Rahma Maullya
“Zeth,” aku berteriak memanggilnya.
“Masalah sekolah hmm?” tanya Zeth ketika menghampiriku dan melihat wajah malasku.
“Itu semua berawal dari ibuku dan ketidakberuntungan nilai tesku, Zeth!” jawabku sambil mengambil busur lalu memasangkan anak panah. “Bahkan aku tidak pernah mendapatkan nilai lebih dari C.”
“Kau hanya perlu berusaha, aku yakin kau pasti bi…“
Aku memotong ucapan Zeth, “Aku merasa takdirku bukan di sana! Aku ini penderita GPPH—gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas—, tolong mengertilah, aku tidak bisa konsentrasi dalam belajar!” Aku menembakkan panahku ke target yang sudah dipasang berjarak 30 meter dari tempatku berdiri.
“Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, pada bidangnya masing masing. Kau hanya perlu memanfaatkan kelebihan yang kau miliki dengan baik. Coba sekarang kau bayangkan, Nan, sekolah terbaik di New York,” Zeth menjelaskan. “Kau beruntung bisa masuk ke sana. Masih banyak orang di luar yang bersaing untuk masuk ke sana. Jangan sia-siakan itu!”
“Tolong jangan bahas masalah itu, aku benar-benar bosan.”
“Tapi, Nan…“
“Ini berbeda,” kataku lugas. “Kau masuk ke sana karena keinginanmu, sedangkan aku masuk ke sana karena perintah dan ketidakberuntungan.”
Zeth terdiam dan memilih untuk menjauh, apa sebabnya karena dia tidak bisa menjawabku atau dia sudah lelah dengan ucapanku aku tidak tahu. Aku hanya melanjutkan latihanku, menembakkan panah-panah yang tersisa dalam wadah panahku. Tapi tidak ada satupun panahku yang menancap tepat di tengah-tengah target. Semuanya berantakan, sementara langit di atasku semakin mendung,
“Emosi tidak akan membantu seorang atlet ketika bertanding,” Zeth mengingatkan. “Itu hanya akan membuat teknikmu rusak.”
Aku menyadari kalau Zeth benar. Akupun terdiam.
Saat itu, hujan mulai turun dari langit dengan cukup deras. Aku berhenti menembakkan panah. Lalu menarik nafas, menutup mata, dan merentangkan tangan, menikmati dinginnya air hujan yang berirama dengan tenang dan damai.
Aku mendengar Zeth berseru, “Ananta! Kau bisa sakit, ayo berteduh!”
Maaf, Zeth. Kali ini aku tidak akan mendengarkanmu, batinku.
Namun semakin lama, bukan dingin lagi yang aku rasakan. Hujan sepertinya mulai reda. Aku merasakan cahaya matahari, udara di sekitarku juga hangat. Dengan rasa penasaran, aku membuka mataku perlahan. Aku tersentak, ini bukan lagi lapangan hijau tempatku berlatih.
Aku berteriak-teriak memanggil nama Zeth dengan paniknya. Syukurlah tak lama kemudian ia muncul di belakangku dengan membawa sebuah busur dan sekantong penuh anak panah perak. “Aku rasa ini seharusnya milikmu,” kata Zeth.
“Tapi di mana kita?” tanyaku.
Zeth hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Kami berdua sama-sama bingung. Aku melihat ke sekelilingku, ini berbeda. Sekarang aku dan Zeth berada di tengah-tengah hutan.
Tiba-tiba terbesit ide aneh di pikiranku. “Zeth, bagaimana kalau kita berlatih di sini, dengan ini,” kataku sambil mengacungkan busur perak yang diberikan Zeth padaku.
“Itu ide gila!” ungkap Zeth. “Tapi aku setuju. Di sini sangat tenang, kau bisa melatih konsentrasimu lebih baik di sini, ayo!”
“Tapi… sasarannya?”
“Ini hutan, Nan. Kau bahkan bisa berburu dengan panahmu di sini kalau kau mau,” kata Zeth. “Seperti di film-film.”
“Apa kau yakin aku takkan melukai siapapun atau apapun?” tanyaku. “Aku takut kalau aku akan melukai atau bahkan membunuh, seperti yang terjadi di film-film.”
“Kau hanya akan tahu kalau kau mencobanya,”
Aku ragu, tapi aku mengikuti apa kata Zeth. Seketika sensasi berbeda menjalar di sekujur tubuhku ketika aku mengangkat busur perak itu untuk bersiap. Busur perak itu terasa sangat pas di tanganku. Akupun mulai yakin, dan membidik dahan pepohonan rendah dan menembakkan panahku.
Panahku menancap sempurna di dahan pohon yang aku bidik.
Aku tidak bisa membaca ekspresi wajah Zeth. Ia terlihat seperti kaget, kagum, dan heran. “Bagaimana kau melakukan itu?”
. “Memangnya apa yang telah aku lakukan?” Aku balik bertanya. Aku merasa tidak ada yang aneh pada diriku. Aku hanya merasa sangat cocok dengan busur itu
“Ah, tidak,” Zeth berusaha menutupi rasa herannya dengan tersenyum. “Coba kau tembakkan satu anak panah lagi.”
Aku menembakkan satu anak panah lagi, seperti intruksi Zeth. Kali ini aku mencoba mengenai dahan yang lebih jauh. Pada saat yang bersamaan, aku mendengar suara-suara keributan, seperti sesuatu yang baru saja terperangkap. Dengan refleks, aku menembakkan panahku tanpa membidiknya dengan benar.
“Aaaaw,” teriak seseorang dari tengah hutan.
Aku segera berlari ke tengah hutan diikuti Zeth. Saat sampai di sana, aku melihat seorang gadis berambut merah sedang berusaha melepaskan panahku yang tertancap pada dahan pohon besar. Di pinggangnya terdapat sebuah belati.
“Apa ini milikmu?” tanyanya sinis sambil menyodorkan panahku.
Aku mengangguk dan mengambilnya. “Apa kau terluka?”
“Tidak,” jawabnya singkat. “Aku hanya ingin mengambil hewan buruanku di sana, tapi panahmu tiba-tiba lewat di depanku.”
“Maaf, dia tidak sengaja. Dia hanya…“ Zeth menanggapi.
Tanpa menunggu ucapan Zeth selesai, ia berjalan ke arah hewan buruannya, meninggalkanku dan Zeth. Tapi tiga langkah kemudian, ia berbalik dan memperhatikan kami dengan sangat teliti dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Siapa kalian? Sedang apa kalian di sini?” tanyanya menginterogasi.
“A…aku…namaku Ananta. Aku tinggal di Manhattan, New York. Apa kau tahu atau pernah mendengar tentang tempat itu dan bagaimana cara untuk kembali ke sana?” Kemudian aku tersadar bahwa aku sedang bersama Zeth yang sejak tadi hanya mematung. “Itu Zeth, dia datang bersamaku ke sini,” jelasku pada gadis itu. Kemudian aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Entah bagaimana aku rasa aku bisa mempercayai gadis itu.
“Sebaiknya kalian ikut denganku, ayo!” kata si gadis seolah menyimpulkan. “Kalian harus bertemu Alex.”
Gadis itu melepaskan buruannya terlebih dahulu lalu mengajak kami menembus hutan dan sampai di sebuah pemukiman—mungkin sebuah desa atau kota—yang jelas sangat berbeda dan berbanding terbalik dengan New York.
Kami pun mengikuti gadis berambut merah yang aku ketahui bernama Phyllis itu masuk ke sebuah gerbang putih besar, kemudian ke sebuah rumah berlantai dua sederhana. Phyllis menyuruhku dan Zeth untuk masuk ke sana.
Di dalam sana berdirilah seorang pria yang sedang membelakangi pintu masuk. Kemudian Zeth berdehem dan pria setengah baya itu berbalik. Ia mengajukan pertanyaan pada kami dengan tenang, “Jadi, siapa kalian dan ceritakan mengapa kalian bisa datang ke sini.”
Lalu aku dan Zeth bergantian menceritakan kenapa kami bisa datang ke sini pada Alex. Dia adalah pendengar yang baik. Dia mendengarkan setiap detail cerita kami dengan saksama dan tidak memotong ataupun menyela kami saat kami bercerita. Yang dia lakukan hanya mengangguk, seakan hal ini sudah biasa terjadi.
“Sebenarnya, apa tujuan kami datang ke sini?” tanyaku mengakhiri cerita.
“Kalian pasti datang ke sini untuk sebuah tugas tertentu, seperti…” ia mengakhiri ceritanya dengan kata seperti. “Tapi aku yakin. Kalian orang asing datang ke sini pasti untuk sebuah tugas.”
“Jadi, apa tugas kami?”
“Aku harap aku tahu,” Alex terdengar kecewa. “Sebaiknya kau berlatih dan tinggal di sini untuk sementara waktu. Aku tidak tahu apa yang akan kalian hadapi. Tapi kulihat kau memiliki busur dan panah. Apa kau bisa menggunakannya dengan baik?”
“Sebenarnya, tidak,” sanggahku. “Aku hanya seorang atlet panahan. Aku dan Zeth hanya menggunakan panah untuk menembak target dalam kompetisi, bukan berburu.”
“Ah, itu benar.” Zeth menyetujui.
“Sekarang lebih baik kalian istirahat. Kalau kalian mau berkeliling, kalian bisa minta bantuan Phyllis,” kata Alex.
Aku mengangguk dan kami meninggalkan rumah itu. Zeth pergi bersama seorang remaja laki-laki untuk beristirahat, sedangkan aku mengajak Phyllis untuk berkeliling.
Phyllis mengajakku berkeliling ke area pemukiman penduduk, pasar, ke arena latihan, dan masih banyak tempat lainnya. Phyllis juga menceritakan banyak hal. Dia menceritakan kalau dulu juga pernah ada orang asing sepertiku yang datang ke sini untuk menyelamatkan tempat ini. Tapi itu sudah terjadi lama sekali, bahkan sebelum Phyllis dilahirkan. Sementara aku menceritakan padanya mengenai GPPH yang aku alami dan masalah apa saja yang sering aku perbuat akibat GPPH-ku.
“Kau menderita GPPH? Itu bagus!” ia berkata. “GPPH-mu akan membuat refleks pertahananmu bagus saat bertarung. Jika benar kau datang ke sini untuk menyelamatkan kami, apakah mungkin itu bukan berarti pertarungan?”
Aku terdiam. Mencerna semua kata-kata Phyllis.
***
Sudah hampir 6 hari aku di sini. Bagian yang menyenangkannya adalah aku suka berada di sini, karena aku bisa terus berlatih tanpa memikirkan banyak beban lain di pikiranku. Satu-satunya bebanku adalah aku memikirkan aksi heroik apa yang akan kulakukan di sini.
Bagian buruknya adalah, selama dua hari terakhir ini aku tidak diperbolehkan untuk pergi ke hutan karena katanya seekor Babi Calydonian sedang berkeliaran dan terkadang babi itu datang untuk memporak-porandakan kota. Banyak orang yang sudah mencoba membuat rencana dan strategi untuk membunuhnya selama beberapa hari terakhir, tapi hasilnya nihil. Pencapaian yang paling menakjubkan bagi kami dan yang paling parah bagi si babi adalah hanya sampai membuat babi itu terluka.
Saat aku sedang berlatih dengan busur dan panahku, tiba-tiba Phyllis datang menghampiriku. “Mau pergi ke berburu?” ajaknya.
“Tapi kita tidak diperbolehkan untuk pergi ke hutan,” kataku, padahal sebenarnya aku sangat ingin pergi ke hutan.
“Ayolah, sekali saja tidak apa-apa,” bujuk Phyllis. “Kalau kau mau, kita bisa ajak Zeth juga.”
Aku menyetujuinya.
Sepanjang perjalanan kami, kami melihat beberapa orang yang sedang membuat siasat untuk membunuh babi Calydonian, bahkan ada juga yang melakukan kamuflase untuk mengelabui si babi.
Kami sampai ke lokasi tempat Phyllis biasanya berburu. Aku mencoba membidik seekor rusa sebagai buruanku yang pertama. Aku sangat yakin bahwa anak panah perak yang aku tembakkan sepertinya mengenai sesuatu. Zeth menatapku dan langsung berlari menembus hutan, aku dan Phyllis mengikutinya.
Sesampainya di sana, aku melihat orang-orang sedang berkumpul mengelilingi sesuatu yang sepertinya bukan merupakan rusa buruanku. Aku terkesiap, mulai takut, dan mulai panik, perasaanku bercampur aduk. Salah satu dari mereka—sekelompok orang yang berkumpul itu—menatapku.
Tangan dan kakiku mendadak lemas, semakin banyak di antara mereka yang menatapku. Aku merasa tatapan mereka memiliki arti menuduh. Mungkin mereka sedang berbicara ‘dialah si pembunuh itu’ padaku.
Aku semakin takut ketika mereka membuka jalan, membiarkanku lewat untuk melihat makhluk ‘yang terbunuh’ itu. Aku menyeret tubuhku agar mendekat. Makhluk itu semakin jelas ketika aku mendekatinya.
Makhluk itu bukan rusa, melainkan seekor babi liar besar yang tidak sengaja aku tembak. Anak panah perakku menancap di bagian perutnya.
Aku berlutut di sebelah babi besar itu, “Apa itu darah emas?” tanyaku heran.
“Ya,” Phyllis mengangguk dan menjawabku pelan. Ia sepertinya sama kagetnya denganku, lalu ia memutuskan untuk duduk berlutut di sebelahku.
“Aku benar-benar minta maaf, aku tahu aku sudah membunuhnya. Tapi aku bersumpah, aku tidak melakukan itu dengan sengaja. Aku hanya…“
“Yang telah kau bunuh itu adalah babi Calydonian,” kata Phyllis menyimpulkan.
“Be…benarkah?!”
“Aku yakin pasti benar,” kata Phyllis. “Ayo kita tunjukkan ini kepada Alex.”
Kami dibantu orang-orang yang berada di situ membawa babi Calydonian itu ke arena latihan untuk menunjukkannnya kepada Alex. Sepanjang perjalanan, banyak orang yang bertanya pada kami mengenai siapa yang berhasil membunuhnya. Phyllis dengan santainya menjawab orang-orang itu dengan berkata, “Ananta seorang diri yang membunuhnya.”
Orang-orang di sana mulai meneriakkan namaku dan mengangkat tubuhku di atas bahu mereka. Pada malam harinya, mereka merayakan pesta atas kemenanganku melawan Babi Calydonian tersebut, padahal aku hanya tidak sengaja membunuhnya. Tapi aku merasakan kebahagiaan tersendiri dalam diriku.
***
Pagi-pagi buta, Phyllis datang menemuiku saat aku sedang bersiap. “Ananta, aku ingin bicara denganmu,” katanya.
Aku duduk di sebelahnya, bersiap untuk mendengarkan.
“Kau tahu, Ananta, yang terjadi pada dua pahlawan terakhir yang datang ke sini?” tanya Phyllis dengan nada kecewa. “Mereka menghilang tanpa jejak.”
“Apa maksudmu tanpa jejak?”
“Ya, mereka menghilang begitu saja,” jawab Phyllis.
“Tidak pernah kabar tentang mereka, begitu?”
Phyllis mengangguk. “Aku punya firasat kau akan menghilang tanpa jejak seperti mereka juga,” Ia menjelaskan. “Aku tidak mau kau menghilang juga. Kau pahlawan kami. Jadi, aku mohon tolong berjanjilah padaku kalau kau takkan pergi dari sini.”
Tanpa berpikir dua kali, aku berjanji pada Phyllis, kemudian ia memelukku dan keluar dari ruangan. Sedangkan aku bersiap pergi ke arena latihan.
Ketika aku sampai ke arena latihan, aku bertemu dengan Zeth. Aku menghampirinya dan langsung teringat janjiku pada Phyllis. “Zeth, apabila Calydonian itu adalah misiku, aku tidak ingin pulang. Aku ingin di sini selamanya.” kataku.
“Apa maksudmu, Nan? Kau harus pulang.”
“Tapi aku suka disini, Zeth. Aku bahagia di sini.”
“Tidak, ini bukan tempatmu. Apa kau tahu? Tempat ini hanyalah sisi lain dari dirimu. Tempat ini hanya berisi sisi positifmu saja,” nada bicaranya mulai naik. “Kau tidak bisa hidup dengan satu sisi kelebihan saja. Semua orang punya kekurangan.”
Aku tertegun. “Apa maksudmu, Zeth? Bagaimana kau tahu tentang itu? Jadi selama ini kau mengetahui ini, hah?” tanyaku tidak kalah meledak. “Aku sudah bahagia di sini. Kalau kau tahu caranya pulang dan ingin segera pulang silakan saja. Aku tetap tinggal di sini,” kataku meninggalkan Zeth.
Aku berlari meninggalkan Zeth. Ucapan Zeth terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kalau benar dia yang melakukan ini padaku, apa tujuannya, aku bingung, Zeth terlalu misterius dan tidak bisa ditebak. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke hutan. Aku butuh tempat menyendiri.
“Hai Ananta,” ada suara seorang gadis di belakangku.
“Hai?”
Ia tersenyum, “Jadi apakah hal-hal positif yang ada padamu sudah bisa kau manfaatkan dengan baik?”
“Siapa kau?” tanyaku was-was.
“Apa kau tidak mengenaliku?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Akulah yang mengirimkan Calydonian itu,” katanya. Sementara aku masih melamun, mengingat-ingat. “Pada zaman dahulu di Calydon, aku mengirimkan babi Calydonian karena mereka melupakan persembahan untukku. Dan pada akhir cerita, Calydonian berhasil dibunuh oleh seorang gadis pemberani sepertimu, mananya A…”
“Atalanta,” kataku. “Dan itu berarti kau Dewi Artemis?” Aku tidak percaya pada apa yang aku ucapkan karena aku melihat seorang gadis berusia sekitar 13 tahun di hadapanku.
Artemis tersenyum. “Sebagai seorang gadis sepertimu, aku hanya ingin mengingatkamu. Zeth benar, tapi kau juga tidak salah. Kau hanya perlu memutuskan.”
“Tapi aku…”
“Ananta, Kau harus ingat, semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kau hanya perlu membuktikan kelebihanmu dan berkecil hati dengan kekuranganmu. Semua yang diciptakan di dunia ini pasti memiliki kegunaan.”
Aku tersenyum, dan berusaha mengajukan pertanyaan lagi. Aku ingin bertanya kenapa semua ini bisa terjadi dan mengeluarkan semua keluh kesahku pada Artemis.
Tetapi dia mendahuluiku berbicara, “Tugasmu sudah selesai, Ananta. Aku bangga padamu, dan kau juga harus bangga pada dirimu sendiri,” Artemis kemudian menaruh tangannya di keningku, dan menyapukannya ke bagian bawah wajahku, melewati mataku. Aku menutup mata.
Aku merasakan sesuatu yang dingin, seperti air di tubuhku.
Aku membuka mataku, berharap Artemis ada di sana untuk menjawab pertanyaanku. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah aku telah kembali ke New York, tepatnya di lapangan tempatku latihan.
“Ananta cepat berteduh, nanti kau sakit,” Zeth menarik tanganku, menyadarkanku dari lamunan. Masih dalam keadaan hujan yang sama dengan sebelumnya. Persis sebelum aku meninggalkan New York.
Biodata Penulis
Rahma Maullya L. lahir di Garut, 28 Mei 2003. Aktivitas kesehariannya diisi dengan belajar, membaca novel, mendengarkan musik, dan menonton film. Masih berstatus sebagai siswa di SMAN 1 Garut, kelas X MIPA 6. Tinggal di Jln. Pasundan No. 68. Kontak yang dapat dihubungi adalah ponsel nomor 082338015701, pos-el: rahmamaullya@gmail.com, dan instagram: @rah.maullya.