NGABAGÉAKEUN SUHU PARA GURU

Oleh Resti Nurfaidah*

Prof. Dr. Yus Rusyana bukan sembarang pengajar. Ia merupakan suhu para pengajar di Indonesia. Mengapa demikian? Beliau mampu menerapkan konsep pengajaran pada akar kalbu murid-muridnya. Ia bukan hanya mampu mendidik para pengajar secara fisik, melainkan mendidik batin para guru dengan cara yang sistematis. Kesistematisan beliau tidak terbentuk secara instan. Hal itu merupakan buah pendidikan para guru sejak beliau masih kecil, misalnya konsep guru harus berpenampilan rapi, seperti baju kemeja harus dimasukkan dan memakai gesper, atau cara mengajar yang menyenangkan sangat melekat di dalam ingatannya hingga mampu mengubah pola pikir seorang Yus kecil sampai saat ini.

Bagi seorang Yus Rusyana, seorang pengajar merupakan sebuah paket komplet. Ia tidak hanya dituntut untuk piawai dalam menyampaikan materi pengajaran, tetapi harus memiliki kemampuan yang mumpuni serta wawasan yang luas terhadap hal-hal di luar materi pengajaran tersebut. Dosen yang kharismatik tersebut selalu mengajarkan seorang guru harus lebih dulu menguasai pahit-manisnya materi pengajaran. Darpan Winangun, seorang pegiat sastra, menyebutkan dalam sebuah testimoni (Isnendes dan Haerudin, 2016:24) bahwa pada suatu hari, Pak Yus berjalan ke luar kelas. Ia meminta mahasiswanya untuk mengikuti. Ia menuju sebuah pohon jambu. Dimintanya mahasiswa untuk mengambil selembar daun jambu, lalu memakannya. Pak Yus berkata bahwa jangan hanya mendengar bahwa daun jambu itu kesat. Tapi, seorang guru harus bisa merasakan kesatnya daun jambu lebih dulu daripada murid-muridnya. Demikian pula dengan pengajaran sastra. Guru tidak hanya mampu memberikan teori sastra, tetapi tidak memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk membaca teks sastra secara langsung. Tanpa membaca teks sastra, murid atau mahasiswa tidak dapat menemukan esensi karya sastra secara menyeluruh.

Ibarat pepatah lama, bulir padi yang semakin berisi semakin merunduk, berlaku dalam kehidupan Pak Yus. Kedalaman ilmu, keluasan wawasan, kemahirannya sebagai seorang pengajar-sastrawan-budayawan, tidak membuat seorang Yus Rusyana bersikap pongah, baik kepada sesama pengajar, mahasiswa, murid, atau kepasa Tuhan. Kedalaman pemahaman agamanya tampak terlihat pada setiap karyanya serta tutur kata dan perilakunya. Ilmu yang tinggi tidak lantas Pak Yus berlepas diri dari Tuhannya, melainkan semakin merunduk dan rekat dalam bersujud. Dalam orasinya yang bertajuk “Ti Meletek Sarangenge Nepi ka Sariak Layung” (sejak bunga matahari mengelupas sampai tiba masa senja), Pak Yus menyadari bahwa apa yang ia miliki sekarang bukanlah miliknya semata, tetapi milik Illaahi. Ia sadar bahwa pada suatu saat, ia akan kembali tanpa membawa apa pun ke hadapan Tuhan.

Pak Yus bukanlah seorang pengajar biasa. Ia sangat luar biasa. Hal itu dibuktikan dengan penghargaan orang-orang di sekitarnya, terwujud dalam animo mereka untuk memberikan penghargaan kepada sang mahaguru, sang suhu untuk mengenang enam puluh tahun kiprahnya dalam bidang pengajaran-kesastraan-kebudayaan. Bertempat di Balai Pertemuan Umum UPI, Jalan Setiabudhi Nomor 229, Bandung, segenap civitas FPBS UPI menyelenggarakan perhelatan akbar bertajuk “Sawidak Taun Gurat Karya Yus Rusyana 1956—1960”, bertepatan ulang tahun perkawinan beliau dengan ibu Ami Raksanegara yang ke-54. Dengan moto pengajaran yang selalu ia bagikan pada setiap periode pengajarannya, yaitu “selamat, bermanfaat, dan nikmat”, Pak Yus menghendaki agar guru juga tidak hanya menjadi pengajar bagi orang lain, tetapi bagi dirinya sendiri. Ia sangat menjungjung tinggi sekolah-sekolah guru pada masa lalu, seperti SGA, SGB, SPG yang mampu meletakkan dasar-dasar pedagogi dengan baik. Ia menyampaikan sebuah petisi yang ditulis oleh para mantan siswa SGB kepada pemerintah agar mendirikan kembali sekolah-sekolah keguruan dengan tujuan untuk memperbaiki wajah edukasi di negeri ini, dengan guru sebagai ujung tombak dalam dunia tersebut.

Perhelatan akbar tersebut sangat berkesan. Tampak para pegiat kesastraan dan kebudayaan Sunda hadir memenuhi undangan panitia. Setelah pembukaan, panitia menggelar Sawala Sastra, Basa, dan Pendidikan  (diskusi tentang sepak terjang Yus Rusyana) yang menampilkan empat narasumber berikut, yaitu Prof. Dr. Didi Sukyadi, M.A (Bidang Pendidikan), Prof. Dr. Iskandarwassid, M.Pd. (Bidang Keilmuan Sastra-Sunda), Dr. Sumiyadi, M.Hum. (Bidang Keilmuan Sastra-Indonesia), dan Abdullah Mustappa (Bidang Karya Sastra).

Tema yang diketengahkan dalam keempat makalah pada sesi diskusi tersebut berkaitan dengan kesan-kesan para narasumber yang notabene merupakan mantan mahasiswa Yus Rusyana tersebut. Prof. Dr. Didi Sukyadi, M.A mengungkapkan bahwa sistem pengajaran yang diberikan oleh Yus Rusyana merupakan aplikasi dari sebuah definisi tentang pendidikan, yaitu konsep enlightment atau pencerahan. Konsep tersebut dapat teraplikasikan di dalam kelas karena Yus Rusyana menguasai materi pengajaran dan faktor pendukung materi tersebut, yaitu penguasaan karya sastra dan wawasan tentang karya tersebut.

Prof. Dr. Iskandarwassid, M.Pd. menyampaikan bahwa dari berbagai karya yang sudah terdokumentasikan, tidak termasuk sejumlah karya lepas yang belum terdokumentasikan, menunjukkan kedalaman pandangan seorang Yus Rusyana terhadap wawasan kedaerahan, nasionalisme, dan kebhinekaan Indonesia. Dalam setiap sesi mengajar, Yus Rusyana selalu menekankan bahwa membaca adalah jantung pengajaran sastra. Mahasiswa senantiasa ditanya tentang bacaan yang pernah dibacanya, lalu didiskusikan dan dijadikan sebagai bahan kajian.

Sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Iskandarwassid, M.Pd., Dr. Sumiyadi, M.Hum. menyatakan bahwa Yus Rusyana selalu menekankan untuk tidak mengajarkan sastra seperti takhyul. Hanya tahu ceritanya tanpa pembacaan teks secara langsung. Yus Rusyana menekankan pula bahwa apresiasi sastra terdapat tiga tingkatan. Tingkatan terendah terjadi ketika kita mampu merasakan pengalaman yang tertuang di dalam sebuah karya sastra. Tingkatan selanjutnya terjadi ketika mampu mengurai unsur-unsur yang terdapat di dalam karya sastra itu sebagai satu kesatuan.

Sementara itu, apresiasi tingkat tinggi terjadi ketika mampu mengaitkan dengan hal-hal di luar karya sastra, tepatnya pada aspek kehidupan. Abdullah Mustappa mengangkat pandangan Yus Rusyana melalui salah satu karya masterpiece, yaitu kumpulan carpon  Jajatén Ninggang Papasatén. Kumpulan carpon yang ditulis antara 1972—1974 kebanyakan bertemakan masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Di dalam cerita tersebut terjadi kondisi keamanan di Tatar Sunda yang mengalami distorsi, atau kondisi negeri ini pada masa peralihan tersebut, serta pengaruhnya pada berbagai aspek kehidupan manusia sebagai pengalaman lahir dan batin warga negeri ini.

Selain sesi diskusi, perhelatan tersebut diramaikan dengan sederetan pagelaran karya Yus Rusyana, antara lain, pembacaan puisi, musikalisasi puisi, monolog, dramatisasi puisi, serta pencak silat sebagai bagian dari penelitian pakar sastra tersebut. Pencaksilat menutup rangkaian perhelatan akbar yang digelar sebagai penghargaan kepakaran seorang Yus Rusyana.

*Penulis adalah peserta diskusi dan peneliti di Balai Bahasa Jawa Barat

Bagikan ke:

Postingan Terkait