Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing

Menuju Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi

Kontak Aduan & Layanan
082130165377
Pengaduan ULT
Artikel Artikel/KTI Sastra

Sastra Sekolah dan Sekolah Sastra

Di usia 70 tahun kemerdekaan kita, belum ditemukan lembaga formal di tingkat dasar hingga menengah atas yang secara terbuka menamai dirinya sekolah sastra dan mengeluarkan produk sastra sekolah seperti antologi puisi, cerpen, ataupun novel dari para siswanya. Sampai saat ini, hal itu ibarat fatamorgana di tanah datar. Bahkan, dipersulit dengan pengajaran sastra di sekolah yang terus merosot.

Hal ini senada dengan yang diwartakan Kompas rubrik “Kesusastraan” (1/2). Dalam berita tersebut dikatakan bahwa pengajaran bahasa dan sastra terus merosot. Kondisi ini menyulut kegeraman Taufik Ismail ketika memberikan sambutannya dalam acara peluncuran buku Antologi Puisi Resonansi Tiga Hati karya Yeni Fatmawati, Donny E. Saputra, dan Lies Wijayanti, sabtu (30/1) di Jakarta.

Kualitas menjadi sorotan bagaimana pengajaran bahasa dan sastra dinilai terus mengalami kemerosotan sejak hampir 70 tahun lalu. “Bahasa dan sastra dari tingkat SD, SMP, sampai SMA sejak tahun 1950 sangat dicondongkan ke pengajaran tata bahasa. Adapun materi tentang kesastraan sangat minim”, kata Bang Taufik.

Kemudian ada pernyataan Bang Taufik yang menggelitik. Begini bunyinya: “Ketika ditanya kepada siswa pelajaran apa yang paling membosankan, mereka akan serempak menjawab: Bahasa Indonesia!”

Pernyataan berdimensi sindiran ini ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dalam pengajaran bahasa dan sastra di sekolah. Dalam hal ini, guru bahasa Indonesia dituntut untuk tidak patah semangat dalam mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia. Pengajaran terhadap siswa diharapkan tidak terlalu berkutat pada persoalan definisi-definisi. Menghafal berjubel imbuhan ataupun serangkaian majas tanpa diringi penerapan yang nyata.

Selain itu, pemerintah dan kementerian terkait harus segera merespons dualisme kurikulum yang sekarang ini diterapkan di sekolah-sekolah dasar hingga menengah atas. Kurikulum Nasional (Kurnas) 2019 nanti harus mengevaluasi kelemahan kurikulum sebelumnya yang kini diterapkan, yakni kurikulum KTSP 2006 dan kurikulum 2013 (Kurtilas).

 

Sastra Sekolah

Mencermati bagaimana bahasan sastra di SD hingga SMA dari kedua kurikulum yang ada, memang niat pemerintah cukup baik yakni membiasakan siswa membaca teks. Di level SD, siswa diperkenalkan puisi lama seperti gurindam, pantun, syair dan diajak mengambil hikmah di balik karya sastra tersebut. Tak luput, siswa pun diajak berkelana dengan cerita rakyat, binatang dan manusia. Di level SMP, siswa digiring mengetahui dan memahami bagaimana cerita pendek Indonesia modern, mengenal kehidupan para pengarang, dan membedah struktur karya sastra. Beranjak ke tingkat SMA, siswa sudah dihadapkan pada upaya kreatif agar bahasa dapat disulap ke dalam berbagai bentuk seperti puisi dan prosa.

Akan tetapi, sayangnya bahasa dan sastra Indonesia dalam KTSP dan Kurtilas menyimpan masalah yang sama. Masih menjenuhkan siswa! Hal ini terlihat dari pengajaran bahasa Indonesia yang masih terkesan monoton di setiap tahunnya. Siswa dihadapkan pada teks yang berderet panjang. Paragraf yang menjenuhkan untuk menjawab lima sampai sepuluh soal. Bagaimana tidak, pengajaran bahasa dan sastra sekolah meliputi evaluasi tugas dan ujiannya diperlakukan secara variatif dan fungsional. Membebaskan eksplorasi siswa terhadap bahasa dan sastra dalam praktik yang nyata.

Dalam hal ini, sastra sekolah dapat dimaknai sebagai upaya penciptaan produk-produk sastra yang tercipta di lingkungan sekolah (SD sampai dengan SMA). Entah itu proses kreatif menulis karya sastra hingga apresiasi sastra seperti pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi puisi/prosa, dan pementasan drama.

 

Sekolah Sastra

Paradigma bahwa sastra itu tidak penting harus disingkirkan dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Para guru harus menjadi figur untuk giat membaca dan menulis. Sehingga para siswa dapat mencontoh sang guru sebagai manusia yang digugu jeung ditiru (yang dipatuhi dan dicontoh).

Tak hanya guru, masyarakat dan pemerintah harus mulai melirik sastra dan potensinya untuk mengembangkan negara ini. Hal ini amat penting mengingat bahasa/sastra mencerminkan identitas suatu bangsa. Kita bisa meniru bangsa Cina yang begitu istimewa mencintai sastra dalam kehidupannya.

Sastra bagi masyarakat Cina kata Mochtar Lubis (dalam Lan, 2003) merupakan suatu kaidah dalam menjalankan kehidupan, baik itu dalam cerita rakyat, nyanyian tradisional, maupun cerita silat. Sastra mengalahkan ilmu-ilmu eksak karena dianggap lebih penting untuk pembangunan bangsa.

Sama halnya Cina, Indonesia sangat potensial untuk mengembangkan sekolah sastra di seluruh penjuru Nusantara. Paling tidak, ada beberapa komunitas dan sejenisnya yang masih mau melibatkan diri dalam segala aktivitas sastra, baik itu membaca buku-buku sastra, mengkaji karya sastra, maupun menulis karya sastra.

Gerakan sastra masuk sekolah harus kembali digelorakan agar pengajaran sastra tetap hidup dan lestari di sekolah. Semua lembaga dan komunitas sastra, termasuk yang ada di lingkungan Perguruan Tinggi harus menciptakan iklim sastra yang konsisten. Menyebarkan virus betapa pentingnya sastra dalam kehidupan.

Sastra tidak harus dipandang pipih sebagai pemberi hiburan/kesenangan (dulce et utile) semata, tetapi lebih dari itu. Sastra harus kita yakini mampu mencetak generasi emas bangsa yang kritis, kreatif, dan berdaya saing tinggi lewat pengajaran sastra di sekolah yang gemilang. Dalam hal ini, peran pemerintah dan media massa ikut menentukan bagaimana sastra terus bergulir dan tetap eksis. Di tingkat SD hingga SMA.

Media massa harus tetap menjaga konsistensinya dalam membuka rubrik-rubrik sastra untuk anak, remaja, dan dewasa. Pemerintah dan Lembaga Kesenian harus memudahkan akses buku-buku sastra di sekolah. Meningkatkan kapasitas dan kualitas secara merata di seluruh Nusantara. Dengan demikian, sastra produk sekolah dengan intensifikasi sekolah sastra akan melahirkan pengarang dan penyair besar seperti Budi Darma, Chairil, Pramoedya, Rendara Utuy Tatang Sontani, Sutardji, dan sederet nama tenar lainnya yang tercantum dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Semoga!

 

Ditulis oleh Iwan Ridwan*

*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI. Menulis Esai dan Puisi. Tulisannya pernah termuat di Media Indonesia, Koran Sindo, Koran Madura, Koran Merapi, Analisa, dan Riau Pos.

 

×

 

Hallo!

Klik kontak kami di bawah ini untuk mengobrol di WhatsApp/p>

× Apa yang bisa kami bantu?