terlihat gelisah, tidak seperti biasanya. Asisten kuncen tentu sangat tahu perubahan yang terjadi pada diri Ki Santana. Selain napasnya menderu, tangannya terlihat gemetar saat menjepit rokok linting yang biasa dia isap.

“Ki, apakah Aki baik-baik saja?” tanya asisten kuncen.

Ki Santana terlihat kaget ketika asistennya menyapa. Kegelisahannya tidak bisa sembunyikan. Ki Santana hanya menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan asistennya.

“Tapi, kelihatannya Aki gelisah sekali. Ada apa, Ki?”

Ki Santana kembali menggelengkan kepala. Mulutnya seakan terkunci, begitu berat untuk berbicara. Dadanya terasa nyeri seolah ditonjok dari belakang. Asisten kuncen tidak percaya begitu saja kalau Ki Santana baik-baik saja.

“Ada yang mengganggu pikiran, Ki?” Asisten kuncen duduk di samping Ki Santana. Mengusap-usap punggungnya yang sudah bungkuk. Ki Santana terlihat ringkih dan wajahnya begitu gelisah. Dia menatap asistennya dengan tatapan nanar. Bibirnya bergetar, tapi bukan hendak bicara. Kemudian, pandangannya beralih pada rimbun bambu dan bukit hijau yang ada di timur makam. Rasa cemas menyeruak, Ki Santana berkata-kata pelan, “Suatu hari nanti, bukit itu mungkin tak akan ada lagi.” Tangannya menggenggam erat tangan asisten kuncen. Asisten kuncen merasakan ada rasa yang begitu dalam, mengetuk relung kalbu, meresap pada aliran darah menuju jantung dan otak. Asisten kuncen itu tak kuasa menahan tangis.

***

“Tuan, saya masih merasakan genggaman tangan Ki Santana di tempat ini. Jika Tuan dulu pernah datang ke tempat ini, Tuan akan merasakan hal yang berbeda,” tutur seorang pemuda bernama Maulana, yang dulu menjadi asisten kuncen Ki Santana.

“Tuan, makam itu memang sebetulnya tidak ada seperti yang Tuan katakan kepada warga saat itu. Saya sudah tahu sejak saya menjadi asisten kuncen di sini. Makam yang disebut makam Mbah Brojong yang panjangnya 12 meter itu memang tidak ada apa-apa di dalamnya. Adapun masyarakat meyakini tuah di makam ini bukanlah kesalahan Ki Santana. Dia hanya kehabisan cara untuk menyelamatkan rimbun pohon dan hijau bukit di sana.”

Lelaki paruh baya dengan topi pet warna abu-abu yang berdiri di samping Maulana menghela napas panjang.

“Tuan, setelah 10 tahun saya meninggalkan tempat ini, tentu saya kecewa. Sebab yang kudapati apa yang Tuan bangun di sini. Tempat ini tidak lagi keramat. Tempat ini tak lagi dianggap suci. Maka lihatlah, pohon bambu yang dulu selalu berderit dan daunnya menebarkan segar udara, sudah tidak ada. Saya pun tak bisa lagi berbuat apa-apa.”

Lelaki paruh baya dengan topi pet warna abu-abu itu berdiri mematung. Dari kakinya muncul ratusan akar yang menusuk dan mencengkeram tanah. Jari-jarinya perlahan memanjang serupa ranting dan dahan. Rambunya berubah menjadi daun-daun hitam yang pada batang daunnya tumbuh duri. Sedang kepalanya merekah serupa mekar bunga mawar. Bunga itu menebarkan bau yang sangat busuk.***

Kota Kelahiran, 10 Februari 2016

Pkl. 00.27 WIB

 

BIODATA PENGARANG

 

SAMSUNG CAMERA PICTURES

Ismail Kusmayadi, S.Pd., lahir di Bandung pada 3 Mei 1976. Setelah lulus SMA, ia meneruskan menggali ilmu di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pen­didikan Indonesia (UPI) dan lulus pada 2001. Pernah bekerja sebagai editor bahasa di sebuah penerbitan buku di Bandung. Sekarang, ia mengajar di SMA Negeri 1 Banjaran Kab.Bandung sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia dan menjadi pembimbing Pers Sekolah untuk penerbitan buletin sekolah. Sudah sekitar 40 puluhan judul buku diterbitkan, terutama untuk keperluan perpustakaan daerah.

Alamat domisili: Kp. Ciapus RT 01 RW 06 No. 74 Ds. Ciapus Kec. Banjaran Kab. Bandung Jawa Barat 40377. Nomor kontak yang dapat dihubungi: 085722472652, e-mail: ismailkusmayadi@yahoo.com.

Bagikan ke:

Postingan Terkait