Oleh Yusup Irawan*
Saya yakin kita semua pernah menelusuri jalan-jalan utama yang menjadi pusat keramaian di perkotaan bila hendak berbelanja atau hanya sekadar cuci mata. Biasanya sepanjang jalan-jalan itu dipadati oleh berbagai tempat usaha. Ambil saja contoh, Jalan Dago dan Cihampelas di Kota Bandung. Toko, mal, hotel, kantor, restoran, dsb, adalah pemandangan yang biasa kita lihat di sepanjang jalan itu. Kemudian, kedua jalan itu dihiasi pula dengan berbagai papan reklame dan spanduk iklan produk.
Ketika kita menelusuri jalan-jalan yang menjadi pusat bisnis, sadarkah kita bahwa banyak sekali tempat-tempat usaha bernama atau beriklan dalam bahasa Inggris? Serasa di manakah kita berada? Di Indonesiakah atau di luar negeri? Saya yakin ketika kita menelusuri jalan-jalan seperti itu kita merasa ada di sebuah negara berbahasa Inggris.
Sekarang, prihatinkah kita semua dengan fenomena itu? Jika kita merasa tidak prihatin atau malah suka dan ikut berkontribusi dengan fenomena meluasnya penggunaan bahasa asing di ruang publik, hal itu menunjukkan bahwa mental berbahasa kita sedang sakit. Itu adalah pertanda karakter bangsa kita perlu diobati karena kita sedang mengalami sindrom inferioritas berbahasa.
Revolusi karakter bangsa! Itulah yang sering didengungkan oleh pemerintah sekarang. Kita dapat memulainya dari bahasa. Kita dapat memuliakan bangsa ini dengan cara muliakan bahasanya, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Utamakanlah penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah di ruang-ruang publik dan beri tempat setelahnya untuk bahasa asing. Dengan demikian, kita berdaulat dalam hal bahasa di negeri sendiri.
Imbauan dan ajakan sudah lama dan sudah sering disampaikan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa kepada seluruh masyarakat agar mengutamakan penggunaan bahasa Indoensia dan bahasa daerah di ruang-ruang publik. Akan tetapi, sekadar itu saja belum cukup. Kita perlu obat yang lebih keras untuk mengubah karakter rendah diri bangsa ini dalam hal penggunaan bahasa.
Tampaknya sudah saatnya kita melakukan penertiban penggunaan bahasa asing di ruang-ruang publik. Dasar hukumnya sudah jelas. Pasal 36 ayat (3) UU RI Nomor 24 tahun 2009 menyatakan bahwa ”Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, organisasi yang didirikan atau dimilki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.” Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa ”Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia. Dalam Pasal 38 ayat (1) dinyatakan pula bahwa ”Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, petunjuk, jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi yang merupakan pelayanan umum.
Lalu, siapakah yang punya tanggung jawab menertibkan penggunaan bahasa? Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 2 kepala daerah adalah pihak yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan penertiban penggunaan bahasa di ruang publik. Pasal 2 Peraturan Menteri itu berbunyi: ”Kepala daerah bertugas melaksanakan pelestarian dan pengutamaan penggunaan bahasa negara dan daerah.” Pasal 3-nya berbunyi: ”Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 2 kepala daerah menerbitkan petunjuk kepada seluruh aparatur di daerah dalam menerbitkan penggunaan bahasa di ruang publik, termasuk papan nama instansi/lembaga/badan usaha/badan sosial/petunjuk jalan dan iklan, dengan mengutamakan penggunaan bahasa negara.”
Aturan-aturan yang disebutkan di atas merupakan landasan yang kuat untuk dilaksanakannya penertiban penggunaan bahasa asing dalam upaya mendaulatkan kembali bahasa Indonesia di negerinya sendiri. Tidak perlu ada keraguan sedikit pun bagi kita untuk melakukannya.
Dalam waktu yang tidak lama lagi, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui Unit Pelaksana Teknisnya, dalam hal ini balai dan kantor bahasa, yang tersebar di berbagai provinsi di seluruh Indonesia akan segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan aksi konkret, yaitu melakukan penertiban penggunaan bahasa asing di ruang publik.
Upaya penertiban tidak akan dilakukan secara mendadak atau tiba-tiba, melainkan secara bertahap dan terencana. Tahap awal adalah pemantauan penggunaan bahasa di tempat-tempat umum, di antaranya hotel, jalan, perumahan, mal, gerai-gerai, instansi pemerintah, stasiun, bandara, dan sebagainya. Tahap kedua adalah penyelenggaraan lokakarya yang melibatkan para pemangku kepentingan, misalnya pemerintah daerah dan para pemilik usaha. Tahap ketiga adalah sosialisasi hasil lokakarya dan teknis penertiban bahasa. Tahap akhir adalah penertiban oleh staf balai/kantor bahasa dibantu oleh dinas terkait dan satpol PP.
Rasanya akan lebih baik bagi kita, khususnya para pemilik usaha, dengan kesadarannya sendiri mengubah prioritas penggunaan bahasa dari mengutamakan bahasa asing menjadi mengutamakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa asing tetap dapat kita gunakan, tetapi dengan cara yang bijak sehingga kita tidak mengerdilkan bahasa kita sendiri. Semoga mulai detik ini, kita dapat merevolusi mental berbahasa kita.
*Penulis adalah Staf Peneliti di Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat