Pentingnya Sinergi Seluruh Pemangku Kepentingan Mengawal Arah Baru Revitalisasi Bahasa Daerah
Jakarta – Sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam merevitalisasi bahasa daerah perlu dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Sebagai tindak lanjut upaya pelindungan bahasa daerah tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra menginisiasi rapat koordinasi bersama kepala daerah di 38 provinsi.
Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan (1) ajang rembuk pelestarian bahasa daerah di tengah arus globalisasi; (2) merumuskan kebijakan bersama dalam mempromosikan penggunaan bahasa daerah di berbagai sektor, termasuk pendidikan, pemerintahan, media, dan budaya; (3) menjadi platform berbagi strategi dan praktik baik dalam meningkatkan kualitas pengajaran bahasa daerah, pelatihan guru, dan pengembangan kurikulum dan bahan ajar yang relevan dalam pelindungan bahasa; serta (4) mengintegrasikan penggunaan bahasa daerah dalam pembangunan lokal, seperti pariwisata, ekonomi kreatif, dan promosi warisan budaya.
Kepala Badan Bahasa, E. Aminudin Aziz, mengungkapkan bahwa Indonesia sebagai negara dengan kebinekaan bahasa terbesar kedua di dunia menghadapi tantangan serius dalam pelestarian bahasa daerah. Tren kepunahan yang mengkhawatirkan terjadi akibat munculnya sikap negatif penutur jati terhadap bahasa daerahnya, meningkatnya perkawinan silang antarpenutur bahasa daerah, globalisasi, dan urbanisasi serta kebijakan yang tidak selalu berpihak kepada pelestarian bahasa daerah.
Faktor-faktor tersebut mengancam keberadaan 718 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Data terkini menunjukkan penurunan signifikan dalam vitalitas beberapa bahasa daerah, yang berarti jumlah bahasa yang mengalami kemunduran terus meningkat. “Oleh sebab itu, pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bersinergi untuk menekan penurunan vitalitas bahasa daerah melalui upaya revitalisasi,” tegasnya dalam pembukaan Rapat Koordinasi Penguatan Revitalisasi Bahasa Daerah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Jakarta, Kamis (2/5).
Menurutnya, revitalisasi bahasa daerah (RBD) membutuhkan pendekatan multilevel yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari komunitas lokal hingga kerja sama internasional. Kebijakan ini mencakup pengakuan atas pentingnya bahasa daerah dalam bidang pendidikan, pemanfaatan teknologi, dan digitalisasi. Selain itu, peningkatan penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di lingkungan keluarga, akan menjadi pendukung utama kelestarian bahasa daerah.
“Saya berharap, dari kegiatan ini dapat terkoordinasi upaya pelestarian bahasa daerah antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia serta terwujudnya komitmen bersama antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan pelindungan bahasa daerah secara konkret dalam program dan penganggaran,” ucap Aminudin Aziz.
Kebijakan RBD di Indonesia telah mengalami beberapa fase, dengan pendekatan yang berbeda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap bahasa. Mulai 2021 Kemendikbudristek melalui Badan Bahasa menerapkan arah baru dalam implementasi RBD di Indonesia. Arah baru program RBD tersebut mencakup sinergi dan kemitraan, pengembangan kurikulum, bimtek guru master, pelibatan berbagai pihak dan ranah penggunaan, serta prestise bahasa daerah dalam media dan kegiatan sosial-kemasyarakatan.
“Arah itu diterapkan secara berkesinambungan, berfokus, dan berdampak luas. Kebijakan RBD di Indonesia merupakan langkah strategis dan penting dalam memelihara keanekaragaman bahasa dan budaya. Pendekatan holistik dan kolaboratif yang diterapkan tidak hanya bertujuan melestarikan bahasa daerah, tetapi juga memperkuat identitas nasional,” lanjutnya.
Pendekatan Baru RBD di Indonesia
Revitalisasi bahasa daerah (RBD) telah dilakukan selama beberapa puluh tahun dengan fokus pada bahasa-bahasa yang terancam punah dan kritis. Namun, sejak 2021, telah diluncurkan kebijakan baru RBD. Pendekatan dalam kebijakan baru ini adalah bahwa revitalisasi lebih difokuskan pada bahasa-bahasa yang masih banyak penuturnya, termasuk bahasa-bahasa dalam kategori aman.
Kebijakan ini menggunakan tiga model, yakni (1) model A untuk situasi atau lingkungan kebahasaan dengan dominasi satu bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya dengan pendekatan berbasis sekolah; (2) model B untuk lingkungan kebahasaan yang memungkinkan terjadinya “persandingan dan/atau persaingan” dalam kontak beberapa bahasa besar di wilayah tersebut dengan pendekatan berbasis sekolah dan komunitas; dan (3) model C untuk lingkungan kebahasaan yang jumlah penuturnya relatif sedikit dan dengan sebaran terbatas dengan pendekatan berbasis komunitas, keluarga, atau pusat-pusat kegiatan masyarakat.
Ketiga model tersebut dilaksanakan dengan melalui beberapa tahapan, di antaranya (1) koordinasi dan sinergi dengan pemangku kepentingan di daerah agar kemitraan antara pusat dan/ atau melalui unit pelaksana teknis (balai/kantor bahasa) di seluruh Indonesia bersama pemerintah daerah terus berkelanjutan. Hal ini dilakukan sekaligus guna mengokohkan peran utama pemerintah daerah dalam pelestarian dan pengembangan bahasa dan sastra daerah; (2) penyusunan model pembelajaran bahasa daerah yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik bahasa; (3) bimbingan teknis guru utama (master) untuk diimbaskan secara luas kepada rekan sejawat dan peserta didik; (4) diseminasi implementasi program serta pelibatan berbagai pihak untuk turut serta mengambil peran dalam program RBD; (5) pemantauan dan evaluasi serta penjaminan mutu program RBD, serta (6) Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) secara berjenjang sebagai ajang apresiasi dan mengangkat prestise bahasa daerah sekaligus penghargaan kepada generasi tunas muda bahasa daerah yang berbakat dalam mendongeng, menyanyikan lagu daerah, menulis dan membaca puisi, menulis cerita pendek dan surat, membaca dan menulis aksara daerah, berkomedi tunggal, dan juga berpidato.
Dalam implementasi RBD sebagaimana tertera pada Peta Sasaran 2021— 2024 tersebut, tercatat progres partisipasi yang makin meningkat dari berbagai segmen masyarakat, antara lain pemerintah daerah, sekolah, komunitas, sektor swasta, serta pegiat RBD, baik guru utama dan sejawat, pengawas, kepala sekolah, peserta didik, sastrawan, maupun masyarakat akademisi dan umum. Target partisipan RBD dalam rencana strategis Badan Bahasa yang semula ribuan orang, tetapi hingga akhir 2023 jumlah itu telah mencapai 9,6 jutaan orang partisipan (Tabel Partisipan).
Jumlah partisipan dapat terus meningkat seiring peran serta aktif berbagai kalangan serta meluasnya sasaran pelaksanaan RBD di Indonesia mendatang. Peningkatan jumlah partisipan itu menunjukkan bahwa masyarakat, terutama generasi muda usia SD dan SMP penutur jati bahasa daerah, sudah mulai memiliki sikap positif terhadap bahasa daerahnya. Harapannya, penutur muda dapat menjadi penutur aktif bahasa daerah dan pada gilirannya memiliki kemauan untuk (1) mempelajari bahasa daerah dengan penuh sukacita melalui media yang mereka sukai, (2) menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerahnya, (3) menciptakan ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi para penutur bahasa daerah untuk mempertahankan bahasanya, dan (4) menemukan fungsi dan ranah baru dari sebuah bahasa dan sastra daerah. Dengan demikian, kelestarian bahasa daerah akan mencapai titik terang dengan adanya pendekatan dan strategi penghambatan yang tepat untuk memperlambat kepunahan bahasa-bahasa daerah tersebut.
Sumber:
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi