Oleh Nia Kurnia*
Siapa yang tidak mengenal novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo? Novel tersebut dikatakan sebagai novel yang berani mengungkapkan kenyataan, berani melakukan perlawanan terhadap wacana kolonial yang sedang berkuasa. Novel tersebut dikatakan sebagai novel liar karena tidak dapat diterbitkan oleh penerbit Komisi Bacaan Rakyat atau yang lebih dikenal Balai Pustaka yang pada waktu itu merupakan salah satu penerbit yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Pada saat itu, karya sastra yang tidak mendukung kekuasaan pemerintah kolonial Belanda tentu saja dikategorikan sebagai bacaan liar, novel Student Hidjo adalah salah satu di antaranya.
Bacaan liar tentu saja terkait dengan adanya hal-hal yang tidak biasa diungkapkan oleh karya sastra yang lulus sensor Balai Pustaka. Hal itu menunjukkan bahwa novel tersebut menunjukkan perlawanan terhadap wacana kolonial yang berkuasa. Akan tetapi di sisi lain, sebagai novel yang lahir pada saat wacana kolonial berkuasa, tokoh-tokoh dalam novel tersebut tidak akan lepas dari konsep peniruan yang menurut istilah Bhaba disebut mimikri.
Menurut Bhaba (1984: 126) mimikri dibangun di sekitar konsep ambivalensi, di satu sisi melakukan persamaan dan di satu sisi yang lain tetap melanggengkan perbedaan. Konsep mimikri atau peniruan yang sengaja dibentuk oleh kaum penjajah demi melanggengkan nilai-nilai barat, tetapi di sisi lain bagi kaum terjajah mimikri akan memunculkan imitasi sekaligus subversi. Oleh karena itu, konsep mimikri menurut Bhaba ini selalu berakhir pada sebuah pernyataan “Almost the same, but not quite”, hampir sama, tetapi tetap tidak sama.
Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini akan berusaha menunjukkan konsep mimikri yang dilakukan tokoh-tokoh terjajah atau pribumi dan tokoh-tokoh penjajah. Hal itu dilakukan mengingat mimikri atau peniruan tidak hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh terjajah atau pribumi, tetapi dilakukan juga oleh tokoh-tokoh penjajah. Tulisan ini akan menunjukkan mimikri sekaligus tujuan dilakukan mimikri sehingga terungkap nilai-nilai yang tetap dipegang oleh tokoh-tokoh dalam novel tersebut sampai akhir cerita.
Novel Student Hidjo diawali oleh sebuah Bab I yang berjudul “R. Potronojo Hendak Mengirim Hidjo ke Nederland”. R. Potronojo, yaitu ayah Hidjo berniat mengirimkan Hidjo ke Belanda agar menjadi ingenieur setelah menyelesaikan HBS. Ayah Hidjo berpendapat bahwa anak lelakinya harus mempunyai kepandaian karena hal itu sebagai modal supaya anaknya tidak kesulitan mendapat pekerjaan. Belanda sebagai negeri penjajah yang mewakili barat menjadi kiblat pendidikan bagi rakyat pribumi sebagai bangsa terjajah.
Pendidikan dijadikan satu lahan peniruan bagi Hidjo yang memang sudah memiliki kesempatan untuk sekolah di HBS sebagai bangsa pribumi dari kelas borjuis karena kelas sosial ayah Hidjo yang seorang saudagar. Jalur pendidikan pun di satu sisi merupakan cara menaikkan kelas sosial keluarga Hidjo. Ayah Hidjo memiliki pandangan bahwa seorang saudagar masih tetap dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement,”Saya ini hanya seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini, orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement”. (Student Hidjo, 2010:6)
Peniruan atau mimikri melalui jalur pendidikan tetap menunjukkan ambivalensi. Walaupun akhirnya, Ibu Hidjo menyetujui mengirim Hidjo untuk sekolah ke Belanda, ia tetap meyakini bahwa anaknya sebagai bangsa pribumi akan kawin dengan bangsa pribumi. Sebagai bangsa pribumi ia pun memiliki pandangan bahwa perempuan belanda ada kemungkinan menggoda pemuda Jawa. Dalam hal ini peniruan yang dilakukan tetap menimbulkan kekhawatiran bagi bangsa pribumi, yang diwakili ibu Hidjo, apalagi peniruan itu dilakukan di lingkungan yang memang menjadi tempat kiblat peniruan itu (negeri Belanda). Hal itu ditunjukkan dengan adanya pemuda-pemuda Jawa yang Belajar di Belanda dan menikah dengan gadis Belanda.
Hidjo yang dikenal sebagai pemuda yang baik, bahkan mendapat sebutan “Pendito”, menurut keyakinan orangtuanya tidak mungkin berperilaku tidak baik seperti pemuda Jawa lainnya. Akan tetapi sebagai pemuda pribumi yang mendapat pendidikan barat di HBS, Hidjo tetap menunjukkan adanya peniruan itu, misalnya dari segi berbahasa dengan menggunakan kosakata Belanda dalam percakapannya. Kemudian ia berusaha menempatkan diri sebagai lelaki Eropa yang berada di tengah dua perempuan Eropa, “Hidjo terpaksa menuruti juga permintaan tiga orang itu. Sebab adat Eropa, semua laki-laki harus menghormati semua perempuan….Kalau mengikuti adat Eropa, jika ada seorang lelaki bersama-sama dua orang perempuan, yang lelaki mesti berjalan di tengah dan kanan kirinya diapit perempuan” (Student Hidjo, 2010:24) begitu pula yang dilakukan Wardoyo, teman Hidjo ketika berada di antara dua perempuan pribumi. Wardoyo memosisikan duduk di tengah ketika berada diantara Woengo dan Biroe sebagai bentuk peniruan terhadap nilai-nilai Eropa yang mereka dapatkan melalui jalur pendidikan di sekolah Belanda.
Setelah sampai di Amsterdam, Hidjo melihat adanya persamaan bangsa Belanda dengan bangsanya di Hindia Belanda bahwa bangsa Belanda pun bisa diperlakukan sama seperti bangsa Hindia. Dalam hal ini Hidjo memperlakukan dirinya sebagai tuan yang bisa memerintah bangsa Belanda. Hidjo meniru perilaku tuan kolonial di negeri kolonial sebagai bentuk persamaan, bahkan Hidjo pun akhirnya terbawa juga pada nilai-nilai pergaulan seks bebas bersama Betje, anak indung semang Hidjo selama sekolah di Belanda. Namun, nilai-nilai itu tidak sampai pada sebuah peniruan yang sempurna. Ia tetap tidak nyaman dengan keadaaan itu. Hal itu terbukti dengan perginya Hidjo dari rumah Betje dan ia lebih memilih pulang dan menikah dengan Woengo, anak Regent/Bupati Djarak
Konsep mimikri merupakan konsep yang muncul terkait adanya politik etis yang digulirkan oleh bangsa Belanda sebagai bentuk balas budi terhadap bangsa pribumi terutama dalam bidang edukasi yakni memperluas bidang pengajaran dan pendidikan. Hal itu tentu saja berdampak bagi bangsa pribumi, terutama bagi keluarga R. Potronojo (ayah Hidjo) sebagai pedagang atau yang disebut borjuis kecil, dan bagi keluarga Regent Djarak sebagai pegawai pemerintah kolonial yang tentu saja mendapatkan kesempatan sekolah di kelas I. Sekolah kelas I ini diperuntukkan bagi anak-anak pegawai negeri dan orang-orang berharta. Mereka lebih banyak mendapat kesempatan untuk belajar bahasa Belanda dan bergaul dengan bangsa Belanda sehingga peniruan itu lebih memungkinkan untuk terjadi.
Dari akhir cerita novel Student Hidjo terungkap bahwa peniruan yang dilakukan Hidjo dengan bersekolah ke negeri Belanda ternyata hanya sebatas peniruan bagi tercapainya keilmuan yang dibutuhkan untuk meningkatkan status sosial Hidjo yang berasal dari borjuis kecil atau anak seorang saudagar untuk menjadi seorang jaksa di Djarak yang berstatus pegawai Gouvernement yang status sosialnya lebih tinggi. Pendidikan Hidjo di Belanda pun dapat dikatakan sebagai upaya persamaan kelas sosial sehingga Hidjo bisa menikah dengan Woengo dan ia pun bisa bekerja di Gouvernament. Mimikri yang dilakukan Hidjo tetap saja mimikri yang sebatas untuk meningkatkan status sosial di antara bangsa pribumi saja karena ia pun memilih menikah dengan Woengo, tidak dengan Betje yang begitu mencintai Hidjo. Mimikri yang dilakukan Hidjo tetap menunjukkan ambivalensi bahwa ia tetap bangsa pribumi yang hanya bisa sebagai pegawai pemerintah kolonial, yaitu menjadi jaksa di Djarak. Ia tidak mungkin sama dengan pemerintah kolonial walaupun telah mendapatkan pendidikan di negeri Belanda.
Dalam novel Student Hidjo pun terungkap peniruan yang dilakukan oleh bangsa Belanda yang diwakili oleh Betje dan Walter. Sebagai upaya menarik perhatian Hidjo Betje berusaha meniru, misalnya ia yang memiliki resep masakan ala Jawa. Betje pun mengatakan ia senang sekali masakan Jawa sehingga mamanya menyebut dia orang perempuan Hindia, bahkan Betje lebih suka jadi perempuan Hindia daripada jadi perempuan Belanda. Di sisi lain pun, Hidjo menunjukkan kesenangannya terhadap negeri dan masakan Belanda selama ia tinggal di Belanda. Tentu saja peniruan yang dilakukan Betje dan Hidjo memiliki alasan yang berbeda. Betje menyukai masakan ala Jawa memang ia pernah merasakan masakan Jawa dan menyukai laki-laki Jawa yang bernama Hidjo. Hal itu dilakukan Betje atas nama cinta, sedangkan Hidjo melakukannya hanya sebatas adat kesopanan orang timur yang sedang bertamu di negeri barat. Artinya, Hidjo tetap menunjukkan dirinya berbeda dengan Betje.
Peniruan pun dilakukan Walter, seorang controleur. Ia bahkan berani merendahkan diri dihadapan Regent Djarak. Ia melakukan itu karena ia menaruh perhatian terhadap anak Regent Djarak yang bernama Woengoe. Ia tega meninggalkan kekasihnya yang sudah mengandung dan berasal dari bangsanya sendiri demi Woengoe. Ia lebih suka melihat orang tandak daripada melihat orang dansa, bahkan ia mau belajar menandak. Ia menyatakan lebih menyukai adat istiadat orang Jawa.
Sikap yang ditunjukkan Walter dapat dikatakan ada keterkaitannya dengan cara mendekati Woengo melalui budaya Jawa. Peniruan yang dilakukan Walter boleh jadi hanya sebatas kepentingan pribadi. Namun demikian, peniruan yang dilakukan Walter dapat dinyatakan sebagai peniruan yang cukup membekas sebagai manusia yang pernah hidup dan akrab dengan budaya Jawa. Walaupun ia ditolak Woengo dan ia merasa malu atas penolakan itu, ia tetap menunjukkan pembelaan terhadap orang Jawa. Ia merasa marah ketika ada seorang Belanda yang berperilaku tidak sopan terhadap jongos.
Munculnya sosok Walter, seorang kolonial yang membela bangsa pribumi Jawa menunjukkan adanya upaya perlawanan terhadap wacana kolonial yang berkuasa. Hal itulah yang memungkinkan alasan novel Student Hidjo tidak lulus sensor atau dianggap bacaan liar. Buku selebaran (brosur) berbahasa Melayu yang berjudul “Bangsa Belanda di Hindia” yang sengaja diberikan Controleur kepada Sergeant Djepris untuk dibaca merupakan upaya mengingatkan bangsa kolonial yang diwakili oleh Sergeant Djepris. Bangsa kolonial menjadi gila hormat setelah pulang dari Hindia. Mereka ke Hindia dari dahulu sampai sekarang hanya bermaksud untuk mencari uang semata.
Novel Student Hidjo sebagai novel yang lahir dalam wacana kolonial tentu tidak akan terlepas dari konsep mimikri atau peniruan. Peniruan yang dilakukan sangat terkait dengan keberadaan tokoh-tokoh dalam novel yang memiliki kelas sosial sebagai pegawai kolonial dan saudagar. Kelas sosial mereka telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk sekolah di kelas I yang diperuntukkan bagi anak-anak pegawai pemerintah kolonial dan bagi anak-anak saudagar. Hidjo sebagai anak saudagar atau disebut borjuis kecil memiliki kesempatan untuk meniru melalui pendidikan yang ia terima ataupun pergaulannya bersama-sama orang kolonial, baik selama di Hindia maupun selama di Belanda.
Hidjo sebagai sosok pribumi yang bersekolah di belanda telah mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai kehidupan orang Belanda. Belanda sebagai kiblat pendidikan telah membantunya mendapatkan pekerjaan di Hindia untuk menjadi seorang Jaksa di Djarak dan telah mengubah kelas sosialnya. Kelas sosial Hidjo menjadi sama dengan Woengo, tetapi di sisi lain persamaan yang diraih Hidjo melalui pendidikan pun tetap menunjukkan perbedaan. Hidjo tetap bangsa pribumi yang memilih bangsa pribumi sebagai istrinya, bukan Betje yang bangsa kolonial.
Mimikri pun dilakukan pula oleh Betje dan Controleur sebagai wakil bangsa kolonial. Kehadiran mereka lebih terkait sebagai pemihakan terhadap kaum pribumi Jawa. Kehadiran mereka dapat dilihat sebagai corong perlawanan terhadap wacana kolonial yang sedang berkuasa.
Sumber Pustaka
Babha, Homi. “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse”. October, Vol. 28, Discipleship: A Special Issue on Psychoanalysis (Spring, 1984), pp. 125 -133 Published by: The MIT Press
Kartodikromo, Marco. 2010. Student Hidjo. Jakarta: Penerbit Narasi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Marco_Kartodikromo