Penerjemahan dan Kebudayaan

Alejandra Patricia Karamanian

Penerjemah tersumpah bahasa Inggris/Spanyol/Inggris

 

Istilah ‘Budaya’ mengacu pada tiga kategori penting dari aktivitas manusia: 1) personal yaitu, kita sebagai individu berpikir dan berfungsi sebagai individu, 2) kolektif yaitu, kita berfungsi dalam konteks sosial, dan 3) ekspresif  yaitu, masyarakat mengekspresian dirinya sendiri.

Bahasa adalah satu-satunya institusi sosial yang tanpa adanya institusi sosial lainnya tidak dapat berfungsi: sehingga Bahasa menjadi landasan pendukung tiga pilar di mana kebudayaan dibangun.

Penerjemahan, melibatkan  transposisi pikiran yang diekspresikan dalam suatu bahasa oleh satu kelompok sosial ke dalam ekspressi yang berterima bagi kelompok sosial lainnya, mencakup sebuah proses decoding, re-coding, dan encoding budaya. Ketika kebudayaan yang terus bertambah dipertemukan dengan kebudayaan lain, pertimbangan multikultural dihadirkan untuk menanggung  nilai yang meningkat. Sekarang, bagaimana semua perubahan ini mempengaruhi kita, ketika kita mencoba untuk memahami sebuah teks sebelum akhirnya kita menerjemahkannya? Kita tidak hanya berhadapan dengan kata-kata yang tertulis dalam waktu, ruang, dan situasi politik-sosial tertentu; yang paling penting adalah aspek “kebudayaan” dari sebuah teks yang harus kita perhatikan. Proses perpindahan yaitu re-coding lintas budaya, konsekuensinya harus mengalokasikan atribut vis-a-vis kebudayaan sasaran untuk memastikan kredibilitas di mata pembaca bahasa sasaran.

Multikulturalisme, yang menjadi fenomena di zaman sekarang, memainkan peranan karena mempunyai dampak kepada seluruh orang di dunia, sama halnya dengan hubungan internasional muncul dari tatanan dunia baru saat ini. Selain itu, ketika teknologi Negara-negara dan kebudayaannya tumbuh dan berkembang dengan kecepatan yang sangat cepat, sebagai hasilnya proses penyatuan dimulai yang hasil akhirnya susah untuk diprediksi.  Kita sedang berada di ambang paradigma internasional yang baru. Batas-batas dan perbedaan menghilang. Garis tajam yang awalnya membedakan sekarang memudar dan menjadi tidak jelas.

Sebagai penerjemah kita dihadapkan dengan sebuah kebudayaan asing (alien) yang membutuhkan penyampaian pesan dengan cara apa pun selain dengan cara alien. Kebudayaan tersebut mengekspresikan keanehan dalam cara ‘keterkaitan budaya’: kata-kata budaya, peribahasa, dan tentu saja ekspresi idiomatik, yang asal dan penggunaannya  secara intrinsik dan unik terikat dengan budaya yang bersangkutan. Jadi kita dipanggil untuk melakukan penerjemahan lintas-budaya yang keberhasilannya tergantung pada pemahaman kita tentang budaya yang sedang kita kerjakan.

Apakah  ini tugas kita untuk fokus terutama terhadap kebudayaan bahasa sumber atau kebudayaan bahasa sasaran? Jawabannya tidaklah jelas. Namun, criteria yang dominan adalah fungsi komunikatif dari teks sasaran.

Kita ambil contoh korespondensi bisnis: di sini kita mengikuti protocol korespondensi komersial biasanya diamati dari bahasa sasarannya. Sehingga “Estimado” akan berubah menjadi “Dear” dalam bahasa Ingrris dan “Monsieur” dalam bahasa Perancis, dan “saludo a Ud. Atentamente” akan berubah menjadi “Sincerely Yours” dalam bahasa Inggris, dan “Veuillez Monsieur, mes sentiments les plus distingues” dalam bahasa Perancis.

Akhirnya, perhatian tertuju pada fakta bahwa diantara beberapa pendekatan penerjemahan, pendekatan penerjemahan terintegrasi tampaknya menjadi pendekatan yang paling berterima. Pendekatan ini mengiuti paradigma global yang mempunyai visi global teks dan mempunyai kepentingan utama. Seperti pendekatannya memfokuskan terhadap level makro dan mikro sesuai dengan prinsip Gestalt yang menetapka bahwa analisis bagian tidak dapat memberikan pemahaman secara keseluruhan dan  dengan demikian penelitian penerjemahan hanya terfokus dengan jaringan hubungan , pentingnya hal-hal mengenai perorangan, yang sedang diputuskan  lelevansinya dalam konteks yang lebih besar: Teks, situasi, dan kebudayaan.

Kesimpulannya, dapat diketahui bahwa proses transcoding harus difokuskan tidak hanya terhadap transfer bahasa tetapi juga dan yang lebih utamanya terhadap transposisi kebudayaan. Sebagai konsekuensi yang tak dapat dihindarkan seperti yang diungkapkan sebelumnya, penerjemah harus bilingual dan bikultural jika tidak multikultural .

 

Sumber: http://www.kwintessential.co.uk/translation/articles/translation-and-culture.html?highlight=YToxOntpOjA7czo4OiJhcnRpY2xlcyI7fQ==

Bagikan ke:

Postingan Terkait