Ngawadalkeun Nyawa

Ngawadalkeun Nyawa ‘Nyawa yang Ditumbalkan’ merupakan novel karya Moh. Ambri. Buku ini diterbitkan di Bandung oleh Rahmat Cijulang cetakan ketiga pada tahun 1984 dan tebal 146 halaman. Cetakan pertama pada tahun 1932 dan cetakan kedua diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1958.

Ringkasan cerita:

Jaman dahulu di Jepara ada seorang saudagar yang sangat kaya. Ia melakukan perdagangan bukan saja di Pulau Jawa, tapi juga di negeri-negeri lain. Tempat tinggalnya sebuah gedung besar dan indah. Ia sangat rendah hati dan dermawan, rajin bekerja, dan suka mencari ilmu. Saudagar itu mempunyai beberapa orang anak yang sudah berumah tangga. Yang belum berumah tangga tinggal seorang, yaitu anak perempuan yang bungsu bernama Lembana. Saudagar ingin agar Lembana bersuamikan seorang keturunan bangsawan, yang tampan, berbudi dan berilmu. Akhirnya saudagar menikahkan putrinya dengan Datawardaya anak salah seorang ulama dari Demak. Lembana dan suaminya hidup sangat berbahagia dan dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Sarimaya.

Setelah saudagar meninggal, segala kekayaan dan pekerjaan diteruskan oleh Datawardaya. Ia menjadi seorang saudagar yang berhasil dan namanya sangat termashur kemana-mana. Pada waktu saudagar Datawardaya sedang berlayar ke tanah Malaka, istrinya jatuh sakit sampai meninggal dunia. Istrinya meninggal dunia setelah meminta maaf dan menitipkan Sarimaya kepada Datawardaya.

Setelah ditinggal oleh istrinya, Datawardaya berhenti dari pekerjaannya sebagai saudagar, ia menjadi seorang ajengan dan membuka pesantren. Banyak sekali santri yang belajar kepadanya. Datawardaya sangat kasih kepada para santrinya itu. Datawardaya mengirimkan surat kepada sahabatnya seorang kiai di Demak tentang maksudnya mencari seorang yang lahir bathinnya untuk menjadi suami Nyi Sarimaya. Datawardaya akirnya bertemu dengan Walia, seorang pemuda yang kena kutuk. Ia menceritakan riwayat hidupnya kepada Datawardaya.

Datawardaya bersedia menerima Walia menjadi santrinya. Walia mulai mendengarkan Datawardaya mengajar santri-santrinya. Ia mengaji bukan karena ingin menjadi seorang yang pandai, tapi semata-mata karena ingin mengetahui ilmu dan menghilangkan dosa. Setiap hari ia berpuasa. Pada waktu luang ia tinggal di bawah perdu bunga. Di sanalah ia memikirkan apa yang telah didengarnya itu. Waktu ditanya tentang kemajuannya belajar oleh Datawardaya, Walia menggambarkan perjalanannya mencari ilmu. Ia seperti seorang yang kehausan, kemudian menemukan sungai yang airnya bersih dan segar, yang hulunya di surga, ia minum air sungai itu dengan nikmat.

Pada suatu pagi, ketika sedang berjalan di taman, Datawardaya mendengar pembicaraan ular yang akan membunuh Walia. Datawardaya bimbang, apakah Walia itu harus dinikahkan kepada anaknya atau jangan. Datawardaya merasa tidak sampai hati untuk mengorbankan anaknya menjadi istri dari seorang yang keadaannya seperti itu. Lalu Datawardaya bertanya kepada anaknya apakah sudah mempunyai gambaran tentang bakal suaminya. Sarimaya tidak menjawab langsung, melainkan memberitahukan melalui pelayannya bahwa ia mencintai Walia. Akhirnya Sarimaya berterus terang juga kepada ayahnya. Datawardaya mengemukakan bahwa Walia adalah seorang yang berdosa dan diramalkan akan mati pada hari ke delapan setelah perkawinannya. Tetapi ia akan menurunkan anaknya yang kemudian menjadi seorang alim besar. Sarimaya tidak merasa gentar mendengar keterangan ayahnya itu karena menurut pendapatnya hal-hal itu dapat diatasi dengan ihtiar.

Akhirnya Datawardaya membulatkan hatinya untuk menikahkan Walia pada Sarimaya. Pada hari pernikahan itu biasanya pengantin laki-laki membahas masalah agama dan menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh hadirin. Lain halnya dengan Walia. Ia tidak melakukan hal itu, ia hanya berdiam diri saja sambil tidak lupa memegang tongkatnya. Tentu saja dalam hatinya banyak orang yang tidak setuju Walia dijadikan suami Sarimaya.

Pada hari kedelapan setelah pernikahan, Walia masih tidur nyenyak. Biasanya jauh sebelum subuh ia sudah bangun. Datawardaya beserta yang lain-lain yang diberi tahu bahwa akan tejadi sesuatu yang aneh, duduk menunggu dengan wajah yang sedih. Nyi Sarinaya tanpa diketahui oleh siapa pun berganti pakaian menyamar sebagai Walia. Ia bermaksud akan mengorbankan dirinya bagi kepentingan suaminya, bagai domba yang dikorbankan untuk pengganti Nabi Ismail. lalu ia masuk ke dalam perdu bunga tempat Walia biasa duduk bertafakur. Tiba-tiba datang seekor ular, lalu mematuk ibu jari kakinya. Pada saat itu juga Nyi Sarimaya meninggal dunia.

Para malaikat menjemput malakul maut yang telah mencabut nyawa Nyi Sarimaya, menyatakan bahwa malakul maut itu telah melakukan kekeliruan dan karena itu nyawa Sarimaya harus dikembalikan ke dunia. Tetapi Sarimaya menolak hal itu, seandainya suaminya harus mati pada saat itu. Malaikat menyatakan bahwa suaminya tidak bakal meninggal sekarang sebab masih harus menunggu perintah lagi dari Tuhan. Sarimaya hidup kembali dalam keadaan sehat. Ia segera memberitahukan kepada mereka yang berada di rumah bahwa sekarang semuanya selamat.

Datawardaya dan semua yang hadir di sana gembira. Setelah itu jadilah Walia seorang manusia utama. Seperti telah diramalkan kemudian Sarimaya dan Walia dikaruniai seorang anak laki-laki.

Bagikan ke:

Postingan Terkait