Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing

Menuju Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi

Kontak Aduan & Layanan
082130165377
Pengaduan ULT
Prosa

Nyeupah

Oleh Mena Dewi Lestari

Emak dan Eneh duduk di bale-bale. Sesekali mereka terlibat percakapan. Mulut mereka tak henti mengunyah, bibirnya merah, sesekali mereka membuang ludah begitu saja ke tanah, membuat tanah basah seperti disiram darah. Aku meniru kegiatan mereka mengambil sehelai daun sirih yang tersusun rapih di bokor, mengolesinya dengan kapur likat, tak lupa menyertakan sejumput gambir, cengkih, kapol, dan seiris kecil buah pinang. Setelah semua racikan terkumpul, kulipat daun sirih hingga berbentuk sebuah bungkusan kecil yang agak berantakan. Dalam sekali helaan nafas, bungkusan itu telah pindah ke tangan Eneh.

Nyai udah pintar meracik bumbu seupah tapi melipatnya masih salah.” Begitu terampil Eneh merapihkan bungkusan sirih itu lalu disuapkan ke mulutku.

Aku mengunyah bungkusan daun sirih perlahan. Rasa pahit dan getir menyerbu lidah, namun terus kukunyah, renyah daun sirih dengan aroma segar rempah, tekstur keras buah pinang dan cengkih kering, lembutnya serbuk gambir dan kapur semuanya tanak di mulutku. Dulu kegiatan ini membuat lidahku tersiksa namun karena ingin menjadi pemenang lomba kutahan sekuat tenaga rasa pahit, asam, dan pedas yang menyengsarakan itu. Pemenang lombanya adalah yang warna ludahnya paling merah. Aku dan tujuh orang temanku sering melakukan ritual ini. Kami mendedahkan ludah ke atas batu, ke atas tanah, ke air kolam, atau ke hamparan rerumputan.

Betapa senang hatiku kala itu jika menjadi pemenang lomba nyeupah meski tak mendapatkan upah dan hadiah. Yang menjadi jurinya adalah Emak dan Eneh, dua perempuan anak dan ibu yang sama-sama telah keriput itu. Di mataku Emak dan Eneh lebih tampak sebagai kakak beradik. Memang usia mereka hanya terpaut 14 tahun. Eneh menikah sewaktu usianya masih 12 tahun. Kini dua perempuan tua itu sudah ditinggal suaminya masing-masing. Abah, suami Emak pergi beberapa tahun yang lalu setelah beberapa kali menyakiti Emak dengan berganti-ganti istri. Sedangkan Uyut, suami Eneh telah pergi dipanggil Illahi. Oleh karena itu, supaya rumah mereka tidak sunyi, aku dan teman-temanku selalu ada di samping mereka. Menemani Nyeupah dan mendengarkan dongeng dan kisah hidupnya.

Selesai nyeupah,  Eneh menyuruh aku dan teman-teman membersihkan gigi yang memerah dengan cara digosok menggunakan sabut cangkang buah pinang, setelahnya kami berebutan ngaca di depan cermin tua milik Eneh. Diam-diam aku mengagumi bibirku yang merah dan geligi putih meski barisannya agak berantakan. Seingatku, rutinitas nyeupah itu mulai kulakukan dari usia 5 hingga usiaku 13 tahun kelas 6 Sekolah Dasar. Sepengetahuanku nyeupah dapat menguatkan dan mencegah sakit gigi. Biasanya kulakukan selepas pulang sekolah, siang hari menuju senja. Duduk di bale-bale bersama Emak dan Eneh. Kadang jika musim panen, sambil menunggui jemuran gabah dan jagung. Mengusir ayam dan burung yang lancang. Kadang sambil menyerahkan kepala ditelisik Emak untuk mengambil kutu rambut dan larvanya yang begitu betah bersarang dan berbiak di belantara lebat rambutku.

Hal yang tak pernah lolos ketika kami memamah pinang sirih adalah selalu ada kisah yang diujarkan Emak dan Eneh secara bergantian dan saling bersahutan tentang kisah pengalaman mereka sewaktu masa kolonial dan masa transisi setelah kemerdekaan. Di mata mereka betapa bijaknya orang Belanda membangun sarana berupa irigasi, pabrik teh, rel kereta api, dan jalan desa. Betapa loyal orang  walanda  menggaji para pemetik teh, cengkih, dan buah pala yang menjadi kuli di kebunnya sendiri. Kaum lelaki dibawa pergi untuk diberi pekerjaan sebagai kuli membangun jalan, meski banyak di antara mereka tak kembali. setelah Belanda enyah, jalanan di kampung kami lebih mirip sungai kering dengan bongkahan batu menceruat di mana-mana, pabrik teh tak lagi berproduksi, rel kereta api diselimuti korosi.

Dari mulut Emak dan Eneh juga aku mengetahui kebejatan orang Jepang yang mengusir tragis orang Belanda dari kampung kami. Masa dua tahun, ujar Eneh, serasa dijalani dua abad lamanya. Sumber makanan susah, keseharian hanya makan kukusan pisang mentah dicampur singkong supaya gampang penuh di lambung, efeknya kenyang seharian, kadang makan talas atau rebusan jantung pisang pengganjal perut. Beras sama sekali hilang karena sawah dan ladang tak lagi digarap. Pakaian yang paling mewah waktu itu hanya terbuat dari karung goni, dihuni ngengat dan kutu busuk. Para gadis dan perempuan muda diambil untuk melayani tentara Jepang yang begitu leluasa keluar masuk kampung saat itu. Pilu dan geram hatiku mendengarnya. Malangnya lagi kisah itu selalu diulang-ulang, selang beberapa hari di bale-bale yang sama, sesekali Eneh membetulkan letak sisig yang terbenam diapit gigi seri bagian bawah dan bibirnya yang memerah berleleran ludah.

Di hari berikutnya Eneh da Emak berkisah tentang kepergian orang Jepang yang begitu tergesa karena negerinya di luluhlantakkan dengan bom. Lalu katanya, negeri kita dihadiahi kemerdekaan tanpa syarat apapun. Eneh berujar, saat itu kemerdekaan belum dapat dirasakan oleh orang kampung sebab selanjutnya kampung dikuasai orang-orang pribumi yang lebih kasar perangainya. Mereka suka menjarah rumah ketika malam hari, membawa harta benda dan sumber makanan, kemudian pasukan itu bergerak ke hutan meninggalkan rumah-rumah kosong terbakar hingga tinggal bongkahan arang saja di siang harinya. Para penduduk menyaksikan tragedi tersebut sambil mengendap di sebalik rerimbun semak atau di bawah naungan pohon angker di komplek pemakaman. Hatiku kecut menyimak cerita tersebut namun lagi-lagi di kemudian hari Eneh dan Emak mengurai kembali ceritanya. Emak bilang waktu itu para bayi yang baru lahir, begitu terbiasa menahan tangis. Mereka bungkam dalam ketakutan di pelukan ibunya masing-masing.

“Sekarang hidup serba enak, negeri kita sudah merdeka.” Kata Eneh pada suatu senja. Kemerdekaan buat Emak dan Eneh adalah mereka bebas duduk di bale-bale sambil menikmati kunyahan demi kunyahan sirih pinang tanpa dihantui rasa takut dan kekhawatiran. Melalui cekung mata Emak dan rabun bola mata Eneh, aku seolah menonton rangkuman kaleidoskop sejarah negeri ini.

Pada suatu hari dengan berat hati aku memohon izin dan minta didoakan oleh Emak dan Eneh. Aku pergi ke kota jauh untuk melanjutkan sekolah. Emak dan Eneh mengusap-usap kepalaku, bola mata mereka berkaca-kaca. Sebelum aku pergi, Emak menyodorkan sebuah bungkusan, kuterima dengan menahan tangis, kucium punggung tangan mereka yang makin kemeriut itu.

Di kota jauh, aku memulai hidup yang sesungguhnya terasa berat, jauh dari orang tua, teman-teman, dan tentunya Emak dan Eneh. Aku teringat bungkusan yang diberikan Emak ternyata sebuah bokor berisi perlengkapan nyeupah, ada segepok daun sirih, dua butir buah pinang, sekerumuk cengkih dan kapol, satu buah gambir terbungkus plastik, dan satu wadah kecil kapur yang begitu putih. Emak dan Eneh ternyata faham betul, betapa aku akan merindukan kebiasaan di kampung bersama mereka. Minggu-minggu pertama aku mengunyah sirih sendiri. Aroma dan rasanya terasa lebih pahit dan getir, setiap kunyahan kini hanya diiringi gemerosok suara penyiar berita di radio.

Ternyata aku tak mampu mempertahankan kebiasaanku nyeupah, terlebih olokan dari teman-temanku yang berkunjung ke tempat tinggalku, sebuah kamar kost di ujung gang. Mereka bilang aku manusia aneh, drakula, manusia jaman purba, gadis jorok pembuang ludah sembarangan, dan sederet cercaan yang linu di hati. Dengan berat hati kusembunyikan bokor pemberian Emak, kubuang rempah yang masih tersisa dengan penuh rasa bersalah. Dua kali dalam setahun aku pulang kampung, mengunjungi Emak dan Eneh untuk nyeupah di bale bale. Sebetulnya hal ini sudah setengah hati aku lakukan sebab ejekan teman-teman sekolahku selalu terngiang.

Waktu enam tahun telah kutandaskan di kota jauh, kini aku telah memiliki ijasah sekolah menengah atas dan mendapatkan tiket beasiswa untuk kuliah. Aku ingin memperlihatkannya pada Emak dan Eneh. Betapa kagetnya aku ketika tiba di kampung, Emak memelukku erat. Suaranya timbul tenggelam diselingi isak tangis.

”Eneh telah pergi dua hari yang lalu Nyai.”

Semesta tubuhku lemas. Saat itu juga aku tertunduk dibimbing Emak ke makam untuk menemui Eneh. Aku termenung panjang di depan pusara Eneh.

Nyai, ada yang belum Emak sampaikan” suara Emak memecah sunyi.

”Besok setelah kamu istirahat akan Emak ceritakan.”

Emak duduk di bale-bale, tatap matanya menerawang jauh, mulutnya tak henti mengunyah, bibirnya merah, sesekali ia membuang ludahnya begitu saja  ke tanah. Sejak pagi hingga senja dia terhenyak di sana hanya waktu shalat yang memanggilnya beranjak ke mushala. Aku duduk di sampingnya tanpa mengunyah sirih seperti biasa sebab aku telah membuang jauh kebiasaan tersebut.

Nyai, Emak mohon jika Emak telah pergi mengikuti Eneh, kamu harus melanjutkan kebiasaan nyeupah.”

Tubuhku serasa dijilat lidah petir. Aku hanya diam tak sanggup menolak, namun tak mau menyetujui permintaan Emak. Aku tak dapat membayangkan, melanjutkan kuliah dengan sederet aktivitas ditunjang peralatan simbol modernitas sambil mempertahankan tradisi  ini.

Nyai, Eneh yang memberi tahu Emak, betapa dalam makna dari nyeupah ini, sirih seumpama daging pembungkus tubuh kita, kapur adalah simbol kebersihan hati, semua rempah yang dikunyah menghasilkan warna merah sebagai darah yang dapat diartikan sebagai penyalur kehidupan ke semesta organ tubuh…,”

Aku tertunduk takjub. Selama ini Emak selalu menjadi teladan, Emak tak pernah mengotori hatinya dengan mengumpat orang, bahkan ketulusan Emak tercermin dari doa-doa yang selalu ia panjatkan untuk abah, suami yang mengkhianatinya.

Nyai, Sirih adalah tumbuhan yang merambat dari bawah ke atas dengan menggunakan tanaman lain sebagai sandaran, akan tetapi dia tidak mengganggu. Sirih memberi teduh dan kesegaran. Jadi dalam hidup jangan sampai menjadi pengganggu tapi harus bermanfaat untuk orang lain!” Nada suara Emak meninggi.

Aku menyimaknya tanpa menimpali.

“Kapur warna putihnya sebagai simbol ketulusan, dan kemurnian, jiwa dan hati kita harus senantiasa bersih tanpa dikotori iri dan dengki. Pinang adalah simbol keteguhan, sebatang pohon pinang selalu tumbuh lurus ke atas. “Nyai, orang yang memiliki hati nurani itu selalu yakin dengan kebenaran sebab kebenaran bukanlah hasil negosiasi. Gambir merupakan hasil dari sebuah proses panjang dari sebatang pohon hingga menjadi bentuk yang sekarang. Nyai, tidak ada keberhasilan yang didapatkan dengan jalur pintas.”

Aku tertegun. Pantas saja setiap ada tamu, Emak selalu sigap menyuguhkan bokor sirih, dengan setengah memaksa siapapun tetamu yang datang harus mengunyah sirih tersebut. Rupanya Emak mengharapkan semua orang dapat memahami makna filosofis di balik prosesi nyeupah itu.

Nyai, kalau Emak telah menyusul Eneh, jadilah pewaris Emak, melanjutkan tradisi nyeupah. Beri tahu semua orang bahwa nyeupah bukan sekadar obat sakit gigi.”

Aku mengambil dua helai daun sirih, disertai semua bumbu pelengkap lalu mengunyahnya dengan ikhlas, pahit getir seolah sirna dengan cerita Emak yang mengalir dari hulu kalbu ke hilir kesadaranku. Sementara di kota jauh berbagai plang di tanam sebagai peringatan, di stasiun kereta, di bandar udara, di taman-taman kota isinya ”dilarang membuang ludah sembarangan.”

Betapa tipis jarak antara kesadaran melestarikan sebuah tradisi dengan larangan dan kebijakan.

***

Nyeupah=menyirih/ tradisi mEmakan sirih pinang di tatar sunda

Bokor= tempat menyimpan sirih dan rempah-rempahnya  terbuat dari tembaga

Walanda= sebutan kepada orang Belanda

Sisig= Gumpalan tembakau sebesar ibu jari sebagai pelengkap makan sirih

 

Mena Dewi Lestari, guru Seni Budaya di SMAN 4 GARUT, tulisan berupa cerpen, puisi dan artikel pernah dimuat di beberapa media cetak.

 

×

 

Hallo!

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp/p>

× Apa yang bisa saya bantu?