Oleh Nia Kurnia
Sarniti itulah namanya. Usianya baru enam puluh enam tahun. Mukanya terlihat lebih tua daripada usianya. Kesedihan selalu terpancar di wajahnya. Ia selalu menangis bila berpapasan dengan orang yang melewatinya. Ia akan selalu berkata hal yang sama, “Mama, mau ke mana?” dengan muka memelas. Ia selalu mengikuti orang yang ia tanya itu. Pernah suatu ketika, ia berpapasan denganku saat akan berangkat kerja. Tanpa aku sadari ia telah berada di dalam angkot yang aku tumpangi.
“Ma, mau ke mana? Jangan ikut, saya mau kerja. Ma pulang ya, nanti dicari anak Ema.” Dengan muka memelas Ma Sarniti turun. Setelah itu, aku tidak tahu apakah ia pulang ke rumahnya atau tidak.
Telah berkali-kali Ma Sarniti dikabarkan menghilang. Telah berkali-kali pula warga sekampung ikut mencari. Malahan masih ada sebagian warga yang sengaja memasang mata mereka lebih tajam, ketika pergi ke luar rumah. Ya, barangkali bisa menemukan Ma Sarniti di antara orang-orang yang berjalan di sepanjang jalan yang dilalui. Tanpa sengaja, Mang Kardi telah menemukan Ma Sarniti di sebuah stasiun kereta api.
Mata Ma Sarniti kosong, menerawang penuh kesedihan. Tubuhnya semakin terlihat kurus dan kotor. Dua anak perempuannya semakin tidak peduli lagi. Kesulitan ekonomi telah melupakan mereka akan kesedihan Ma Sarniti yang telah kehilangan kedua anak lelakinya dan suaminya.
Lima puluh tahun yang lalu, Ma Sarniti tidak seperti itu. Ia adalah gadis Kuningan periang yang mengadu nasib ke Jakarta. Tuhan telah mempertemukan dia dengan seorang duda, seorang prajurit Empat Lima yang bernama Iding Sudarma. Empat keturunan telah terlahir dari rahimnya, dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.
Anak laki-laki Ma Sarniti yang kedua, kata orang pernah digigit anjing gila. Dia hanya diobati sekedarnya. Selentingan orang kampung mengatakan, Odas gila karena terkena rabies. Orang-orang kampung akan ketakutan jika Odas mengamuk. Ia sering dikurung di kamar, bahkan pernah menempati rumah sakit jiwa. Ia pernah dinyatakan sembuh, tetapi kambuh lagi.
Ma Sarniti tetap tabah. Ia akan membela Odas ketika Iding memukul Odas yang mengamuk.Tidak jarang masalah Odas memicu pertengkaran antara Ma Sarniti dengan Iding.
Odas pernah beberapa kali menghilang. Ma Sarniti kebingungan dan berdoa kepada Tuhan supaya Odas dikembalikan. Beberapa kali Odas hilang. Beberapa kali juga Odas bisa pulang. Sampai suatu saat di akhir 2007, Odas menghilang dan sampai kini tidak kunjung pulang.
Kesedihan mulai bergelayut di mata hati Ma Sarniti hingga kesedihan itu bertambah kembali di tahun 2010. Anak laki-laki Ma Sarniti yang pertama pun kembali tiada. Anak-anak laki-lakinya yang mengerti, memahami, dan melindungi dirinya pun harus kembali kepada Ilahi. Omar terjatuh dari lantai dua ketika bekerja sebagai tukang bangunan di sebuah rumah tingkat tiga. Omar terjatuh ke dalam kolam renang yang baru selesai dan belum diisi air. Maklumlah Omar bekerja tak berpelindung layaknya tukang bangunan profesional. Benturan di kepala dan patah tulang, membuat Omar tidak bertahan lama di sebuah ruang gawat darurat sebuah rumah sakit.
Kematian Omar menambah dalam kesedihan Ma Sarniti. Lamunannya semakin jauh menerawang. Ia menangis sejadi-jadinya, begitu pula Iding. Bagi Ma Sarniti, Omar adalah anak yang baik dan hormat kepada kedua orang tuanya. Bagi Ma Sarniti, Odas dan Omar adalah anak laki-laki yang ia cintai. Ia tak pernah membeda-bedakan antara keduanya, berbeda dengan Iding yang lebih perhatian terhadap Omar dibandingkan kepada Odas.
Di tahun 2011, Iding, suami Ma Sarniti dipanggil Tuhan. Habislah sudah tiga orang laki-laki yang ada dalam hidupnya. Ma Sarniti menjadi bingung dan linglung. Kesedihan bertambah berat lagi dalam hidupnya. Ia semakin tidak sadar diri. Ia bisa kencing dan berak di mana saja. Beberapa tetangga masih ada yang peduli. Masih saja ada tetangga yang mau mencukur kuku tangan dan kaki serta memandikan Ma Sarniti yang mulai berdaki karena berhari-hari tidak mandi.
Ma Sarniti kini hanya bisa kembali pada masa kanak-kanaknya. Ia akan selalu menangis dan menangis lagi. Ia akan selalu bertanya kepada orang yang lewat dan akan pergi ke suatu tempat. “Ma, mau ke mana?” dengan wajah memelas dan air mata yang deras.
Ma Sarniti akan selalu bertanya kepada setiap orang yang lewat. Ia pun ingin pergi karena tiga orang laki-laki dalam hidupnya telah pergi jauh ke suatu tempat. Ma Sarniti semakin asyik dengan dunianya. Tubuhnya semakin kurus, dekil, dan tergolek lemas di sudut sebuah kamar. Ma Sarniti sudah tidak mengenal lagi tetangganya. Matanya kosong dan omongannya ngawur.
Aku pernah menemuinya suatu saat. Ia sudah tidak mengenalku lagi. Aku pernah menyapa dan mengajaknya ngobrol, tetapi omongannya sudah tidak nyambung lagi. Rasa kasihan hanya menyelimutiku. Aku jadi teringat lagi kala Ma Sarniti masih ceria. Senang bernyanyi dan jago bersiul ketika di kampungku ada sebuah pementasan kesenian.
Sejak itu, aku tidak pernah menemui Ma Sarniti lagi. Kabar yang kudengar, Ma Sarniti semakin tak berdaya, semakin mengenaskan. Suatu sore, Ma Sarniti telah ditemukan terbujur kaku dan tidak bernyawa di sebuah kamar pengap mirip sebuah gudang.
Penulis adalah staf Balai Bahasa Jawa Barat, tinggal di Cidadap Girang Nomor 2, RT 05, RW 05, Kelurahan Ledeng, alumni pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI angkatan 1995.