oleh Hermin
Malam menunjukkan pukul 20.30. Saat itu aku, anakku yang paling kecil, dan suamiku sedang tidur-tiduran di teras rumah beralaskan tikar sambil mendengarkan alunan lagu bergenre pop religi berjudul “Thank You Allah”yang dilantunkan oleh Maher Zain.
Sementara itu, anak yang nomor dua sedang mencuci kostum yang besok akan dipakainya di sekolah dalam tugas menampilkan tarian “Cangkul-Cangkul” bersama teman satu kelompoknya di tempat mencuci.
O, ya, pembaca, tempat mencuci di rumah kami memang terletak di teras depan dan memang itulah satu-satunya teras rumah kami. Tidak ada teras samping atau teras belakang. Maklum, kami tinggal di perumahan dengan tipe sederhana.
Tiba-tiba terdengar deru sepeda motor cukup keras yang lantas berhenti di dekat rumah kami. Tak ingin kehilangan kenyamanan berbaring-baring, aku berusaha menepis kemungkinan bahwa yang datang adalah tamu yang hendak mengunjungi kami.
Ah, paling-paling itu teman anakku paling besar yang karena lelah latihan pramuka di SMP-nya kini ia telah tidur. … atau kalau tidak, paling-paling teman putera tertua Pakde yang tinggal di sebelah rumah.
Aku pun hanya berucap pada si bungsu, “Coba, De, tolong Ade lihat. Itu teman Mas atau bukan?”
Anakku pun segera bangkit menuruti permintaanku. Ia melongokkan kepalanya melalui pagar teras rumah yang hanya setinggi dagunya.
Saat yang bersamaan, suamiku menerima panggilan telepon.
Anakku nomor dua berucap sambil tangannya terus memeras pakaian dengan cara masing-masing tangannya memutar kedua ujung pakaian basah dalam genggaman tangannya ke arah yang saling berlawanan, “Ibu, Ibu, kecilin lagunya, ayah ada telepon.”
Tidak hanya kukecilkan, musik kumatikan.
Tak lama setelahnya aku pun mafhum seraya tertawa tertahan karena ternyata suamiku menerima telepon dari orang yang turun dari motor di dekat rumah kami tadi.
Aku yang saat itu tidak mengenakan penutup kepala dengan agak tergesa-gesa masuk ke dalam rumah untuk mengenakan kerudung. Untung lampu teras rumah kami agak temaram. Ditambah rimbunan pohon salam, sawo, mangga, dan srikaya di pinggir selokan depan rumah yang daun-daunnya menjadi penudung alami teras kami dari pandangan langsung orang-orang yang lalu lalang.
Dari dalam rumah terdengar bincang-bincang suamiku dengan sang tamu. O, seperti yang sudah kuduga. Tamu yang datang itu mencari rumah kontrakan. Memang di depan rumah kami ada rumah milik ibuku yang ditulisi dengan tulisan yang cukup besar “Dikontrakan”.
Memang begitu tulisan yang tercantum di sana. “Dikontrakan” dengan satu “k”. Suamiku yang mengetiknya di kantor. Suamiku tidak begitu memahami soal kaidah penggunaan bahasa walaupun istrinya adalah seorang guru bahasa Indonesia. Kalau aku yang mengetik, insyaAllah tidak akan keliru. Kata tersebut akan kutik: “Dikontrakkan” dengan dua “k”. “K” yang pertama milik kata “kontrak” dan “k” yang kedua milik konfiks (imbuhan gabung) “di-kan”. Aku tiba-tiba teringat dengan kekeliruan lain penggunaan bahasa. Sebuah tulisan di atas papan dipancangkan pada sebuah lahan kosong di dekat rumah ibuku. Tulisan itu bunyinya: Dijuwal. Hehee…, mungkin penulisnya ingin memberikan penekanan pada kesungguhannya menjual tanah tersebut sehingga perlu memberi tasydid sehingga mengeksplisitkan bunyi luncur “w” pada kata yang ditulisnya.
Ibuku yang tinggal cukup jauh tetapi masih sekota dengan kami telah memasrahkan rumah itu kepada kami bila ada orang-orang yang bermaksud mencari rumah kontrakan. Akan tetapi, tidak demikian dengan masalah harganya. Ibuku telah mematok harga tertentu yang menurut orang-orang berada cukup jauh di atas rata-rata. Mau bagaimana lagi. Kami tidak memiliki wewenang untuk menurunkannya. Bila ada yang hendak menawar, biasanya kami menawari si calon pengontrak untuk menegosiasikan harga langsung kepada ibu kami per telepon atau pun datang sendiri menemui beliau.
***
Sore tadi, saat aku hendak keluar naik motor dengan suami ke bengkel sepeda tempat sepeda anak kami dititipkan untuk diganti gading-gading roda (pelek) dan anak jentera (ruji)nya, sempat terpikir olehku, kapan, yaa, rumah mbah (panggilan anak-anakku kepada ibuku) ada yang mengontrak …, sudah empat belas bulan rumah itu terbiarkan kosong.
Mulanya, kami memang tinggal di sana, di rumah milik ibuku. Kami tinggal di sana sejak tahun 2005. Saat itu, bangunannya masih sangat sederhana, belum seperti sekarang. Rumah yang kini kami tempati adalah rumah yang kami beli dan letaknya berseberangan dengan rumah ibuku yang hendak dikontrakkan. Dulu, rumah itu kami kontrakkan. Tiga tahun dikontrak oleh keluarga yang sama. Sampai kemudian kami memutuskan untuk mohon izin kepada orang yang mengontrak rumah kami untuk merehab rumah tersebut dan setelahnya akan kami tempati sendiri.
Pada bulan Agustus 2014, satu hari setelah iedul fitri, kami pun meninggalkan rumah ibu dan tinggal di rumah milik kami sendiri setelah sebelumnya dipugar dengan dana yang bagiku tidak sedikit. Untuk memperoleh dana itu, aku harus meminjam uang di bank dengan bunga per bulan separuhnya sendiri dari pokok utang yang harus kami cicil. Yah, mau bagaimana lagi. Kami ingin memiliki dan tinggal di rumah yang lebih nyaman dan layak.
***
… Setelah selesai mengenakan kerudung, aku pun melangkah keluar untuk kembali menuju teras. Ternyata tamuku tidak masuk, hanya berdiri-berdiri di halaman depan rumah sambil sesekali matanya dilayangkan ke arah rumah kontrakan.
Tamuku ternyata seorang ibu yang sedang hamil dengan usia kehamilan sekitar tujuh atau delapan bulan beserta suaminya. Ada pula dua orang lain yang rupanya telah dikenal oleh suamiku sebagai tetangga kami beda blok yang rupanya mengantar pasangan suami istri tersebut ke rumah kami.
Ternyata benar, sepasang suami istri itu bermaksud mencari kontrakan. Si istri sebetulnya ingin sekali diizinkan untuk melihat kondisi rumah tidak hanya dari luar, melainkan memeriksa hingga ke dalamnya. Akan tetapi, suamiku tidak mengizinkan.
Aku paham, sekali waktu dulu ia pernah mengatakan, “Kalau ada orang yang bertanya-tanya soal rumah, tidak usah dibukakan pintu, “capek”.
Aku tidak berani membantah waktu itu. Kudiamkan saja. Mungkin suamiku sedang kesal.
Cukup banyak memang orang-orang yang menelepon suamiku menanyakan soal rumah kontrakan. Itu karena nomor teleponnya tercantum di jendela rumah yang hendak dikontrakkan sebagai nomor yang dapat dihubungi.
Yang datang langsung pun biasanya sebatas datang, bertanya-tanya, melihat-lihat, lantas menawar dengan harga yang rendah, lalu tidak jadi. Ibuku memang menginginkan harga yang lebih layak sementara calon pengontrak ingin membeli kenyamanan dengan harga yang kalau bisa serendah-rendahnya. Itulah hukum dagang. Penjual menginginkan harga setinggi-tingginya. Pembeli menghendaki harga serendah-rendahnya.
Selain alasan “capek” tadi, logikanya, malam hari kondisinya tidak seperti siang hari. Apa yang dilihat pada malam hari tidaklah sejelas bila dilihat pada siang hari.
“Besok siang saja, Bu” tukas suamiku. Singkat, lugas. Kadang-kadang ke-Jawa Timuran-nya muncul dalam bentuk bicara yang bagi orang Jawa Barat khususnya Sunda mungkin terasa kurang halus/luwes.
Ibu hamil yang hendak melihat rumah ibuku pun akhirnya mengalah. “Ya sudah, besok sore nanti ke sini lagi.”
Mereka pun berpamitan kepada kami tanpa bersalaman. Kami hanya saling mengangguk dan melempar senyum kecil dari tempat berdiri kami masing-masing.
***
Aku masuk. Anakku yang nomor dua telah selesai mencuci kostum tari “Cangkul-Cangkul-nya”. Ia ikut masuk. Yang kecil masih ingin menemani ayahnya tidur-tiduran di teras. Suamiku melarang dan menyuruhnya masuk.
Kesal karena keinginannya ditentang, anakku paling kecil masuk sambil mengomel, “Tidur, tidur, ….” Bibirnya yang mungil itu terlihat lucu karena manyun.
Kuajak ia naik ke tempat tidur. Aku sendiri berbaring di sampingnya sambil membaca buku Ismail Marahimin yang berjudul Menulis Secara Populer dan membacanya dalam hati dari halaman yang kuberi batas. Aku tahu ia masih kesal. Untuk meredakan rasa kesalnya, sambil terus memegang buku yang kubaca, aku pun mengajaknya berdialog dengan menirukan suara apa saja yang lucu-lucu sambil sesekali kutolehkan kepalaku ke arahnya. Sesekali ia tertawa kecil. Wajahnya mulai kembali ceria.
Kuteruskan kembali aktivitasku membaca. Anakku pun tampaknya telah mulai mengantuk. Tiba-tiba, muncul begitu saja ide di pikiranku untuk iseng-iseng bertanya kepada putera bungsuku. Dengan tanpa melihat wajahnya, aku pun melontarkan sejumlah pertanyaan yang sebenarnyalah aku tak terlalu berharap ia memberikan jawaban. Hanya ingin bertanya saja. “De, coba jawab pertanyaan ibu,” tanyaku tanpa melepaskan tatapanku pada buku yang kubaca.
“Pertanyaan pertama, coba Dede jawab apakah kira-kira besok sore ibu tadi datang lagi buat melihat rumah kontrakan?”
Tanpa menunggu jawabannya segera kusambar dengan pertanyaan berikutnya. “Pertanyaan kedua, kalau ibu itu datang lagi, apakah dia bakal jadi mengontrak rumah?”
“Pertanyaan ketiga, kalau ibu itu jadi mengontrak rumah, apakah ibu itu akan betah tinggal di sana?”
“Pertanyaan keempat, kalau ternyata ibu itu betah, apakah ia bakal melanjutkan kontrakan di tahun berikutnya?”
“Pertanyaan kelima, kalau ia kembali mengontrak rumah di tahun berikutnya, apakah ia setuju bila ternyata harga kontrakan dinaikkan?”
“Pertanyaan keenam, bila ternyata ia setuju harga kontrakan dinaikkan, …,” tak jadi kulanjutkan pertanyaanku.
“… sudahlah, kita tunggu saja besok,” ucapku seraya memutar tubuhku yang semula telentang 90 derajat ke kiri, ke arah putera bungsuku.
Aih, kulihat matanya sudah terpejam. Ia telah terlelap rupanya. Aktivitasnya bersekolah, bermain, dan mengaji pada sore hari tadi tentu membuat tubuh mungilnya kini memerlukan istirahat.
Baiklah, aku pun bangkit menuju kamar untuk mengambil laptop dan mengetik apa yang baru saja kami lewati malam ini.
Semoga esok, Allah yang Mahabaik memberi keputusan terbaik. Jika baik bagi kami dan pengontrak itu, semoga Allah memberi ketetapan hati kepada pasangan suami-istri tadi untuk jadi mengontrak rumah ibu kami dengan harga yang sesuai.
… dan bila orang itu jadi mengontrak rumah, …. Ah, Islam tak mengajarkan umatnya untuk berandai-andai.
*****
Cirebon, 17 Oktober 2015
Penulis adalah guru bahasa Indonesia SMA Negeri 7 Cirebon; alumnus Pacasarjana Universitas Swadaya Gunungjati Cirebon.