Oleh Resti Nurfaidah
“Sejarah bukan hanya milik orang besar…. Tapi, sejarah juga bisa jadi milik orang kecil, seperti Murwat.” Demikian kalimat itu dilontarkan oleh Kholil Birawa yang berperan ganda sebagai narrator, Murwat, Eyang, dan pemilik Mal. Kalimat tersebut diucapkannya pada bagian pembuka pementasan monolog “Genderuwo Pasar Anyar”. Kalimat itu diucapkannya ketika ia baru memasuki panggung dengan didampingi oleh dua orang model berpakaian seksi.
Hasrat maskulin pun lalu menebar di atas panggung. Sang narator lalu bersenang-senang sesaat dengan para model tersebut, di antaranya melalui swafoto dalam berbagai pose. Kemudian, cahaya di panggung pun meredup. Cahaya samar kehijauan dan merah menyala di ujung kiri panggung yang memperlihatkan metamorfosis secara terang-terangan. Sang narator berganti kostum dengan dibantu oleh beberapa orang kru serta dua orang model tadi.
Kini, ia menjelma menjadi Murwat, laki-laki yang berprofesi seorang penjaga malam dan petugas kebersihan di Pasar Kliwon, sebuah pasar tradisional yang sudah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Pada suatu hari, pasar tersebut dilanda kebakaran dan hancur.
Murwat dituduh tanpa alasan sebagai dalang terjadinya peristiwa kebakaran itu. Namun, ia tidak mengaku. Hukum tidak berpihak kepadanya. Selama dalam pemeriksaan pihak berwajib, ia mengalami siksaan yang cukup berat. Vonis akhir, Murat dipenjara. Di dalam penjara tersebut, ia bertemu dengan sukma Eyang Dono Driyah, pendiri Pasar Kliwon sejak ratusan tahun yang lalu. Eyang Dono mengatakan bahwa Murwat harus tetap tenang karena sebenarnya, pasar tersebut tidak musnah. pasar itu kini berada dalam genggaman genderuwo.
Adegan berganti. Kini hadir sosok perwakilan dari kaum kapitalis. Ia merupakan pemilik saham Kliwon Plaza yang didirikan di atas bekas lahan kebakaran. Dengan sinis, ia mengucapkan terima kasih kepada para pedagang yang sangat mengerti keinginannya. Tidak lama kemudian, duduk pula seorang terdakwa yang harus menghadap hakim di pengadilan. Dia kembali menjadi Murwat yang mati-matian melakukan pembelaan diri. Hukum tidak berpihak kepadanya. Konsep ketidakadilan wong cilik di pengadilan merebak di atas pentas. Panggung pun menutup pementasan monolog dengan penghormatan dari para pemain beserta kru yang terlibat dalam produksi tersebut.
Pementasan monolog berjudul “Genderuwo Pasar Anyar” tersebut merupakan sarana kritik sosial terhadap kedudukan wong cilik dan orang besar di negeri ini. Carut-marut dalam dunia hukum tidak pernah hilang meskipun kepemimpinan dalam pemerintahan kita sudah berkali-kali berganti. Murwat merupakan potret kehidupan manusia yang terjebak dalam kehidupan urban dengan segala kompleksitasnya. Ketidakmampuannya untuk bertahan dalam dunia urban dengan bekal akademis dan kemampuan lain yang terbatas, membuatnya terjerembab pada profesi rendahan, yaitu sebagai seorang penjaga malam yang merangkap sebagai petugas kebersihan. Profesi tersebut tidak juga memuliakan dirinya sebagai orang kecil. Sebaliknya, ia kerapkali berhadapan dengan dunia maksiat pasar, di antaranya seks bebas dengan para pelacur. Jika terdapat kehilangan, Murwat menjadi sasaran empuk para pemilik barang untuk diinterogasi. Dalam hal ini, pasar mengalami disfungsi. Pasar yang seharusnya dijadikan sebagai sarana interaksi multikultur dan multikalangan, serta sebagai jantung perekonomian rakyat, ironisnya dijadikan sebagai arena pemuas hawa nafsu. Laki-laki hidung belang yang datang ke tempat tersebut bukan hanya para pedagang, melainkan para lelaki dari berbagai kalangan, seperti akademisi atau aparat pemerintahan. Disfungsi pasar tersebut juga menunjukkan betapa dalam kehidupan manusia urban.
Seks tidak lagi dipandang sebagai hal yang sakral, tetapi menjadi profan. Lokasi pasar yang strategis diiringi dengan ambisi untuk menggenggam kepentingan pribadi menyebabkan arena publik yang sudah dibuat tidak nyaman tersebut mengalami disfungsi sosial. Jika dulu pasar merupakan arena pembauran bagi manusia dari berbagai latar dan kalangan, kini tempat itu dialihkan menjadi arena pertemuan kalangan menengah ke atas. Pasar Kliwon kini menjelma menjadi Kliwon Plaza. Perubahan wujud tersebut juga menggusur para pedagang, termasuk pedagang kecil.
Pertemuan antara Murwat dan Eyang Dono terjadi ketika laki-laki itu berada dalam tahanan. Kesedihan dan kekecewaan yang sangat dalam pada hukum dan nasib membawanya pada halusinasi. Ia merasa bertemu dengan Eyang Dono Driyah, pelopor berdirinya pasar, yang mengatakan bahwa pasar tersebut tidak hilang, tetapi berada dalam lindungan genderuwo. Genderuwo merupakan sejenis makhluk halus dalam mitologi Jawa yang suka mengganggu dalam kehidupan manusia. Kehadiran karakter genderuwo dan lelembut tersebut menunjukkan bahwa manusia modern sekalipun tidak dapat melepaskan tradisi masa lalu, yaitu masa primitif—animisme.
Namun, para lelembut yang dimunculkan dalam monolog tersebut bukan semata sebagai roh yang dipuja, melainkan menjadi simbol bahwa terdapat tangan-tangan berkuasa yang tidak pernah menampakkan diri secara terbuka, tetapi dapat dirasakan kehadirannya, di antaranya, kaum kapitalis dan aparat pemerintahan yang bekerja sama dalam mengubah wajah lahan sebuah kota. Keuntungan dan kepentingan satu pihak tampak jelas dalam monolog tersebut. Kesemena-menaan genderuwo mewakili nakalnya kaum kapitalis. Sementara itu, keacuhan sikap Eyang Dono dalam menghadapi kesulitan yang dialami oleh Murwat, menjadi gambaran sikap aparat pemerintah yang terkadang enggan berbuat adil kepada rakyatnya. Kasus-kasus kebakaran pasar cenderung tidak pernah tuntas pengusutannya. Rakyat kecil yang tidak mampu membeli lapak di Kliwon Plaza terpaksa menyingkir atau gulung tikar. Jika dipindahkan ke tempat baru, mereka harus bersiap untuk berhenti karena letak lokasi baru itu sangat tidak strategis. Kehadiran sosok Eyang Dono merupakan gambaran kerinduan akan ketuhanan dan aspek religius dalam kehidupan manusia. Namun, ia tidak memperoleh kebutuhannya itu dalam dunia urban, sehingga mengalihkannya pada berbagai hal yang dapat dianggap sebagai Yang Mahaagung dan menjadi panutan dalam berserah diri. Pada akhirnya mereka terikat dan sulit untuk melepaskan diri.
Penyampai monolog “Genderuwo Pasar Anyar” tersebut adalah seorang wartawan pada HU Kedaulatan Rakyat yang dikenal pula sebagai aktor teater, Khocil Birawa. Kemampuan bermain teater Khocil tersebut sungguh luar biasa hingga bertahan sampai 36 tahun, baik sebagai pemain maupun penyelenggara pementasan di tengah kesibukannya sebagai jurnalis. Berlatarkan ilmu bermain peran di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), Khocil telah melanglang buana untuk menunjukkan keahliannya dalam berakting, di antaranya dalam film Serangan Fajar karya Arifin C. Noer, bergabung dalam kelompok teater Jangkrik, Getih Budoyo, Muara, dan lain-lain. Perannya sebagai Murwat mendapatkan dukungan yang besar dari para rekan dan keluarga, serta pihak-pihak aparat dan nonaparat yang sangat mendukung berjalannya acara tersebut. Indra Tranggono misalnya yang menulis naskah monolog tersebut secara khusus untuk Khocil.
Pementasan monolog yang disutradarai oleh Toelis Semero ini ternyata mendapatkan respon yang cukup baik. Hal ini terbukti dengan kehadiran sejumlah elemen masyarakat di kota pelajar ini. Kehadiran Gank-X, sebuah kelompok musik yang berkutat pada aliran musik Barroque, di sela-sela pementasan juga menjadi sebuah nilai lebih. Kehadiran Djatuk Ferianto sebagai dedengkot seniman kota Yogyakarta seakan menegaskan bahwa pementasan ini sangat penting dalam menjaga aura budaya di kota Yogyakarta. Pada akhirnya, kegiatan pementasan ini bahkan menjadi ajang reuni antarsastrawan dan seniman di kota ini.
Yogyakarta, 16 September 2016