SEMPATKAH KITA MEMBANGUN TRADISI MENULIS?
oleh
Iis Nur’aeni
Menulis memang bukan pekerjaan mudah, tetapi bukan berarti sulit untuk dilakukan. Banyak orang mengaku sering kesulitan menuangkan ide ketika sudah berada di depan komputer atau alat tulis. Orang juga sering kesulitan untuk memilih ide mana yang harus didahulukan. Alasan tadi sepertinya telah menjadi argumen penguat akan “ketidakmauan” sebagian besar orang untuk menulis.
Sikap merasa tidak mampu makin menguatkan pula bahwa masa depan “tulisan” menjadi tidak pasti di abad elektronik seperti masa sekarang. Budaya alfabetis terancam eksistensinya oleh kedatangan budaya audio-visual yang lambat laun menggantikannya. Pendewaan terhadap piranti audio-visual semakin menepikan peran “tulisan”.
Kini kita saksikan banyak orang memilih untuk menyimpan pengetahuan, pengalaman hidup, dan dokumentasi peristiwa sosial lewat sinyal-sinyal teknologi modern. Mereka tidak lagi memilih menyimpan peristiwa penting dalam kehidupan dalam prasasti sejarah berupa huruf-huruf alfabetis yang terformat dalam tulisan dan buku-buku. Moderenisasi agaknya telah mengubah paradigma berpikir sebagian besar masyarakat untuk meninggalkan tradisi menulis yang telah dianggap “kurang up-date”.
Lantas, pertanyaan yang perlu direnungkan bersama adalah: siapakah yang masih sempat membangun tradisi menulis di antara kita? Seberapa besar bangsa ini memandang perlu untuk terus membangun tradisi budaya menulis? Seberapa jauh pendidikan di negeri kita mampu berperan membentuk generasi berbudaya tulis?
Pertanyaan tersebut tentu saja bukan pertanyaan retoris yang tak memerlukan jawaban. Pertanyaan tadi adalah sebuah refleksi terhadap kenyataan sejarah dan bukti yang tak terbantahkan bahwa penemuan prasasti berupa tulisan di masa lalu telah begitu banyak mendorong kehidupan kultural dalam membangun peradaban sebuah bangsa.
Tulisan dalam buku-buku peninggalan masa lalu sudah menjadi bukti bahwa tradisi alfabetis yang diajarkan nenek moyang kita menjadi tempat penyimpanan pengetahuan terbaik sepanjang masa dan perannya tidak tergantikan hingga abad modern saat ini. Pepatah yang mengatakan “verba volant scripta manent” atau “words fly away but scripts are permanent” yang bermakna ‘kata-kata atau ucapan akan segera hilang ditelan angin, terbang entah kemana, tetapi tulisan niscaya akan abadi’ patut menjadi renungan kita bersama.
Tentu saja, pergeseran pengetahuan dan teknologi pada abad modern yang kini berlangsung tidak dapat ditolak dan dihindari. Namun, di sisi lain kita tentu berharap bahwa budaya alfabetis tidak akan lenyap secara total. Perlu kemauan dan usaha keras agar budaya tulis terus berkembang. Sebuah ikhtiar pembangunan budaya tulis menjadi tugas utama kantong-kantong pendidikan seperti sekolah. Selain itu, sikap kecendekiaan juga harus dimiliki oleh para pendidik (guru). Dengan kata lain, sekolah dan guru adalah agen utama agar budaya alfabetis dalam tradisi menulis tidak musnah terlibas zaman.
Seperti telah disinggung dalam pernyataan sebelumnya, kegiatan menuliskan suatu pemikiran merupakan langkah yang semestinya dilakukan oleh orang-orang yang selama ini bergerak di dalam bidang pendidikan, pengajaran, atau penelitian. Penulis bukan bermaksud mengabaikan tuturan lisan yang selama ini disampaikan guru pada kesempatan mengajar di depan para murid. Akan tetapi, penulis hanya ingin menegaskan bahwa jika hal yang disampaikan secara lisan bisa dituliskan, pastilah akan memiliki makna ‘keabadian’. Apa yang ditulis setiap saat bisa dibaca, dirujuk, dilihat ulang, bahkan dipahami lewat deretan kata-kata yang tercetak rapi di dalam tulisan oleh penulisnya, bahkan oleh orang lain.
Oleh karena itulah, sudah saatnya kita membangun kesadaran dan meningkatkan kompetensi untuk menuangkan berbagai ide dalam tulisan. Upaya ini merupakan jawaban atas pertanyaan renungan: Sempatkan kita membangun tradisi menulis? Sebab sebenarnya kita memiliki kesanggupan untuk mengubah zaman lewat tulisan dan menyampaikan pesan-pesan dan tanda keabadian lewat deret huruf. Semoga apa yang menjadi tulisan akhirnya mampu membangun hati nurani generasi bangsa dalam mempertahankan peradaban.
Penulis, Guru SMPN 1 Kota Cirebon, Juara I Olimpiade Guru Nasional Pendidikan Dasar Tahun 2016.