Pagi Seorang Pencerita
Oleh Eddi Koben*
Pagi ini seperti pagi-pagi yang lainnya. Secangkir teh yang terasa pedas dan hangat di dada leluasa menerobos kerongkonganku yang terasa gatal. Kepala masih menyisakan pening setelah semalam bertarung dengan lendir yang tak henti-henti mengalir dari hidung ini. Kuseruput teh herbal yang hampir menyisakan ampasnya itu.
Ayam-ayam tetangga semakin berisik memamerkan lengkingan suaranya. Kucing-kucing kampung mulai berkeliaran mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah. Ibu mulai cerewet mengusir kucing-kucing itu karena khawatir mencuri barang dagangannya. Ya, lauk-pauk seperti ayam goreng atau ikan bumbu pesmol yang ibu jual di warungnya seringkali raib beberapa potong digondol kucing-kucing itu.
Sekilas aku melirik ke arah kamar. Ah, kau hampir selesai berdandan. Ternyata sekarang kau semakin besar. Seragam sekolah yang kau kenakan begitu serasi di tubuhmu yang jenjang. Sekarang kau sudah SD. Aku hampir tak percaya, Anakku! Rasanya baru kemarin aku menimang-nimangmu. Memamerkan kepada tetangga betapa lucunya kamu. Dan, mereka pun selalu penasaran untuk mencoba menggendongmu, mencium pipimu, atau sekadar mencubit pipimu yang tembem. Ah, saat itu memang saat-saat yang luar biasa bagiku. Kebanggaan menjadi seorang ayah kurasakan untuk pertama kalinya dalam hidupku.
Tapi, perjalanan hidup tak selamanya sesuai dengan keinginan dan harapan. Ada saja kendala dan rintangan yang harus dihadapi. Dan aku tahu, itu akan semakin menguatkan aku sebagai seorang manusia. Itu adalah ujian bagiku agar semakin berani menapaki kehidupan ini. Saat usiamu dua tahun, kau mulai sering masuk rumah sakit. Aku tak mengerti sakit apa yang kau derita.
Kau adalah amanat terindah dari Tuhan yang harus selalu kujaga. Betapa pun kau sering masuk ke rumah sakit, aku tetap tabah merawat dan menjagamu. Aku hanya berharap kau tumbuh menjadi anak yang kuat. Aku sadar, kau sejak lahir memang sudah merasakan jarum suntik, selang infus, dan tabung inkubator. Ya, kau memang terlahir prematur hingga dokter yang menangani kelahiranmu memutuskan untuk merawatmu selama beberapa hari sebelum diperbolehkan pulang
Usia kandungan ibumu baru delapan bulan saat kau lahir. Banyak orang bilang, pada usia kandungan delapan bulan, kondisi janin muda lagi. Sel-sel dalam tubuhnya belum terbentuk secara utuh. Barangkali itu yang menyebabkanmu rentan sakit. Barangkali juga imunitas tubuhmu belum terbentuk sempurna hingga kau belum kuat menghadapi serangan virus yang banyak bertebaran di dunia ini.
Maka, aku harus selalu siap menjagamu dengan ekstra. Ibumu pun harus ektra sabar merawatmu. Dan, aku betul-betul takjub dengan kesabaran dan ketelatenan ibumu dalam merawatmu. Padahal, ibumu sudah cukup menderita merasakan sakit selama berbulan-bulan saat mengandungmu. Puncaknya, saat ibumu melahirkanmu pada subuh itu di rumah sakit. Aku sampai tak tahan mendengar jeritan ibumu saat mengeluarkanmu dari dalam perutnya. Aku pun menangis. Itu air mata lelaki yang betul-betul murni keluar bukan sekadar dari mata, tetapi juga dari hati. Aku haru atas perkasanya ibumu. Dan, aku bangga ibumu benar-benar kuat. Sangat kuat!
***
“Pak, ayo, aku sudah siap!” ucapmu yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku terkesiap. Lamunanku tentang masa-masa enam tahun yang lalu seketika buyar. Aku segera mematikan layar monitor komputerku yang dari tadi kunyalakan tanpa kugunakan untuk mengetik atau bermain game sekalipun.
“Ya, ayo Nak!” ucapku pendek sambil bergegas berdiri. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, aku akan mengantarmu ke sekolah. Ah, ini memang saat-saat yang menyenangkan bagi seorang bapak untuk mengantar anaknya mencari ilmu. Ya, carilah ilmu sebanyak-banyaknya, Nak! Ilmu yang tersebar di dunia ini memang sangat banyak. Tak akan ada habis-habisnya jika kau petik setiap hari. Yang ada, ilmu itu malah selalu bertambah, bergelayutan di ranting-ranting pohon pengetahuan yang semakin tumbuh subur.
Aku segera mengiringi langkahmu meninggalkan rumah setelah sebelumnya kau mencium tangan ibumu sambil berpamitan. Tatapan mata ibumu begitu bening. Aku tahu, sorot mata bahagia selalu terpancar dari ibumu ketika melepas kepergianmu ke sekolah. Aku tahu lewat sorot mata itu, ribuan doa meluncur mengiringi langkah-langkahmu setiap pagi.
Ya, setiap pagi kau memang selalu melangkah, berjalan menuju sekolah. Langkah-langkahmu terasa ringan. Kau selalu tidak peduli ketika melihat anak-anak lain yang sebaya denganmu diantar oleh ibu atau bapaknya menggunakan mobil atau sepeda motor. Kau hanya berujar, “Bapak, nanti aku akan punya mobil yang lebih bagus dari itu.” Tanganmu menunjuk sebuah mobil yang melintas mendahului kita yang sedang tenang berjalan. Aku hanya tersenyum meski rasa sakit sedikit mengiringi senyum itu. Ya, sakit memang. Sebagai seorang ayah, seharusnya aku sudah bisa menyediakan fasilitas yang cukup untuk istri dan anakku. Tapi, jangankan mobil, sepeda motor pun aku belum sanggup menghadirkannya untuk kalian. Ah, sebagai kepala keluarga aku mengakui itu adalah hal yang cukup mengganggu.
Kau tahu Nak, aku seringkali menghiburmu? Ya, aku selalu menghiburmu dengan mengatakan bahwa jalan kaki lebih menyehatkan daripada naik kendaraan. Dengan berjalan kaki, kau akan mudah mengeluarkan keringat. Nah, bersama keringat yang keluar itu, racun-racun dalam tubuhmu akan ikut keluar. Bukankah kau sudah tahu kalau yang menyebabkanmu sakit adalah racun-racun yang bersemayam dalam tubuhmu?
“Yee…! Berarti aku tak akan sakit lagi, Pak?” tanyamu dengan girang.
“Ya, semoga saja,” jawabku senang.
Ah, hanya kata-kata hiburan itulah yang baru sanggup aku berikan kepadamu, Nak! Kata-kata itu tak perlu dibeli. Aku mendapatkannya secara gratis dari Tuhan. Jadi, aku harus memberikannya kepadamu secara gratis pula. Dan, aku tahu Tuhan pasti senang pada siapa pun yang senang berbagi. Seandainya semua hal yang ada di dunia ini bisa didapat dengan gratis, barangkali semua orang akan senang. Semua saling memberi, saling berbagi, tak perlu membeli. Sebetulnya memang Tuhan menggratiskan semuanya untuk manusia. Yang mengharuskan membeli dan menjual hanyalah manusia. Ya, manusialah yang menyebabkan semua itu. Tak lain semua itu karena dorongan hawa nafsunya.
Oh, iya, lihat, Nak! Gerbang sekolahmu sudah ramai. Kita sudah tiba di sekolah. Sebentar lagi kau harus masuk ke kelas. Aku cukup mengantarmu sampai di sini saja. Aku tak perlu menemanimu belajar di sekolah. Kau jangan iri kepada teman-temanmu yang selalu ditunggui orang tuanya saat belajar. Tidak. Kau harus mandiri, Nak! Jangan biarkan dirimu manja. Ingat, suatu saat kau harus menentukan nasibmu sendiri. Tugasku hanya mengarahkanmu. Kau yang akan menentukan kehidupanmu selanjutnya. Jadi, belajarlah mandiri dari sekarang mumpung kau masih anak-anak.
Ayo, masuklah, Nak! Sampaikan salamku pada guru-gurumu. Hormati mereka, Nak! Merekalah orang tua keduamu. Kau jangan sungkan untuk meminta mereka menunjukkan pohon-pohon pengetahuan untuk kau petik buahnya. Ya, ilmu yang banyak adalah buah dari pohon-pohon pengetahuan itu. Guru-gurumu akan mengajarimu bagaimana cara memanjat pohon-pohon pengetahuan itu. Bersemangatlah, Nak! Pohon-pohon itu ranum sekali buahnya. Ambillah sebanyak-banyaknya. Bawalah pulang sebagai bekal hidupmu. Bagikan kepada orang lain buah yang kau dapat dari pohon pengetahuan itu. Aku dan ibumu pasti akan senang.
Jangan lupa pula, Nak, sayangi teman-temanmu. Jangan biarkan mereka ada yang tersakiti. Cegah temanmu yang berbuat tidak menyenangkan. Nasihati mereka semampumu. Bermainlah bersama mereka dengan gembira. Dalam bermain, kau akan dapat ilmu pula. Kau belajar bagaimana bersikap sportif dan kompetitif. Kreativitasmu akan meningkat pula. Sekali lagi, sayangi teman-temanmu, Nak! Kelak, mereka yang akan menyayangi dan memberikan pertolongan saat kau sedang butuh pertolongan.
Aku pulang dulu, Nak. Masih banyak pekerjaan di rumah yang harus kutuntaskan. Ya, aku memang bekerja di rumah. Mungkin kau heran, mengapa laki-laki seperti bapakmu ini malah di rumah. Bukankah laki-laki harus keluar rumah, mencari uang sebanyak-banyaknya? Haha… itu memang tidak salah, Nak. Tapi, aku di rumah pun bekerja. Kau bisa lihat sendiri setiap hari aku menyuntuki layar komputer. Itu memang pekerjaanku. Aku senang melakukannya.
Dengan bekerja di rumah, aku bisa tetap memperhatikan tumbuh kembangmu. Aku selalu siap membantumu saat kau kesulitan menyelesaikan tugas-tugas sekolahmu. Aku selalu siap menemanimu bermain, jalan-jalan, berolahraga, berbelanja, atau apa saja. Itu membuatku merasa lebih dekat denganmu, Nak. Aku tak mau kau merasa asing kepadaku gara-gara aku sering meninggalkanmu untuk bekerja di luar rumah. Banyak anak yang tidak mengenal siapa bapaknya. Mereka hanya mengenal barang-barang yang diberikan bapaknya lewat kiriman paket pos. Aku tak mau kau seperti mereka. Aku ingin kau mengenalku secara utuh, luar dalam.
***
Tulisan yang hampir tuntas ditiknya, dia baca ulang. Ia lanjutkan sedikit lagi untuk menuntaskannya. Ending cerita yang dia tulis terkadang memang sulit sekali. Jika sudah mengalir, cerita yang ditulisnya sulit untuk diakhiri. Di sinilah dia sering merasa pusing bagaimana mengakhiri cerita yang ditulisnya. Tokoh-tokoh dalam ceritanya selalu protes. Mereka ingin terus bermain dalam perannya masing-masing. Semakin dia ngotot untuk mengakhirinya, tokoh-tokoh ceritanya semakin ngotot pula melawan. Seringkali mereka berontak agar dia tak mengakhiri cerita yang sedang ditulisnya. Dia sering memberi pengertian kepada para tokoh ceritanya jika tak segera diakhiri, dia akan terlambat mengirimkannya kepada penerbit. Dan, penerbit pun akhirnya murka karena banyak pembaca yang sudah bosan menunggu cerita-ceritanya.
Terkadang tokoh-tokoh dalam ceritanya mau juga memahami keadaannya. Ya, akhirnya mereka mengerti, tugasnya hanya menulis cerita, mengirimkannya kepada penerbit, lalu menerima honor penerbitan. Dan, honor tulisannya seringkali tak cukup untuk menghidupi anak dan istrinya. Maka, para tokoh cerita itu akhirnya rela untuk dihentikan perannya dalam cerita yang dia tulis.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Lelaki itu kaget. Ini jadwal kepulangan anaknya dari sekolah. Dia harus bergegas menjemput anaknya. Kasihan dia kalau harus lebih lama menunggu dijemput bapaknya. Maka, layar komputer segera dia matikan setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada tokoh-tokoh dalam ceritanya yang bersedia diakhiri perannya. Dia berdiri dan segera berjalan menuju pintu.
Begitu dia buka pintu, alangkah kagetnya dia. Di teras rumahnya sudah berdiri sorang anak perempuan berseragam SD dengan sesungging senyum.
“Bapak, hari ini aku berhasil membawa banyak buah yang kupetik dari pohon pengetahuan itu!” ucap anak itu sambil memeluk tubuh bapaknya. Perlahan air mata lelaki itu menetes lagi.***
Cimahi, 25 September 2016
*Penulis, sukarelawan gerakan literer perdesaan. Pengelola warung literasi nasi dan bergiat di komunitas Tjimahi Heritage. Tinggal di Cimahi Utara.