Penambang Senja Berwarna Timah

oleh A. Rachman*

Kamu selalu meyakini bahwa senja adalah sebuah harapan. Kamu juga meyakini bahwa senja selalu menjadi harapan manusia. Senja bagimu adalah menjadi satu-satunya yang paling berharga.

Dengan keyakinan itu, kamu memutuskan menjadi seorang penambang senja. Kamu menjadi begitu jatuh cinta pada senja. Bagimu jatuh cinta kepada senja seperti menemukan sebuah harapan. Harapan yang paling harap dari segala harap. Tentunya. Kamu selalu berharap, esok senja ‘kan tiba setelah tenggelam ditelan genangnya lautan.

Setiap senja menjelang, kamu beranjak dari daratan dan mengarungi lautan. Mengayuh sampan tua dengan perlahan. Di tengah laut yang masih berkilau perak membiru, kamu lenyap entah kemana. Semua orang yang menanti senja di bibir Pantai Tanjung Pesona yang landai, tak akan mengira. Kamulah yang paling berjasa bagi mereka. Karena tanpa kamu, mereka tak akan pernah dapat menikmati senja. Senja yang luar biasa. Senja yang berbeda dari senja-senja lainnya. Kamu hanyut di balik senja yang berwarna timah.

Ketika pertunjukan sandiwara senja selesai pada satu babak hari, kamu kembali ke permukaan. Menepi dari satu pantai ke pantai lainnya tempat pejuang revolusi pernah diasingkan. Dari muka, kamu datang menerabas kelam malam. Gelap lautan menghantar kamu sehabis ibadah lautan senja. Di bibir pantai yang landai dihiasi batu-batu granit menawan, kamu tak lagi menemukan mereka penikmat dan pemburu senja berwarna timah. Tapi kamu masih dapat merasakan bahagia tersisa dari mereka. Bahagia yang paling bahagia dari segala bahagia yang sederhana. Kebahagiaan akan harapan senja.

Bagi kamu, kebahagian dapat diukur dan diukir dari masing-masing harapan yang terhampar dan memancar pada wajah para penikmat dan pemburu senja berwarna timah. Kamu bahagia. Melebihi kebahagiaan mereka. Membahagiakan mereka dengan kebahagiaan dan harapan senja. Bagimu, senja adalah segalanya. Senja adalah segala cinta. Senja adalah jelmaan cinta yang sesungguhnya. Tentu saja senja yang berwarna timah.

Hanya pada saat ia tibalah semuanya memiliki harapan yang sama. Ya. Tidak pada saat fajar menjelang atau saat rembulan benderang. Ketika senja berwarna timah temaram tenggelam ditelan kelam malam. Semuanya akan berharap ia akan kembali tiba esok hari.

Kamu tanpa pamrih menjadi seorang penambang senja berwarna timah. Mendulang senja yang sama pada saat dan suasana yang berbeda. Tak pernah ada yang mengeluh, resah, maupun bosan dengan apa yang telah kamu lakukan. Kamu begitu menjaganya, seperti seorang anak menjaga ibunya yang telah sepuh. Sesosok perempuan cantik yang selalu menyajikan nasi ditemani lauk ikan lempah kuning penambah selera, selepas lelah menambang senja berwarna timah. Menemaninya karena rasa hormat dan balas jasa.

Hmmm…mungkinkah kamu adalah anak senja berwarna timah? Sehingga begitu besar pengabdianmu padanya. Kamu seperti sesuatu yang tak dapat dipisahkan darinya. Kamu selalu ada di saat ia tiba. Saat harapan-harapan itu memancar menerangi wajah mereka yang penuh harap. Kamu, ya kamu, tanpa pamrih menyepuhnya hingga lebih anggun dari semula. Kamu begitu sangat mengenalnya. Tahu seberapa putih dan peraknya yang menyala. Hanya kamu yang tahu rahasia di baliknya. Kamu tahu kapan ia menjadi nyala. Menjadi keemas-emasan ketika proses pemurnian dan peleburan. Senja menjadi kemerah-merahan yang bara. Senja menjadi merah kegelap-gelapan, hingga akhirnya berwarna timah lalu tenggelam. Hanya kamu yang tahu kemana ia setelah tenggelam dalam kelam malam. Hanya kamu yang tahu. Kamu.

Kamu seorang diri di balik layar perahu yang mengapung di tengah lautan dengan berwarna timah. Kamu penuh semangat dengan lakon yang kamu mainkan. Kamu begitu semangat melihat semua orang bersemangat menantinya dengan penuh harapan. Harapan dari kabahagiaan yang sederhana. Kamu menjadi begitu sangat penting. Tapi kamu bukan dan tidak pernah menasbihkan maupun ditasbihkan sebagai pahlawan bagi mereka. Toh, mereka tidak pernah mengira, menyangka, dan tahu bahwa kamu penambang senja berwarna putih keperakan. Kamu selalu menyajikannya dengan kualitas yang sama indah namun sederhana setiap harinya. Kamu bekerja dengan hati yang penuh bahagia.

Menjadi seorang penambang senja tak pernah ada sekolahnya. Kamu sendiri tak pernah mengenal dan menapakkan kaki di sekolah. Hanya naluri dan jiwa kamu yang menuntun menjadi seorang penambang senja. Tapi kamu memiliki kemampuan yang luar biasa bila dibandingkan dengan mereka yang bersekolah sekalipun. Kamu lebih cerdik-cerdas dan terdidik, daripada mereka yang bersekolah menjadi pintar. Pintar menipu orang lain dan pintar menggelapkan uang rakyat. Kamu sebaliknya, tahu bagaimana menumbuhkan harapan dan bahagia mereka.

 

***

Setiap hari, kamu begitu dicintai dan dinanti mereka. Kenikmatan yang tak hingga bagi mereka saat bersua denganmu. Kamu milik mereka. Tapi kamu bukan sundal. Kamu adalah kamu.

Mereka begitu menggantungkan harapannya kepadamu, sehingga mereka tak sanggup bila sehari saja tanpa kamu. Suatu hari, serdadu-serdadu hujan bersama segerombolan awan kelam berhamburan menyerbu petang. Hujan menderas memupurmu pada tanah remah yang memerah. Kemudian kamu tiba-tiba lenyap dikeroyoknya.

Mereka tahu kamu lenyap pada hari itu, mereka histeris. Mereka panik dan carut marut. Upacara Tarian Men Sahang Lah Mirah disajikan. Dukun mereka bayar mahal. Iklan-iklan di media cetak, radio, televisi, dan bahkan baligo berhamburan. Badan intelejen dikerahkan. Detektif-detektif terkenal disewa. Demi kamu. Tentu saja demi kamu. Kamu, harapan mereka.

Begitulah negeri ini. Negeri tanpa hiburan selain kamu. Mereka telah menjadikan kamu sebagai candu. Ketika kamu kembali pada pelukan, mereka merayakannya dengan gempita. Syukuran dan festival Tari Sepen di mana-mana. Tidak lupa, sebelum kamu lenyap kembali. Mereka telah merekayasamu berupa hiasan senja berwarna timah. Mengembangbiakkan. Memperbanyak. Mengcopy. Dan bahkan menternakkanmu. Beberapa di antara mereka memungut kamu menjadi kata-kata dalam sebuah cerita. Menyalinnya dalam beribu-ribu eksemplar buku. Tak ada yang melarangnya. Di negeri ini bebas. Bebas segala-galanya.

Itu mereka. Aku tidak. Karena aku tahu betul siapa kamu. Jika diingat kembali, entah sejak kapan kita saling jatuh cinta. Ya, s-a-l-i-n-g jatuh cinta. Dan kita pula tak pernah tahu alasan saling jatuh cinta. Hmm toh, jatuh cinta tak perlu alasan. Jatuh cinta ‘kan sebuah anugerah, bagi yang mensyukurinya. Jika kita mensyukuri segala nikmat Tuhan seperti halnya aku mensyukuri nikmat Tuhan yang diberikan melalui kecantikkanmu, maka kita akan menemukan makna cinta sesungguhnya. Makna yang paling bermakna dari segala makna kehidupan ini. Tak perlu alasan. Sungguh. Cinta itu naluri. Karena itu pula aku menawarkan diri menjadi seorang penambang senja.

 

Bogor, 2018

 

Biodata Penulis:

A. Rachman bernama lengkap Anri Rachman. Lahir di Bandung, 23 Agustus 1983. Sehari-hari selain mengajar di Sekolah Madania, Kab. Bogor dan menulis artikel, esai pendidikan, puisi, dan sebagai CEO Djonggoler serta Sastra Masuk Desa. Penulis kini tinggal di Telaga Kahuripan, Parung – Kabupaten Bogor.

Bagikan ke:

Postingan Terkait