Oleh Iwan Ridwan*
Etnis Tionghoa-Indonesia tengah bergembira merayakan tahun baru imlek dengan tenang. Tak ada lagi penindasan dan bayang-bayang pembantaian. Perayaan sakral yang tiap tahun rutin dilaksanakan. Indonesia dan Tionghoa menjadi narasi yang tak terpisahkan dalam perjalanan lahirnya bangsa ini. Mereka telah mewarnai kehidupan kita jauh sebelum kolonialisasi Belanda.
Dalam perspektif Nio Joe Lan (2003), orang Cina lebih memilih merantau ke luar negeri dan tak sedikit mereka menetap dan menjadi warga suatu negara seperti di Indonesia dan Amerika. Dari asal-usulnya, terdapat empat golongan Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia, yakni Hokkian, Teo-Chiu, Hakka, dan Katon. Mereka semua berasal dari Cina Selatan. Dibandingkan ketiga golongan lainnya, orang-orang Hokkianlah yang paling lama menetap sejak abad ke-16.
Mereka pun membawa tradisi dan kesenian, sehingga terjadilah asimilasi budaya. Maka jangan heran, banyak istilah dan tradisi yang tidak kita sadari merupakan kreasi dari proses percampuran budaya tersebut. Siapa yang tak kenal angpao, bakpao, bihun, cawan, kwetiau, tahu, termasuk pertunjukan barongsai dan perahu naga yang menawan.
Indonesia dan Cina merupakan negara yang pernah merasakan penjajahan dan peretasan kekuasaan. Cina dikenal sebagai “negara dengan seratus dinasti”. Penguasa di Cina selalu berganti-ganti dengan rentang waktu kekuasaan yang sangat bervariasi. Pemikiran filsafat yang sangat terkenal di Cina adalah Taoisme dan Confucianisme. Taoisme menekankan keserasian dan keseimbangan antara manusia dan alam, serta menjunjung tinggi perilaku pasif. Confucianisme menekankan pentingnya hubungan yang etis-estetis dan keagungan manusia (Wiriaatmadja, 2003).
Estetika Tionghoa-Indonesia
Pandangan suatu bangsa pada makna keindahan tentu berbeda-beda. Jika di India konsep rasa merupakan kata kunci pemikiran estetik, maka di Tiongkok pengertian tao-lah yang melandasi segala refleksi tentang seni dan moral. Pemikiran estetik di Tiongkok (Cina) menurut Hartoko (1984: 73) tidak langsung diarahkan kepada drama dan psikologi, melainkan kepada seni lukis, seni musik, dan moral.
Sama halnya Cina, Indonesia merupakan pabrik estetika yang menghasilkan beragam karya sastra dengan jenis yang hampir sama. Ada puisi lama dan berbagai cerita rakyat yang unik dan menarik. Hal tersebut menunjukkan bahwa sastra mampu menjadi identitas tinggi-rendahnya suatu bangsa.
Di Cina, sastra dijadikan ujian untuk menjadi seorang pegawai negeri, kegiatan ini sering disebut sebagai ujian sastra (ujian kenegaraan). Akibatnya, banyak terkumpul karya sastra khususnya sajak-sajak. Salah satu sastra tertua Cina adalah kitab Nyanyian (Shing Ching). Kitab ini berisi 305 sajak-sajak yang dihimpun oleh “pemetik sajak” dan dipilih oleh confusius (filsuf) (Lan, 2003).
Mochtar Lubis (dalam Lan, 2003) mengatakan, sastra bagi masyarakat Cina merupakan suatu kaidah dalam menjalankan kehidupan, baik itu dalam cerita rakyat, nyanyian tradisional maupun cerita silat. Sementara itu, pada masyarakat lama di Indonesia, terutama di lingkungan suku-suku, sastra yang berupa cerita rakyat, seperti mitos, legenda, mantra, dan sajak berfungsi sebagai ajaran tata kosmos berdasarkan kepercayaan suku (Sumardjo, 2004: 252).
Sastra Tionghoa-Indonesia
Sejarah membuktikan, Cina merupakan sumber peradaban bagi banyak bangsa yang hidup di Asia Timur seperti Korea, Jepang, dan Vietnam. Namun, pengaruh Cina tak sesempit lahan parkir karena pancaran cahaya peradabannya juga mencapai Tibet, Mongolia, Asia Tengah, dan Asia Tenggara (Taniputra, 2008).
Pengaruh Cina bagi bangsa Timur cukup dominan, tak terkecuali di Indonesia. Baru-baru ini seolah ada wacana “Cina-isasi” karena kemunculan pekerja tenaga asing asal Tiongkok. Namun, jangan sampai masyarakat terjebak dengan etnosentrisme, sehingga masyarakat peranakan Tionghoa yang sudah lama menjadi warga negara Indonesia disamaratakan dengan konteks tersebut. Sebab, dalam dunia sastra, sastra peranakan Tionghoa di Indonesia turut berkontribusi untuk khazanah kesusastraan Indonesia.
Claudine Salmon (1981) melalui penelitiannya mencatat, ada 806 sastrawan Tionghoa yang telah menulis 3.005 karya sastra di Indonesia. Namun, sejarah kesusastraan melukisnya sebagai bacaan pasar karena bahasanya tergolong melayu rendah dan terkesan vulgar, hingga dicap “bacaan liar” oleh Belanda. Alhasil, terlahir beragam sebutan untuk sastra Cina di Indonesia seperti Sastra Indonesia-Tionghoa, Sastra Melayu Rendah, Sastra Cina Peranakan, atau Sastra Melayu-Tionghoa.
Sejak era 1870-an, tercatat beberapa karya fenomenal Tionghoa yang erat dengan masyarakat pembacanya, khususnya keterbutuhan bacaan peranakan Tionghoa saat itu. Ada Sam Pek Eng Tay yang laris sekitar 1880-1950’an, setelah sebelumnya menyebar secara lisan di lingkungan kaum peranakan Tionghoa di Indonesia. Cerita ini pun telah difilmkan pada 1931-1936. Selain itu, masih banyak cerita yang pernah populer seperti Sam Kok, Ang Dok, Sun Go Kong, Ouw Peh Coa, Oiej Se yang sering dimainkan dalam teater tradisional (Stambul), dan novel Njai Soemirah (Sumardjo, 2004).
Selepas 1980, kita mengenal novelis wanita asal etnis Tionghoa seperti Mira W., Marga T., yang sukses dengan motif romantisisme dan idealismenya. Berkaca dari kondisi tersebut, terdapat benang merah antara sastra Indonesia dan Tionghoa, baik dari segi historis genre, maupun motif estetik yang dikembangkannya. Bahkan, film rintisan Ernest Prakarsa seperti Ngenest (2015) dan Cek Toko Sebelah (2016), seorang peranakan Tionghoa laris ditonton dan begitu memikat masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, sastra turut berkontribusi dalam peradaban umat manusia. Hal ini terlihat dari penyair, pengarang, penulis skenario film yang terlahir di setiap zaman, yang mengusung misi dan semangat yang berbeda tetapi tetap dalam naungan yang sama: cinta negara! Semoga ada faedah yang dapat kita tarik di balik kedekatan estetik sastra Tionghoa-Indonesia, terutama dalam perkembangan kesusastraan Indonesia di masa mendatang.
*Bergiat di Sanggar budidaya Linguistik (SBL) UPI. Menulis Esai. Tulisannya pernah termuat di Media Indonesia, Koran Sindo, Koran Madura, Koran Merapi, Analisa, dan Riau Pos.