Perkembangan dari Dialek ke Bahasa: Konteks Bahasa Indonesia
Oleh Yusup Irawan, M.Hum.*
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang memungkinkan sebuah dialek berkembang menjadi sebuah bahasa, kita dapat menggunakan teori vitalitas bahasa yang dirumuskan oleh Giles, Bourbies, dan Taylor (Coulmas, 2005: 159). Giles, Bourbes, dan Taylor menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang menentukan vitalitas sebuah bahasa, yaitu faktor demografis, dukungan instituisional, dan status sosial.
Dengan meminjam teori di atas kita dapat menjelaskan bahwa sebuah dialek dapat berkembang jika ia memiliki kekuatan demografis yang signifikan, memiliki dukungan institusional yang memadai, dan memiliki status sosial yang terhormat. Sebaliknya, sebuah dialek dapat mengarah pada kepunahan jika dialek itu memiliki kekuatan demografis yang minim, dukungan institusional yang lemah, dan status sosial yang kurang terhormat.
Faktor demografis mengacu pada ukuran absolut komunitas tutur sebuah dialek dan kekuatannya dalam segi berapa jumlah populasi penutur dan penyebaran: apakah penutur dialek tersebut terkonsentrasi atau tersebar luas ke berbagai wilayah. Jumlah penutur sebuah dialek yang signifikan didukung oleh sebaran yang terkonsentrasi dapat menciptakan ruang komunikasi di antara anggota penutur sebuah dialek sehingga memungkinkan sebuah dialek berkembang. Kedua, dukungan institusional berkaitan dangan kebermanfaatan dialek dalam institusi sosial, misalnya apakah sebuah dialek memiliki eksistensi dalam institusi pendidikan, pemerintahan, media, dan agama. Terakhir, faktor status sosial mengacu pada posisi komunitas tutur dialek tersebut dalam hierarki sosial. Sebuah dialek yang dituturkan oleh sekelompok orang yang memiliki kedudukan terhormat dalam masyarakat akan menjadi acuan dan pilihan kode bahasa bagi kelompok sosial lainnya sehingga dialek tersebut memiliki prestise sosial.
Menurut Meillet (Ayatrohaedi, 2002: 3) faktor-faktor yang dapat mendorong berkembangnya sebuah dialek menjadi bahasa baku adalah faktor politik, faktor kebudayaan dan faktor ekonomi. Kemudian, menurut Guiraud (Ayatrohaedi, 2002: 3) dalam proses berkembang sebuah dialek turut berjasa pula kelompok sosial tertentu seperti kelompok berpendidikan dan kalangan elit masyarakat. Awalnya kelompok sosial ini dwibahasawan. Mereka menggunakan koine, yaitu ungkapan-ungkapan “bahasa baku” sebagai bahasa budaya dan dialek sebagai bahasa rakyat. Koine secara eksklusif digunakan sebagai kode bahasa yang digunakan oleh sesama mereka, tetapi dialek digunakan untuk berkomunikasi dengan rakyat kelas bawah. Pada waktu yang sama masyarakat kelas bawah umumnya ekabahasawan. Mereka hanya berbicara dengan dialek yang digunakan dalam lingkungan mereka. Pada tahap berikutnya, masyarakat elit dan berpendidikan menjadi ekabahasawan. Mereka menghindari pemakaian dialek. Namun, sejalan dengan itu penduduk kelas bawah menjadi dwibahasawan. Mereka menggunakan bahasa baku yang tadi disebut koine jika berkomunikasi dengan masyarakat kelas elit dan menggunakan dialek jika berkomunikasi dengan sesamanya.
Sebagai contoh berkembangnya sebuah dialek adalah yang sekarang kita sebut bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebenarnya secara historis maupun linguistis adalah salah satu dialek bahasa Melayu yang berkembang menjadi sebuah bahasa. Dialek ini berkembang menjadi sebuah bahasa berkat tiga faktor pendukung seperti yang disebutkan oleh Giles, Bourbes dan Taylor yaitu faktor demografis, dukungan instituisional, dan status sosial. Kaitannya dengan faktor demografis, kini bahasa Indonesia dapat dipahami dan diucapkan oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Sedikitnya ada 200 juta orang yang dapat memahami dan menuturkan bahasa Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia pun dipahami dan dituturkan dalam cakupan wilayah yang sangat luas.
Kaitannya dengan dukungan institusional, bahasa Indonsia jelas sekali telah mendapat dukungan negara. Bahasa Indonesia telah dikukuhkan sebagai bahasa negara. Hal tersebut tertuang dalan UUD 1945 pasal 36 bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Dukungan lainnya adalah bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar dunia pendidikan, ilmu pengetahuan dan perhubungan. Dukungan negara yang signifikan lainnya adalah disahkannya UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Selain itu, jauh sebelumnya bahasa Indonesia telah disumpahkan dalam Kongres Pemuda II sebagai bahasa persatuan. Sumpah Pemuda adalah momentum yang sangat historis dan politis yang menjadikan dialek ini menjadi sebuah bahasa.
Selain mendapat dukungan negara, bahasa Indonesia didukung pula institusi-institusi yang mengajarkan, mengembangkan, dan membina bahasa Indonesia. Banyak perguruan tinggi yang membuka program studi bahasa Indonesia. Ada Badan Bahasa yang bertugas mengembangkan dan membina bahasa Indonesia. Kini Badan Bahasa bertugas pula mendiplomasikan bahasa Indonesia baik ke dalam, maupun ke luar negeri.
Banyaknya dukungan institusional membuat bahasa Indonesia terangkat status sosialnya. Bahasa Indonesia terangkat derajatnya menjadi bahasa yang paling bermartabat di Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling banyak dan paling sering diajarkan di Indonesia. Bahasa yang paling banyak digunakan media massa. Bahasa yang paling banyak di teliti. Bahasa yang paling banyak memiliki pakar dan pengajar. Bahasa paling banyak dideskripsikan dalam buku dan kamus. Kemudian bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling progresif menyerap kosakata. Bahasa Indonesia menyerap berbagai kata dari berbagai bahasa baik dari bahasa-bahasa daerah yang hidup di Nusantara, maupun dari bahasa-bahasa asing. Semakin banyak ‘kosakata asing’ yang diserap, semakin semakin jauhlah perbedaannya dengan bahasa Melayu. Ditambah lagi bahasa Indonesia menyerap pula bunyi-bunyi dari bahasa lain berikut fonotaktikny. Bunyi [z] adalah salah satu bunyi yang diserap dari bahasa asing.
Adanya perkembangan yang sangat siginifikan pada bahasa Indonesia membentuk karakterisik yang berbeda dengan bahasa induknya, yaitu bahasa Melayu. Bahasa Indonesia telah melampaui bahasa induknya sehingga bahasa Indonesia bukan lagi dialek Melayu, melainkan sudah menjadi bahasa yang independen.
Daftar Pustaka
Ayatrohaedi, 2002. Pedoman Penelitian Dialektologi. Jakarta: Pusat Bahasa.
Coulmas, Florian. 2005. Sociolinguistics: The Study of Speakers’ Choices. New York: Cambridge University Press.
Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
*Penulis adalah peneliti bahasa di Balai Bahasa Jawa Barat