Kompleksitas Nilai Budaya dan Media dalam Masyarakat Kontemporer
Berbeda dengan kehidupan masyarakat tradisional pada masa lalu yang serbaalami, saling tatap muka, dan tepo seliro, kehidupan pada masyarakat kontemporer sangat kompleks. Kehidupan yang cenderung individualistis dan terkotak-kotakkan memunculkan pola kehidupan tersendiri. Terlebih pascakelahiran teknologi dan media sosial dalam dunia maya yang semakin canggih, cukup memanjakan masyarakat kontemporer dengan berbagai fitur yang tersedia. Akibatnya, pola hidup individu menjadi terkoneksi dengan indvidu lain, teknologi kita terkoneksi dengan teknologi negara lain, budaya kita terkoneksi pula dengan budaya lain. Tidak mengherankan pula jika konsep global merebak di berbagai wajah bumi dengan kecepatan yang tidak terukur. Perubahan karakter masyarakat pun tidak terlelakkan. Terkadang, seorang individu dengan lingkungan sekitarnya tidak akrab, tetapi dengan lingkungan yang jauh justru sangat dekat. Masalah orang lain, dengan cepat dapat diketahui oleh orang sekitar. Gosip dan isu tidak lagi dipertimbangkan dengan cermat. Masyarakat cenderung bersikap ramah terdapat segala berbau daring (online). Dapur privasi kini hampir tidak ada lagi. Setiap orang dapat mengakses kehidupan individu lain dengan mudah. Hal itu mengemuka dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh Keminfo Provinsi Jawa Barat bekerja sama dengan Program Pascasarjana UNPAS dan Monumen Pers Nasional, 27 September 2016 di Hotel Naripan, Bandung.
Seminar yang bertemakan “Nilai-Nilai Budaya dan Media dalam Masyarakat Kontemporer” tersebut diselenggarakan untuk memperbincangkan isu-isu kultural dalam dunia media, baik cetak maupun elektronik, yang hadir di tengah masyarakat masa kini. Tiga pakar komunikasi dihadirkan dalam seminar tersebut, antara lain, Prof. Dr. Henry Subiakto selaku Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informasi serta guru besar komunikasi di Universitas Airlangga; Dr. Idi Subandy Ibrahim selaku pakar komunikasi, dan Muhammad Ridlo Eisy selaku wartawan senior, anggota Dewan Redaksi Pikiran Rakyat, dan Dewan Pers periode 2010—2016. Subiakto tampil sebagai pembicara pertama dengan menampilkan tema “Nilai-Nilai Budaya Media di Tengah Komodifikasi Informasi”. Ia mengmgungkapkan bahwa media memiliki 3 wajah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu media sebagai institusi bisnis, sosial, dan politik. Sebagai institusi bisnis, media memerlukan tempat di kota besar, kemampuan menjual audiens, rating, budaya komersial, pertumbuhan yang jelas, integrasi, dan globalisme. Sebagai institusi sosial, media harus memiliki kemampuan sebagai agen sosial, mampu merepresentasikan situasi massa, dan perangkat sosial untuk pengawasan massa. Sebagai institusi politik, media harus memiliki power, agenda politis, alat sebagai ekonomi politis, serta kecenderungan untuk mengkorupsi pemikiran massa.
Berbeda dengan kedua pembicara lain yang merupakan praktisi langsung dalam bidang komunikasi, Ibrahim memaparkan nilai budaya dalam media tersebut dari sudut pandang seorang peneliti. Pengajar di bidang komunikasi yang sudah melahirkan beberapa karya berupa buku, antara lain, Budaya Populer Sebagai Komunikasi, Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, dan Komunikasi dan Komodifikasi: Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi tersebut menyampaikan bahwa media merupakan dua sisi mata uang. Ia mengutarakan pendapat Kellner bahwa pada satu sisi, media merupakan pendukung bangunan struktur dalam kehidupan manusia sehari-hari dalam bentuk citra, bunyi dan tontonan. Namun, pada sisi yang lain, media juga merupakan medan yang dipertentangkan melalui pertentangan berbagai kelompok sosial dan ideologi dengan merebut kursi dominasi pengaruh dalam masyarakat. Media hadir sebagai bentuk keinginan untuk maju di kalangan para cendekiawan. Media pula yang mampu mempengaruhi massa untuk turut berpikir dan bersikap terbuka, seperti yang dilakukan oleh para selebritis. Namun, kerapkali terjadi ketidaktuntasan sebuah persoalan dengan bermunculannya serangkaian masalah baru. Menurut Ibrahim, hal itu membatasi kemampuan media dalam mengembangkan dan memperdalam persoalan-persoalan khusus yang bisa jadi amat penting bagi publik. Terlebih lagi, tradisi berdiskusi dan berwawasan luas yang masih kurang di kalangan masyarakat, menyebabkan keterkungkungan media sebagai pengembang budaya-budaya yang tidak rasional, mendukung propaganda, menyebarkan takhayul dan klenik, pengembang pers seksual, KDRT, dan gosip, serta hal-hal yang bertentangan budaya media rasional untuk mendukung masyarakat yang demokratis.
Sementara itu, praktisi jurnalistik senior, Muhammad Ridlo Eisy mengusung tema membangun budaya tabayyun dalam menghadapi budaya media dan banjir informasi. Media merupakan sarana untuk menyampaikan berbagai informasi kepada masyarakat. Untuk itu, awak media harus menyampaikan berita yang baik dan benar. Sikap masyarakat yang cenderung mudah terpengaruh oleh berbagai pemberitaan perlu didoping dengan hal-hal yang benar. Empat pasal dalam Kode Etik Jurnalistik menekankan bahwa wartawan Indonesia harus menyampaikan informasi dengan sebenar-benarnya, tidak menyalahgunakan profesi, dan tidak menerima suap. Salah satu pasal lain dalam UUD 1945 pasal 28F menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, memiliki, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”, kerapkali dijadikan sebagai ayat suci bagi para awak media untuk mengembangkan profesi mereka.
Kehadiran internet, media daring, atau media sosial menyebabkan tekanan penyampaian informasi yang cukup tinggi, bahkan hampir tidak terkendali. Eisy mengatakan bahwa saat ini sudah terjadi musibah banjir informasi. Easy menganalogikan hal itu dengan kata banjir karena lebih banyak sampah yang tersampaikan kepada masyarakat daripada kebenaran berita atau informasi tersebut. Terlebih budaya akademis massa yang kurang mendukung, masyarakat cenderung mudah menerima bawaan dari banjir tersebut. Banjir informasi tersebut memiliki serangkaian dampak lain, di antaranya, runtuhnya dunia periklanan di media cetak maupun elektronik pascakemunculan media online, media lambat laun bersikap mengalah pada pihak pengiklan, media menjadi penghubung pemerintah melalui kontrak advertorial sehingga tidak dapat mengkritik media, keberpihakan media pada kebijakan pemerintah terutama terkait dalam urusan politik, media menjadi sarana pemicu konflik, termasuk menyebar fakta palsu seseorang.
Oleh karena itu, menurut Eisy, sebagai kiat dalam penanggulangan banjir informasi tersebut, masyarakat perlu menanamkan budaya tabayyun (kritis dan tidak ragu untuk mencari kebenaran akan sesuatu hal) dalam menghadapi serangan banjir tersebut. Aplikasi budaya tabayyun tersebut dapat dilakukan dengan bersikap skeptis jika mendapatkan informasi dari berbagai media apa pun, bersikap kritis terhadap berbagai pemberitaan, memilah dan memilih mana infomasi yang benar, serta tidak ragu untuk melakukan pengecekkan ulang pada berbagai situs atau laman terpercaya, misalnya memastikan bahwa media cetak dan media daring tersebut sudah terdaftar di Dewan Pers (media mainstream), pastikan alamat media di dunia nyata dan siapa nama penanggungjawabnya.
Sesi penyampaian paparan tentang isu-isu mutakhir dalam dunia komunikasi terkait dengan nilai budaya dalam media yang dihubungkan dengan kondisi masyarakat kontemporer sangat menarik. Diskusi berupa tanya jawab antara peserta dan narasumber berlangsung sangat ramai. Animo para peserta yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa program pascasarjana UNPAS, beberapa perguruan tinggi di Bandung, dan staf Keminfo Provinsi Jawa Barat tersebut cukup besar. Sayang, waktu yang disediakan oleh panitia untuk sesi tanya jawab sangat terbatas. Seminar berakhir dengan acara ramah tamah dan makan siang bersama. (RESTI NURFAIDAH)