Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing

Menuju Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi

Kontak Aduan & Layanan
082130165377
Pengaduan ULT
Artikel/KTI Bahasa

Memperkuat Daya Tawar Internasionalisasi Bahasa Indonesia (Catatan Seminar Politik Bahasa, 3-6 Juni 2015)

Oleh Yopi Setia Umbara*

Menjelang dimulainya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) tak ingin ketinggalan langkah. Badan yang bertanggungjawab atas perkembangan kebahasaan di negeri ini bekerja keras menyokong bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi MEA. Namun, siapkah bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional yang digunakan MEA?

Dalam rangka internasionalisasi bahasa Indonesia itulah, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI menyelenggarakan Seminar Politik Bahasa dengan tema “Mengawal Bangsa Besar dengan Berawal Bahasa”. Seminar empat hari (3-6 juni 2015) tersebut dilangsungkan di Hotel Best Western Premier The Hive, Jalan DI Panjaitan Kav. 3-4, Jakarta. Seminar yang diikuti oleh kalangan akademisi, perwakilan Balai Bahasa, media, pemuda, serta peminat dan pemerhati sastra dari seluruh Indonesia ini adalah upaya untuk menyempurnakan kebijakan nasional kebahasaan.

Seminar Politik Bahasa juga diselenggarakan dalam rangka memperingati 70 bahasa Indonesia sebagai bahasa negara (1945-2015). Seperti kita ketahui, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara pada 18 Agustus 1945. Ketetapan ini tercantum dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Selama 70 tahun kemerdekaan Indonesia, bahasa Indonesia mau tidak mau terpengaruh oleh situasi secara global. Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu pada perkembangannya menjadi semakin kaya dengan terjadinya penyerapan bahasa, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Di satu sisi penyerapan bahasa ini menambah kaya bahasa Indonesia, akan tetapi di sisi lain merupakan tantangan tersendiri agar bahasa Indonesia tidak kehilangan identitasnya sebagai bahasa negara.

Kini bahasa Indonesia, yang jumlah penuturnya mencapai 300 juta lebih di seluruh dunia ini, sedang menghadapi MEA yang akan dimulai akhir 2015. Potensi besar yang dimiliki bahasa Indonesia tersebut lantas mendorong pemerintah untuk melakukan internasionalisasi bahasa Indonesia. Dengan kata lain, menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi MEA, seperti halnya bahasa Inggris yang menjadi bahasa resmi masyarakat Uni Eropa.

Pada pembukaan Seminar Politik Bahasa, Ketua Panitia Seminar Politik Bahasa, Dr. Sugiyono, Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan menjelaskan, “Tonggak politik bahasa adalah adanya Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009. UU tersebut menampung aspirasi utama rumusan Seminar Politik Bahasa sebelumnya. Dalam kondisi terkini, adanya tantangan yang tertuang pada pasal 44 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tersebut mewajibkan pemerintah Indonesia mewujudkan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional”. Lebih jelasnya, kewajiban konstitusi yang tertuang dalam undang-undang tersebut adalah sebagai berikut.

  • Pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
  • Peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasainternasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Dalam Seminar Politik Bahasa tersebut disajikan sejumlah penelitian yang disampaikan oleh para pakar bahasa Indonesia. Sesuai dengan tema ““Mengawal Bangsa Besar dengan Berawal Bahasa”, maka setiap kertas kerja dari para penyaji menyampaikan sejumlah dinamika yang terkait dengan perkembangan internasionalisasi bahasa Indonesia seperti yang dicanangkan pemerintah.

Kondisi nyata negara Indonesia yang terdiri dari beragam budaya menjadi salah satu modal utama dalam menghadapi MEA. Beragamnya budaya menjadikan Indonesia kaya akan bahasa daerah. Topik itu menjadi sajian pada kertas kerja Prof. Dr. Mahsun, M.S., Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Terkait dengan cita-cita membawa bahasa Indonesia ke dunia Internasional, Prof. Dr. Mahsun, M.S. menyatakan bahwa kondisi kebinekaan bahasa di Indonesia merupakan modal dalam menginternasionalisasi bahasa Indonesia.

Bersekutunya negara-negara di Asia Tenggara menjadi MEA tentu menguntungkan secara ekonomi. Akan tetapi, perlu disadari pula bahwa integritas adalah persoalan yang mengancam di masa yang akan datang. Seperti diungkapkan oleh Kol. Tek. Ir. Herman mewakili Menteri Pertahanan RI, Jenderal TNI (Purnawirawan) Ryamizard Ryacudu, “Sudah sewajarnya seluruh bangsa Indonesia menjaga bahasa Indonesia dari berbagai pengaruh, baik secara fisik maupun nonfisik, yang dapat menggoyahkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Kekhawatiran akan pertahanan negara sangat penting menjadi perhatian. Sebab, ketika MEA dimulai, sekat bangsa dan negara menjadi sangat tipis. Untuk itu, bangsa Indonesia harus sungguh-sungguh menyiapkan diri terhadap berbagai pengaruh sebagai dampak pasar bebas MEA.

Selain menyiasati pengaruh yang datang dari luar, bangsa Indonesia juga harus mampu mengatasi potensi-potensi konflik di dalam negeri. Keragaman budaya dan bahasa di Indonesia, selain menjadi modal adalah salah satu potensi konflik. Oleh karena itu, Prof. Dr. Bernd Nethofer menyarankan, mengutip penutup kertas kerjanya, “…bahasa Indonesia merupakan tali pengikat kesatuan Indonesia yang paling kuat yang perlu dikembangkan dan dibina.”

Poin tersebut menjadi sangat penting pada saat kebijakan otonomi daerah hari ini justru didorong oleh kesadaran masyarakat yang menggunakan bahasa daerah tertentu untuk memekarkan daerah sendiri. Dalam bahasa Guru Besar Universitas Frankfurt, Jerman itu istilahnya malah lebih ekstrem. Ia menyebut pemekaran ini dengan istilah ‘pembelahan’. Dalam perkara ini, bahasa Indonesia adalah simpul pemersatu yang sangat penting untuk menjaga kesatuan bangsa.

Dari hasil penelitian “Identifikasi Konflik dan Ancaman Disintegrasi Melalui Gejala Kebahasaan: Studi Kasus Humor di Indonesia” yang dipaparkan oleh Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), perbedaan bahasa di masyarakat jika tidak dikelola dapat menimbulkan konflik. Namun demikian, di balik performa linguistik yang terdapat pada humor gagasan tersimpan nilai kearifan lokal suatu daerah. Ia pun menegaskan, “Jika ingin membina bangsa lewat bahasa, perlu dipelajari teks-teks humor di masyarakat.”

Sementara itu, perkembangan yang terjadi secara global berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat. Terutama penggunaan bahasa asing, mulai dari pelajar hingga pejabat. Mayjen TNI Mar (Purn) Eddy Oetomo, S.H. dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) menekankan pentingnya Warga Negara Indonesia (WNI) menggunakan bahasa Indonesia sebagai upaya memperkuat wawasan kebanggasaan.

Bahasa Indonesia memang memiliki potensi yang besar untuk menjadi bahasa Internasional. Prof. Dr. Syafsir Akhlus, M. Sc. menyatakan, “Sebagai bahasa modern dengan penutur tak kurang dari 300 juta, bahasa Indonesia sangat potensial menjadi bahasa internasional.” Terlebih jika mengingat akar bahasa Indonesia yang merupakan bahasa Melayu.

Bahasa Melayu telah lama dikenal dan memainkan peran istimewanya sebagai bahasa internasional. Keistimewaannya itu disebabkan oleh persebarannya yang luas di Asia, seperti ditulis pada kertas kerja Guru Besar Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Kepulauan Riau ini.

Selain mengingat akar bahasa Indonesia dari bahasa Melayu, Seminar Poltik Bahasa juga tak luput menyoroti fakta sosiolinguistik di wilayah timur Indonesia. Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim menyampaikan tiga hal penting yang perlu dilakukan dengan kondisi kebahasaan di wilayah timur Indonesia. Pertama, tingkat diversitas bahasa di wilayah timur Indonesia sangat tinggi. Kedua, bahasa Melayu Lokal menjadi lingua franca. Ketiga, lebih dari separuh bahasa di Indonesia tersebar di timur.

Sementara itu, menurut Guru Besar Universitas Khairun Ternate itu, dalam upaya menopang internasionalisasi bahasa Indonesia ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, pemetaan ulang vitalitas bahasa etnis berdasar sebaran, daya hidup, dan tingkat diversitas. Kedua, pemetaan luasan dan cakupan penggunaan kolokial Jakarta dan Melayu Lokal. Ketiga, upaya internasionalisasi bahasa Indonesia.

Berdasarkan kertas kerja yang merupakan hasil penelitian para Guru Besar dan pakar yang disampaikan pada Seminar Politik Bahasa itulah kemudian dirumuskan penyempurnaan UU kebahasaan. Rumusan UU kebahasaan ini tentu saja untuk mengokohkan kebijakan nasional mengenai kebahasaan, yang kemudian dapat memperkuat daya tawar internasionalisasi bahasa Indonesia.

*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Buruan.co; peserta Seminar Politik Bahasa.

×

 

Hallo!

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp/p>

× Apa yang bisa saya bantu?