SASTRA POPULER BUKAN SASTRA PINGGIRAN INDONESIA
Oleh Iwan Ridwan*
Sastra populer seolah dibaptis sejak dulu. Menjadi sastra bermutu rendah, sekadar hiburan, dan remeh-temeh. Hal ini tak terlepas dari stigma kolonial. Alhasil, sempat terjadi dualisme bacaan: bacaan pasar melayu-rendah (rakyat) dan bacaan melayu-tinggi (elite Pemerintah).
Tak ayal, sejak dulu bacaan sastra telah bercorak politik etis Pemerintah atas karya-karya peranakan Tionghoa dan aktivis pergerakan. Sastra yang dianggap kontra pemerintah harus dimusnahkan dan dilarang peredarannya di Hindia. Ini pun diperkuat dengan didirikannya komisi bacaan rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) pada 1908, sebelum akhirnya ditangani Balai Pustaka (1908-1942).
Sejarah kelam itu terlipat di zaman yang serba demokratis seperti sekarang. Revolusi industri elektronik abad 19 di Eropa dan kebebasan pers di Indonesia menandai berakhirnya segala keterkurungan rakyat untuk membaca dan mengkaji bacaan-bacaan yang dulu dianggap liar seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer ataupun Mas Marco Kartodikromo.
Inilah yang dikatakan Teeuw (1983) sebagai era sastra modern yang telah menjadi urusan “si pembaca” secara individual karena mayoritas masyarakat telah melek huruf. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 menyatakan, angka melek huruf di atas usia 15 tahun mencapai 96,07%. Namun, sayang, dari sisi angka minat baca, Indonesia masih menempati posisi yang memprihatinkan dibandingkan dengan negara lain. Menurut Unesco (2012), angka minat baca di Indonesia adalah 0,001. Artinya, hanya ada 1 dari 1.000 orang penduduk Indonesia yang memiliki minat baca serius.
Hal ini jungkir balik dengan penerbit buku kita. Pada 2015, IKAPI menyatakan bahwa jumlah penerbit Indonesia mencapai 1.328. Angka ini naik setelah sebelumnya berkisar 1.309 pada 2014, 1.228 pada 2013, dan 1.158 pada 2012. Dari peringkat penjualan buku dari penerbit Gramedia, misalnya, buku anak menduduki posisi pertama dibandingkan dengan buku masakan di urutan terakhir. Penjualan buku anak pada 2014 mencapai 10.135.778 eksemplar, sedangkan buku fiksi berkisar 3.264.185.
Itulah yang kini terjadi di Indonesia, dengan pembaca yang tidak homogen dari segi usia, gender, ataupun latar belakang pendidikan. Heterogennya pembaca sastra Indonesia sesuai dengan fitrah bangsa yang multikultural. Karenanya, kehadiran sastra populer dalam dinamika sastra Indonesia juga berurusan dengan pembaca itu sendiri.
Heterogenitas Sastra Indonesia
Kita kenal jenis-jenis karya sastra seperti sastra anak, sastra remaja, sastra dewasa, sastra populer, atau sastra adiluhung. Namun, selama ini kita masih terjebak dalam menilai suatu jenis sastra yang dikelompokkan para ahli untuk kemudahan klasifikasi (dalam arti tidak hierarkis) pada kacamata yang keliru.
Misalnya, kita masih memakai kaca mata sastra adiluhung dan mencap sastra populer itu murahan, tak berkualitas. Bahkan, mungkin pembacanya juga tak diperhitungkan. Inilah yang mengakibatkan mengapa sastra populer sering “diduelkan” dengan sastra adiluhung/kanon. Seolah ada hierarkis, sama halnya bekas pemerintahan dulu yang sentralistik.
Jika demikian, marilah kita beranjak dari penilaian yang sempit dan seragam kepada pola pikir emik (perspektif antropologi) bahwa karya sastra harus dilihat berdasarkan kelompoknya. Artinya, sastra populer dinilai dari kacamata sastra popoler, sastra anak dari sastra anak. Jangan sampai karya-karya sastra populer dikerdilkan. Ataupun lebih pedasnya tersirat dari pernyataan Budi Darma (1973) dalam esai Tidak Diperlukan Sastra Madya.
Budi Darma masih memakai kaca mata miring dalam menilai sastra yang dikategorikannya pertengahan (madya). Para pengarang semacam Habiburrahman El Shirazy, Asma Nadia, Marga T., dan Andrea Hirata tentu harus diberikan catatan tersendiri dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Coba bayangkan, ketika sastra Indonesia hanya melulu sastra adiluhung dan segmen pembacanya terbatas dan tak menyentuh kalangan masyarakat luas; akan seperti apa itu sastra. Membosankan dan menjengkelkan, tampaknya.
Bukan Sastra Pinggiran
Karena itu, asumsi sastra populer itu hanya sastra pinggiran Indonesia harus disingkirkan. Sebab, ia ikut memperluas khazanah kesusastraan Indonesia sejak pra 1930-an (Sumardjo, 2004). Sastra populer boleh saja dimaknai sastra hiburan massa yang berkenaan dengan budaya populer (popular culture). Hanya saja, jangan dioposisikan dengan sastra adiluhung/kanon yang juga memiliki kelompok pembacanya. Tak tertutup kemungkinan, pembaca sastra populer juga pembaca sastra adiluhung. Sastrawan adiluhung juga sastrawan populer.
Sebagai contoh, selama ini kita mengenal Motinggue Busye karena lakon monumentalnya berjudul Malam Jahanam. Lakon yang sukses mengantarkan dirinya menjadi sastrawan (dramawan) terkemuka di Indonesia. Namun, Motinggue juga menulis sastra populer. Tidak salah, jika Jakob Sumardjo (1999) kemudian memberikan ikrar bahwa puncak keemasan novel-novel populer di Indonesia terjadi di era 1960-an dengan karya-karya Motinggue Busye dan Darmo Ario.
Terlepas dari kecaman para pengarang lainnya seperti Hamka, Taufik, dsb. atas “penyimpangan” Motinggue menulis sastra populer, kehadiran karya-karya sastra populernya turut memberikan kontribusi dalam jagat kesusastraan Indonesia. Hal inilah yang harusnya dipertimbangkan dalam pemberian mutu/kualitas karya, jika seseorang masih sangat berpatok pada pandangan yang keliru. Sastra populer dalam sastra adiluhung dan sastra adiluhung dalam sastra populer.
Jika kita mengira sastra populer itu rendah, tengoklah pemenang sayembara penulisan novel DKJ 2014. Novel Kambing Hujan (Bentang Pustaka, 2015), bergenre populer islami menjadi pemenang dalam ajang itu. Ataupun secara tak terduga, tiba-tiba Norman Erikson Pasaribu menyulut amarah para sastrawan/kritikus sastra setelah menjadi pemenang sayembara manuskrip puisi DKJ 2015 dengan puisi laporannya.
Dengan demikian, tak ada lagi hierarkis dalam kesusastraan Indonesia. Semuanya berprinsip bahwa masing-masing jenis karya sastra memiliki segmen pembaca tersendiri (novel-novel islami, teenlit, chicklit, ladlit ataupun mamlit). Lagi-lagi pembaca sastra Indonesia begitu plural dan heterogen. Maka dari itu, perlu dipertegas, sastra populer bukanlah sastra pinggiran Indonesia. Waspadalah!
*Penulis adalah Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI. Menulis Esai dan Puisi. Tulisannya pernah termuat di Analisa, Fajar Sumatra, Media Indonesia, Koran Sindo, Koran Madura, Koran Merapi, Riau Pos, Suara Karya.