Bandung — Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah produk Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sebagai acuan kebahasaan dan sarana informasi kebahasaan bagi pengguna bahasa Indonesia. KBBI merupakan salah satu bentuk upaya pengembangan bahasa melalui penyediaan kamus bahasa. KBBI terus diperbarui dan dikembangkan oleh Badan Bahasa melalui aplikasi KBBI Daring. Aplikasi tersebut memungkinkan penyusunan kamus menjadi lebih mudah dan cepat, bahkan terbuka bagi seluruh pengguna KBBI untuk ambil bagian dengan membuat usulan-usulan kosakata. Untuk itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, berusaha menyosialisasikan upaya yang telah dikembangkan tersebut dengan menghadirkan tokoh sastra dan kelompok masyarakat melalui pelaksanaan Diseminasi Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Rangka Kemitraan dengan Komisi X DPR RI, pada Minggu, 18 Agustus 2024 di Hotel Luminor, Bandung.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Imam Budi Utomo, Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat, Herawati, serta turut hadir pula anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Saeful Bachri dan anggota DPRD Kabupaten Bandung M. Hailuki. Diseminasi ini merupakan bentuk transparansi dan sosialisasi pemerintah kepada masyarakat terkait dengan program yang telah dilakukan, terutama yang berkaitan dengan pengembangan KBBI sebagai sebuah produk yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra, Imam Budi Utomo menjelaskan, “Ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban Badan Bahasa kepada masyarakat secara langsung di hadapan Komisi X DPR RI yang salah satunya memiliki fungsi pengawasan terhadap program pemerintah.”
Dede Yusuf mengamini bahwa salah satu tugas Badan Bahasa adalah membuat Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan konsep dasar, selain untuk merekam semua bahasa yang ada, juga untuk menjaga agar jangan sampai suatu saat bahasa ini hilang. “Saat ini masyarakat masih menggunakan bahasa sebatas pada komunikasi, belum banyak yang berkembang pada kemampuan-kemampuan diplomasi, mempersatukan, dan kompetensi tertentu dalam bahasa,” tutur Dede Yusuf.
Selaras dengan hal itu, salah satu sastrawan, Agus R. Sarjono, pada kesempatan yang sama mengatakan jika ingin melihat pemikiran sebuah bangsa, lihatlah kamus bahasanya. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat umum pun dengan sastrawan itu berbeda dalam mendefinisikan suatu hal. “Ketika KBBI mendefinisikan rakyat dengan cara eksplisit ‘penduduk suatu negara’ dan ‘orang kebanyakan’ atau ‘orang biasa’, sastrawan menjelaskan dengan cara lain, seperti pada karya Hartoyo Andang Jaya, rakyat ialah kita jutaan tangan mengayun dalam kerja …, rakyat adalah kita otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka,” ungkapnya. Bertalian dengan tema pembicaraan ini, Agus berharap pemerintah memiliki program yang mewajibkan membaca karya sastra pada tiap jenjang pendidikan. “… minimal SD 5 judul, SMP 10 judul, dan SMA 15 judul,” pungkasnya.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat terkadang memang serampangan sesuai dengan kebiasaan di lingkungannya. Dede Yusuf mempertanyakan penggunaan bahasa di ruang publik yang kerap ia temui. “Kenapa di hotel-hotel selalu digunakan kata toilet atau WC?” tanyanya kepada hadirin. “Jika dalam masyarakat Sunda terbiasa dengan istilah jamban, seharusnya dengan KBBI ini kita dapat mengganti penggunaan itu (toliet dan WC, red.) misalnya dengan kata hadas ataupun tandas,” tegas Dede. Ia berharap masyarakat dapat mempergunakan kosakata di KBBI dalam situasi apa pun dan Badan Bahasa dapat menggali kosakata di masyarakat untuk dimuat dalam KBBI.
Untuk mengonfirmasi hal itu, Herawati menjelaskan bahwa saat ini KBBI telah memuat sejumlah 120-an entri. “Tahun ini Badan Bahasa menargetkan akan menambahnya hingga 200 ribu entri termuat di Kamus Besar Bahasa Indonesia,” kata Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat itu. Herawati menguatkan, “Perlu diketahui pula oleh masyarakat bahwa KBBI tidak hanya memuat kata baku, tetapi juga terdapat ragam tidak baku dan cakapan.”
Menurut Agus, bahasa percakapan di masyarakat sebatas digunakan untuk komunikasi sehari-hari. Seseorang tidak akan bisa menyampaikan ide atau gagasan penting jika bertutur dengan bahasa gaul “lu-gue– lu-gue”. “Masyarakat harus mengetahui KBBI agar dapat menggunakan bahasa formal (dengan membedakan ragam baku dan tidak baku, red.) agar dapat menyampaikan ide yang berterima untuk sebuah situasi (kebahasaan),” pungkasnya. Dede Yusuf menanggapi hal tersebut dengan dugaan bahwa generasi muda saat ini kurang mengenal KBBI karena penjenamaannya yang terlalu kaku. “Berkaca pada gen Z yang cenderung lebih suka membuka penjelasan melalui internet itu di Wikipedia, bagaimana kalau seandainya KBBI di-branding dengan yang demikian, yang ada pedia-pedia-nya?” usul Dede.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa selalu terbuka dalam memberi layanan dan senantiasa mengutamakan kepuasan masyarakat. “Jika jenama—brand itu jenama dalam bahasa Indonesia—KBBI ini dinilai begitu oleh masyarakat, kami akan mempertimbangkan dengan menyampaikan hal ini kepada Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk kami bahas dan kaji lebih lanjut,” jawab Imam.
Saat ini masyarakat dapat memanfaatkan produk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi VI secara daring dengan mengunjungi laman kbbi.kemdikbud.go.id atau mengunduh aplikasi KBBI VI melalui gawai atau ponsel pintar. Di dalamnya terdapat fitur-fitur untuk mencari beragam definisi beserta contoh penggunaan yang juga dilabeli dengan penjelasan kebakuan kata, termasuk penanda asal bahasa dan ragam keilmuannya. Selain itu, para pengguna juga dapat berpartisipasi dalam pemerkayaan entri KBBI melalui usulan pembuatan entri baru atau sunting entri dan definisi dengan menjadi pengguna terdaftar pada laman tersebut.