Papajar
Nandang R. Pamungkas*
Ramadan selalu menjadi bulan yang istimewa. Disebut istimewa karena bulan ini dipenuhi banyak hikmah, berkah, serta pahala. Khususnya bagi mereka yang mengisinya dengan banyak-banyak beribadah. Tak heran, ketika bulan ini segera tiba selalu muncul perasaan gembira untuk menyambutnya.
Banyak cara dalam mengekspresikan kegembiraan itu. Setiap individu, bahkan setiap daerah punya cara atau tradisi untuk menyambut bulan suci Ramadan. Salah satu tradisi yang saya anggap unik dan khas adalah “papajar”. Secara umum, istilah ini masih dianggap asing oleh sebagian besar orang, tetapi tidak bagi masyarakat Cianjur.
Sebetulnya, tradisi papajar tidak hanya dikenal di wilayah Cianjur. Masyarakat di wilayah yang berdekatan atau berbatasan dengan Cianjur mempraktikkan pula tradisi ini, misalnya di kampung halaman saya Gununghalu-Rongga yang secara geografis merupakan daerah perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur.
Papajar merupakan tradisi yang dilakukan hanya pada saat menjelang Ramadan atau pada akhir Syaban. Sekitar seminggu menjelang Ramadan, masyarakat sudah mengondisikan diri untuk dapat berkumpul bersama sanak saudara serta handai taulan. Tak lain, tujuannya adalah untuk bersilaturahmi. Akan tetapi, tidak hanya bersilaturahmi, tradisi akan berlanjut dengan acara makan bersama.
Acara makan-makan ini juga istimewa karena tak hanya dilakukan di rumah, secara umum masyarakat akan ke luar rumah mencari tempat yang dianggap enak, indah, dan nyaman. Dengan kata lain, momen ini adalah saat yang tepat untuk pergi berpiknik sambil menikmati bekal makanan bersama-sama. Maka tak heran, saat menjelang Ramadan tiba, pemandangan orang yang berbondong-bondong, baik menggunakan mobil pribadi, motor, bahkan truk dan kendaraan bak terbuka menuju tempat wisata lumrah ditemui. Dapat dipastikan juga, tempat-tempat makan serta tempat wisata di daerah tersebut akan penuh oleh pengunjung.
Menurut para orang tua, papajar dimaknai sebagai kegiatan mapag (menyambut/menyongsong) fajar, fajar awal Ramadan, waktu dimulainya puasa. Ada pula yang memaknai kata papajar berasal dari kata “fajar” yang berarti sinar. Jika dikaitkan dengan makna bulan Ramadan, papajar berarti menyambut sinar yang akan segera terbit. Sama maknanya dengan puasa yang pada pelaksanaannya diawali pada saat sebelum terbitnya fajar dan diakhiri pada saat terbenamnya matahari.
Mungkin saja, tradisi seperti ini ditemukan juga di daerah-daerah lain. Hanya, kebanyakan dari daerah-daerah tersebut tidak memiliki istilah khusus untuk menamai tradisi ini. Di masyarakat Sunda, ada istilah yang lebih umum serta populer pada saat menyambut bulan Ramadan. Istilah tersebut adalah “munggahan”. Hanya saja, sesungguhnya istilah munggahan dalam bahasa Sunda maknanya lebih spesifik, yakni malam pertama bulan Ramadan. Pada malam pertama ini hal yang spesial dilakukan adalah ibadah salat tarawih dan sahur pertama. Sahur pertama yang dianggap spesial ini biasanya ditunjukkan dengan penyediaan menu makan sahur yang istimewa.
Istilah “munggahan” bahkan sudah dimasukkan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbaru. Akan tetapi, kata “munggahan” dalam KBBI agak mengalami pergeseran makna. Dalam KBBI, “munggahan” dimaknai tradisi berkumpul dan makan bersama dengan keluarga atau teman untuk menyambut bulan Ramadan. Padahal, sesungguhnya masyarakat Sunda itu memiliki dua konsep yang berbeda dalam menyambut bulan Ramadan, yakni papajar dan munggahan. Keduanya memiliki konsep yang spesifik. Hanya KBBI terlanjur menyerap istilah munggahan dengan kandungan makna perpaduan antara keduanya.
*Penulis adalah pemerhati bahasa, bekerja di Balai Bahasa Jawa Barat.