Menyibak Makna Puisi “Sarébu Bulan”

Oleh Resti Nurfaidah*

Para inohong sastra dan budayawan Sunda pada umumnya menyatakan bahwa karya sastra Yus Rusyana merupakan cerminan kedalaman wawasan sang mahaguru tersebut terhadap landasan agama yang dianutnya, Islam, ilmu sastra, dan budaya Sunda, serta teori-teori keilmuan yang diampunya. Yus Rusyana juga dikenal dengan pandangan kritisnya terhadap isu-isu kedaerahan atau kebangsaan. Salah satu puisi yang mencerminkan kedalaman pandangan Yus Rusyana pada isu sosial dan religiusitas adalah puisi yang berjudul “Sarébu Bulan”. Puisi tersebut berbunyi sebagai berikut.

“Sarébu Bulan”
Dina hiji peuting urang jalan-jalan duaan, katilu bulan
Dina hiji peuting urang jalan-jalan duaan, sarébu bulan
Dina hiji peuting urang jalan-jalan sorangan, kadua bulan
Dina hiji peuting taya saurang nu jalan-jalan, ngan kari bulan

Puisi ini mencerminkan tahapan dalam kehidupan manusia, terutama manusia yang sudah dewasa. Tahapan tersebut juga pernah dirasakan sendiri oleh penulisnya. Pada larik pertama, //Dina hiji peuting urang jalan-jalan duaan, katilu bulan / tercermin pertemuan pertama dua lawan jenis, tahapan ta’aruf. Pada saat itu, seperti banyak digambarkan dalam karya sastra, dunia terasa indah, terkadang bahkan membutakan ketika seseorang tidak mampu membaca keburukan atau kelemahan lawan jenisnya karena cinta telah membuatnya buta. Terkadang nasihat atau masukan dari orang-orang sekitar pun tidak dipedulikan. Dalam puisi terdapat frasa katilu bulan yang menggambarkan bahwa kedua sejoli, seperti kehidupan manusia lainnya, berada pada panggung sandiwara dengan bulan sebagai lampunya. Lampu tersebut berjumlah tiga sehingga panggung menjadi terang benderang.

Pada larik kedua, //Dina hiji peuting urang jalan-jalan duaan, sarébu bulan/ tercermin cinta yang terpaut dan mencapai mahligai perkawinan yang bahagia. Panggung sandiwara pun semakin terang benderang. Hadirnya anak-anak dan cucu semakin menyemarakan kehidupan dua sejoli. Demikian terangnya sinar rembulan dan indahnya kehidupan, terkadang membuat manusia lupa bahwa ada Kuasa Lain yang lebih berkuasa terhadap kehidupan manusia. Dia bisa berbuat apa saja seiring dengan kehendak-Nya. Mahligai perkawinan ibarat sebuah perahu yang berlayar di lautan luas. Cuaca di lautan sulit diprediksi. Badai dan angin bisa datang dan pergi tanpa diduga. Tentu saja, diperlukan bahtera yang kokoh dengan nakhoda serta kelasi yang cakap dalam mengendalikan jalannya bahtera itu. Yus Rusyana menggambarkan sisi lemah manusia yang tenggelam dalam kenikmatan kehidupan hedonis pada larik ketiga, //Dina hiji peuting urang jalan-jalan sorangan, kadua bulan/. Dalam larik tersebut, lampu yang semula terang benderang mulai padam hingga tersisa dua lampu. Bahtera tersebut oleh karena berbagai sebab, baik dari dalam mahligai itu sendiri, maupun dari lingkungan di sekitarnya. Bahtera itu oleng. Nakhoda dan kelasi di dalam bahtera tidak seiring sejalan. Ketika mendarat darurat di sebuah tepian, nakhoda dan kelasi pun menempuh jalan sendiri. Perkawinan yang manis itu berakhir dengan keputusan untuk menempuh jalan sendiri. Akibatnya, panggung pun sepi. Penonton sudah membubarkan diri. Hanya sebuah lampu dengan cahaya temaram di atas panggung. Satu rembulan tidak cukup dijadikan sebagai tumpuan harapan untuk menerangi kehidupan manusia. Alam pun sepi. Perceraian atau perseteruan sepasang insan digambarkan dalam keterangan liturgi sangat dahsyat karena mampu mengguncang singgasana Illaahi, Lauh Mahfudz. Derita perpecahan dua sejoli tersebut digambarkan Yus Rusyana secara simbolis dalam larik terakhir, //Dina hiji peuting taya saurang nu jalan-jalan, ngan kari bulan/.

*Penulis adalah peneliti madya di Balai Bahasa Jawa Barat

Bagikan ke:

Postingan Terkait