Medan Kota Baliho

 Medan Kota Baliho

Ini tanah Melayu yang ramai akan etnis. Berbariskan suku Batak, Jawa, Padang, Tionghoa, sampai suku India, hidup berdampingan. Guru Patimpus Sembiring Pelawi lelaki yang lahir pada abad ke-16 merupakan pendiri kota yang menjadi gerbang Indonesia bagian barat ini. Medan, kota yang ramai dan ketiga terbesar di Indonesia.

“Ini kota yang ramai,” ujar Alansyah dalam puisinya. Inang-inang dipajak supir angkot dan calo berteriak, ludahnya bercampur keringat untuk mengurangi nafsu makan, walau tak dapat uang tak selera cukup jadi alasan untuk tidak makan, sambungnya pada baris-baris puisi yang berjudul “Medan Sang Kota Ramai”.

Ini kota yang ramai. Banyak pengendara kuda besi, melaju tanpa peduli rambu-rambu dan berhenti sesuka hati. Sepanjang jalan, langit-langit kota dihiasai lampu warna-warni yang akan terang saat malam hari dan terlihat berantakan ketika siang hari. Kabel listrik kota ini bertengger semrawut seperti benang jahit yang serabut. Bangunan-bangunan kota didekorasi dengan spanduk berwarna ceria, bertuliskan pesan-pesan harapan ataupun motivasi, juga foto sang empunya baliho. Sisi keindahan Medan berubah menjadi kota ramai baliho.

Salah satu bagian dari sejarah kota Medan yang dapat memanjakan mata dengan bangunan jaman kolonial Belanda adalah Kesawan, terletak di jalan Ahmad Yani Medan. Mengunjungi daerah ini, kita akan menikmati Medan di masa lalu, dengan tatanan bangunan yang rapi.

Pengunjung yang ingin memasuki kawasan ini akan disambut dengan baliho-baliho nan besar yang berdiri gagah di pintu masuk Kesawan, dengan pohon-pohon hijau berdaun rindang untuk menyelamatkan diri dari panasnya kota.

Di ujung jalan Ahmad Yani ada sebuah gedung putih dengan arsitektur Belanda berdiri menawan. Gedung itu milik bank Mandiri yang pada masa penjajahan Jepang dulu dipakai untuk kantor Gunseikanbu dan berfungsi sebagai bangunan ekspor impor. Keindahan bangunan ini tertutupi oleh tiga baliho yang menghadap ke arah Lapangan Merdeka, berisi tentang ajakan agar masyarakat kota Medan menjadi lugas dan cerdas. Tetapi mereka lupa untuk mencerdaskan diri mereka agar tidak mengotori bangunan umum yang masih dihuni bahkan menjadi objek wisata kota tua.

Lelaki ini menggelengkan kepalanya sembari tersenyum kecil, “Sistem kita harus diperbaharui,” ujarnya sambil menyentuh kaca matanya yang melorot. Ia kembali melanjutkan pendapatnya “Kalau hanya satu baliho saja mungkin tidak mengganggu, tapi kalau sudah banyak jadi jelek. Apalagi daerah Kesawan itu, bangunannya jadi ketutupan. Padahal bisa dibilang, itu salah satu sentral kota Medan ya kan?” ucap Chadri, seorang mahasiswa komunikasi yang suka memotret di wilayah Kesawan.

Padahal larangan memasang baliho di depan gedung bersejarah sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Medan No. 2 Tahun 2004, pada pasal 34 ayat 1. Lalu, masih saja gedung-gedung bersejarah itu ditempeli baliho. Entah siapa yang salah, penempel baliho atau si pemberi ijin.

Ini kota yang ramai, Kita harus saling membunuh untuk tetap hidup, Dan mempertahankan hidup penguasa agar panjang umur serta sehat walafiat, Datanglah kemari semoga kau beruntung.” tutup Alansyah dalam puisinya.[]

 

*Tulisan ini merupakan Pemenang Harapan Ketiga dalam Lomba Feature yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat bekerja sama dengan http://www.buruan.co. Ditulis oleh Kartika Ayu Br Ginting.

Tautan: http://www.buruan.co/medan-kota-baliho/

Bagikan ke:

Postingan Terkait