oleh Setia Purba.
Jika kita mendengar kata merantau, yang terlintas dalam pikiran adalah suku Minangkabau. Budaya tersebut tidak dapat dipisahkan dari suku Minangkabau. Memang, sudah sejak lama suku Minangkabau mencari penghidupan di luar daerahnya. Pria yang telah menginjak usia dewasa (20–30 tahun) didorong untuk merantau. Bahkan, tidak sedikit masyarakat Minangkabau yang baru lulus SMA sudah pergi merantau. Ada banyak tujuan yang dimiliki oleh suku Minangkabau ketika merantau, mulai dari meneruskan pendidikan, mencari pekerjaan, sampai berwirausaha. Persebaran masyarakat Minangkabau sudah meluas di berbagai wilayah di Indonesia, Asia Tenggara, bahkan dunia. Sampai ada anekdot yang mengatakan bahwa sebelum Neil Armstrong sampai di bulan sudah ada orang Minangkabau yang membuka rumah makan Padang.
Budaya ini berdampak positif dan tertular pada suku-suku lain di Indonesia. Suku Bugis, Banjar, Bawean, Batak, dan Madura juga terkenal dengan budaya merantaunya. Masyarakat Sunda di Jawa Barat pun sudah mulai merantau ke berbagai daerah, walaupun masih lebih banyak merantau di daerah Jawa Barat.
Ada beberapa hal yang harus dibiasakan ketika orang akan merantau. Pertama, jika kita merantau ke daerah yang memiliki budaya berbeda, tentu kita harus menghargai budaya tersebut, seperti pepatah bijak Minangkabau, “Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang”, artinya kita harus menghormati budaya di mana kita tinggal. Kedua, kita harus beradaptasi dengan bahasa daerah setempat. Hal ini bermanfaat dalam proses komunikasi dengan masyarakat di daerah tempat kita merantau.
Banyak hal positif yang didapatkan ketika kita merantau, namun tidak sedikit dampak negatif yang ditimbulkan, salah satunya adalah pergeseran bahasa. Misalnya, masyarakat Batak yang pergi merantau ke Pulau Jawa. Saat mereka berada di Pulau Jawa, tentu bahasa awal yang digunakan adalah bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia merupakan lingua franca (bahasa persatuan). Seiring berjalannya waktu, mereka berinteraksi dengan beragam orang yang memiliki suku dan budaya yang berbeda. Tentunya hal itu akan berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan, misalnya, mulai mengenal kosakata loe, gue, woles, songong, dll. Lama-kelamaan, hal tersebut menjadi kebiasaan yang dibawa ke mana-mana. Ketika perantau tersebut pulang ke kampung halamannya, tentu akan ada interaksi dan komunikasi antara perantau dengan teman atau keluarga di kampung halamannya. Dari sanalah interferensi bahasa mulai memengaruhi suatu masyarakat.
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan suatu sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual (Chaer dan Agustina, 2010). Munculnya interferensi disebabkan oleh proses komunikasi si perantau kepada masyarakat di kampung halamannya. Perantau mencampuradukkan bahasa yang dia pahami di daerah tempatnya merantau dengan bahasa ibunya sendiri. Fenomena ini terjadi karena ada perasaan bangga dari si penutur saat menggunakan diksi-diksi yang tidak pernah digunakan sebelumnya oleh mitra tuturnya. Misalnya, saat ingin menyatakan bahwa dirinya tidak punya uang biasanya si penutur berkata “dang adong hepeng ahu.” namun setelah pulang dari perantauan menjadi “dang adong hepeng gue.”. Hal seperti ini terlihat sepele, namun jika terus dibiarkan akan berpengaruh terhadap orang lain yang mendengarkan tuturan tersebut.
Sudah sepatutnya masayarakat Sunda belajar dari fenomena di atas, jangan sampai bahasa Sunda ditinggalkan oleh penutur aslinya akibat budaya merantau. Masyarakat Sunda dan masyarakat dari suku lain juga harus menyadari bahwa hal ini bukanlah hal yang sepele. Kita sudah melihat bahwa bahasa Lampung ditinggalkan penuturnya karena begitu besarnya pengaruh interferensi bahasa.
Tentunya, kita sebagai masyarakat Indonesia dengan beragam kekayaan suku, budaya, dan bahasa berperan untuk melestarikan kekayaan bangsa kita sendiri. Menjelang bulan bahasa ini, kita harus tetap memegang teguh ungkapan yang mengatakan utamakan bahasa Indonesia, pelajari bahasa asing, dan lestarikan bahasa daerah. Kalimat tersebut tidak sekadar ungkapan belaka, namun harus kita hidupi dan tularkan kepada generasi-generasi muda bangsa Indonesia.
Penulis, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung.